- Mangrove bagi perempuan di Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, sangatlah penting. Selama ratusan tahun, mangrove memberi mereka penghidupan sebagai sumber pangan maupun ekonomi.
- Buah pidada [Sonneratia caseolaris] dijadikan bahan masakan gangan [pindang], sambal, dan manisan. Sementara daun nipah dijadikan kerajinan, dan buah nipah dijadikan manisan atau dimasak kolak.
- Bagi masyarakat Palembang dan sekitar, Sungsang dikenal sebagai daerah penghasil beragam jenis udang dan ikan. Sungsang juga menjadi sentra produksi pempek dan kerupuk udang.
- Berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta hektar. Sebanyak 2,2 juta hektar berada di dalam kawasan dan 1,3 juta hektar di luar kawasan hutan mangrove, yang tersebar di 257 kabupaten/kota.
Mangrove bagi perempuan di Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, sangatlah penting. Selama ratusan tahun, mangrove memberi mereka penghidupan sebagai sumber pangan maupun ekonomi.
“Banyak makanan kami yang menggunakan buah pidada [Sonneratia caseolaris],” kata Nurlela [45], warga Desa Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Kamis [29/8/2024].
Contohnya, masakan gangan pedado dan sambal pedado. Gangan pedado adalah pindang udang yang menggunakan buah pidada matang, untuk memberi rasa asam pada masakan.
“Terkadang juga dijadikan manisan,” kata Ketua UMKM [Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah] Desa Sungsang IV, yang beranggotakan 10 perempuan pembuat pempek dan kerupuk udang.
Selain itu, daun dan buah nipah [Nypa fruticans] juga dimanfaatkan kaum perempuan. Daun nipah dijadikan atap rumah, sapu lidi, dan kerajinan lain. Sementara buahnya dijadikan manisan, kolak, es buah. “Rasanya seperti buah kelapa muda atau kolang-kaling. Kalau bulan puasa, kami biasa membuatnya menjadi es buah atau kolak.”
“Di sini masih ada masyarakat yang memanfaatkan daun nipah sebagai sumber ekonomi untuk dijadikan atap rumah atau sapu lidi,” lanjutnya.
Tapi, yang paling utama, “Mangrove di sini, memberi kami banyak udang. Kami jadikan bahan baku pempek dan kerupuk.”
Semua aktivitas tersebut banyak diperankan perempuan. Kaum lelaki umumnya melaut, mencari ikan.
“Jika mangrove rusak, kami yang paling dirugikan. Kami akan kehilangan sumber pangan dan ekonomi. Itulah alasan kami terlibat restorasi mangrove,” jelas Nurlela, yang terlibat program Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism [SMART] oleh CIFOR [Center for International Forestry Research] dan Temasek Foundation, sejak 2021.
Hubungan mangrove dengan manusia [bangsa Austronesia] di Nusantara, jelas Ary Prihardyanto Keim, Etnobiolog dari BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], berlangsung sejak puluhan abad lalu sebagai leluhur bangsa Indonesia.
“Mereka memanfaatkan bakau sebagai bagian dari kehidupan mereka. Utamanya, untuk kebutuhan keseharian seperti makanan, bahan bangunan, pembuatan kapal, dan juga sebagai pewarna alami dan obat,” terangnya beberapa waktu lalu.
Baca: Restorasi Mangrove Sungsang dan Kelestarian Taman Nasional Sembilang
Pempek dan kerupuk udang
Bagi masyarakat Palembang dan sekitar, Sungsang dikenal sebagai daerah penghasil beragam jenis udang dan ikan. Sungsang juga menjadi sentra produksi pempek dan kerupuk udang.
Peranan Sungsang sebagai pemasok ikan dan udang ke Palembang diperkirakan sudah berlangsung dari masa Kesultanan Palembang. Berdasarkan cerita di masyarakat Sungsang, Sultan Palembang pernah menunjuk kepala dusun atau ngabehi bernama Ladjim dan menunjuk Paluwo sebagai demang di Sungsang. Sebagian besar masyarakat di Sungsang merupakan keturunan dari Ladjim dan Paluwo.
Banyaknya hasil udang, dikarenakan kawasan Sungsang adalah ekosistem estuari yang kaya nutrien, sehingga terdapat beragam jenis ikan dan udang, baik yang hidup di air asin maupun payau.
Mangrove merupakan penghasil detritus yang merupakan makanan mysidaceae dan amphipoda. Sementara mysidaceae dan amphipoda adalah makanan bagi larva-larva udang, selain ikan dan kepiting. Udang banyak dihasilkan dari Sungsang pada saat musim angin musom timur atau dari April-Juni.
Udang yang didapatkan misalnya udang ketak [Oratosquilla sp], udang pink [Metapenaeus monoceros], dan udang burung [Penaeus merguiensis] yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Udang jenis ini adalah komoditas ekspor.
Sementara udang yang banyak ditemukan di pasar tradisional, yakni udang pepe [Metapenaeus ensis], biasa digunakan untuk pempek dan kerupuk udang. Sementara udang yang digunakan sebagai bahan baku terasi adalah udang geragu atau rebon [Acetes japonicus].
“Setiap bulan penghasilan kami dari penjualan kerupuk dan pempek udang sekitar Rp15 juta,” kata Nurlela.
Bahkan, saat musim kunjungan wisatawan untuk melihat burung migran di Taman Nasional Sembilang, penghasilan dari penjualan pempek dan kerupuk mencapai kisaran Rp100 juta.
Desa Sungsang IV yang luasnya sekitar 176.907 hektar, sebagian besar wilayahnya berupa hutan mangrove.
Di desa ini juga terdapat Taman Nasional Sembilang seluas 205.100 hektar, yang ditetapkan UNESCO pada 2018 sebagai Cagar Biosfer Dunia bersama Taman Nasional Berbak [Jambi].
Keberadaan Taman Nasional Sembilang yang juga wilayah persinggahan burung migran dari Asia Timur menuju Australia, menjadikan Sungsang IV sebagai satu dari 75 Desa Wisata di Indonesia.
Foto: Hijaunya Hutan Mangrove Kuala Langsa
Beragam jenis ikan
Selain udang, Sungsang juga penghasil ikan. Baik ikan laut maupun air payau. Para nelayan di Sungsang selain menangkap ikan di Sungai Musi, juga di perairan Selat Bangka.
Ikan yang diitangkap memiliki nilai ekonomi tinggi, misalnya kakap [Lutjanus spp.], blambangan, kerapu [Epinephelus spp], gerot [Pomadasys sp], bawal [Pampus chinensis], cawang [Leptomelanosoma indicum], tengiri [Scomberomorus sp], dan senangin [Eleutheronema tetradactylum].
Tapi, ada beberapa jenis ikan yang saat ini sudah sulit didapat. “Misalnya, ikan manyong [Arius thallassinus] dan ikan gulamah atau tirusan [Johnius trachycephalus],” kata Abdullah [45], Ketua Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa [LDPHD] Sungsang IV.
“Penyebabnya, karena adanya kerusakan mangrove. Makanya, para nelayan mendukung upaya perbaikan mangrove, terutama menjaga hutan desa, agar ikan yang harganya lumayan tinggi itu didapatkan lagi,” terangnya.
Sebagai informasi, mengutip Pojok Iklim KLHK, berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta hektar. Sebanyak 2,2 juta hektar berada di dalam kawasan dan 1,3 juta hektar di luar kawasan hutan mangrove, yang tersebar di 257 kabupaten/kota.
Namun, pada 2018 tercatat hampir sekitar 1,82 juta hektar mangrove Indonesia mengalami kerusakan, akibat alih fungsi lahan hingga perambahan.
Padahal, mangrove merupakan habitat penting bagi ikan dan biota air untuk berkembang biak. Akar dan lapisan lunak mangrove memberi pangan, naungan dan perlindungan dari predasi [UNEP, 2014]. Sementara, pohonnya merupakan habitat burung, serangga, mamalia, dan reptil. Mengutip Mangrove Action Project [2015], mangrove merupakan habitat utama bekantan, satwa liar dilindungi yang hidup di wilayah Kalimantan.