- Budidaya rumput laut di Desa Bulu Cindea, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan menghadapi tantangan serius akibat cuaca ekstrem. Angin kencang dan gelombang tinggi menyebabkan gagal panen dan penurunan kualitas rumput laut.
- Rumput laut merupakan komoditas unggulan di Sulawesi Selatan, namun produksinya kian hari terus menurun. Padahal potensi budidaya rumput laut di Pangkep sangat besar.
- Kurangnya industri pengolahan di daerah tersebut menyebabkan harga jual rumput laut menjadi rendah dan petani tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal.
- Kelompok petani rumput laut di Pangkep sangat bergantung pada hasil laut untuk memenuhi kehidupan hidup. Gagal panen berdampak langsung pada perekonomian mereka dan mengancam kesejahteraan keluarga.
Rahmatiah sibuk mengeringkan rumput laut yang telah dipanen. Dengan topi anyaman daun kelapa dan setelan daster, dia mulai menata hasil lautnya agar siap untuk dijual ke pengepul. Dia berharap harga jualnya tidak jatuh di tengah ketidakpastian hasil panen karena cuaca ekstrem.
Tiah adalah salah satu petani rumput laut di Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ada sekitar 288 orang petani di Desa Bulu Cindea yang menggantungkan perekonomiannya pada rumput laut.
“Hasilnya sedikit, bahkan kadang tidak ada yang bisa dipanen karena jatuh semua bibitnya yang sudah dibentang di air. Rugi kita kalau sudah seperti ini,” ujar Tiah kepada Mongabay.
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi rumput lautnnya menurun akibat gagal panen. Begitu juga harganya yang turun, jika normalnya mencapai Rp 15.500 per kg, kini hanya Rp 14.000 per kg. “Cuaca makin tak menentu, tiba-tiba angin kencang, gelombang tinggi hingga hujan diluar musim. Bibit banyak rusak, hasil panen sedikit.”
Budidaya rumput laut di desa Bulu Cindea lekat dengan kerja sama antar keluarga. Biasanya laki-laki akan membentang tali rumput dan memanen. Sedangkan, perempuan akan memasang bibit rumput laut hingga pengeringan. Mereka biasanya budidaya rumput laut jenis Eucheuma contonii (rumput laut merah) yang menjadi komoditas unggulan.
Baca juga: Rumput Laut Identik dengan Emas Hijau
Komoditas andalan
Produksi rumput laut merupakan budidaya laut terbesar di Indonesia, yang berkontribusi USD 1,89 Miliar dari total 2,05 Miliar setiap tahunnya. Saat ini tercatat ada sekitar 62.000 pembudidaya rumput laut dan masih banyak masyarakat pesisir yang bekerja sebagai pekerja harian lepas. Salah satunya, di Sulawesi Selatan.
Sulawesi Selatan menjadi provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Kontribusinya mencapai 32,57% secara nasional. Data Internasional Trade Center, Indonesia menduduki peringkat pertama ekspor rumput laut mentah, yakni 205.760 ton.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Pangkep, Amril menjelaskan bahwa rumput laut merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Pangkep, selain ikan bandeng dan udang. “Faktor cuaca adalah salah satu yang berpengaruh terhadap produksi rumput laut, cuaca perairan seperti pengaruh ombak kuat itu bisa menyebabkan rumput laut mudah rontok atau patah dari talinya,” ujar Amril.
Selain angin kencang, kata Amril gagal panen juga disebabkan perubahan suhu air laut yang ekstrem dalam beberapa tahun terakhir. “Ini bisa memicu gangguan atau penyakit pada rumput laut. Seperti bintik-bintik putih yang menyebabkan pertumbuhan tidak bagus, akan mati jadi gagal panen.”
Sanawia, Kepala Bidang Budidaya Dinas Perikanan Pangkep menyebutkan bahwa sepanjang pesisir Pangkep, keluarga petani menggantungkan ekonominya pada budidaya ini. Sayangnya, produktivitasnya kian menurun karena cuaca yang tak menentu. Berdasarkan data Dinas Perikanan Pangkep, jumlah produksi rumput laut merah pada Januari-Maret 2024 menurun hingga 7,4 % dibandingkan tahun lalu, yakni 75.000 ton.
Tak hanya jenis rumput laut merah, beberapa petani kini juga membudidayakan rumput laut jenis Gracillaria.
Baca juga: Rumput Laut: Komoditas Andalan yang Kian Terancam
Potensi yang besar
Dosen Manajemen Pembenihan Politeknik Pertanian Negeri (Politani) Pangkep, Muhammad Alias menyebutkan hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pangkep memiliki potensi terkait komoditas rumput laut dengan kualitas bagus. Sayangnya, jenis rumput laut Eucheuma cottoni yang menjadi produk unggulan ini sangat tergantung pada faktor cuaca.
“Iklim itu sangat berpengaruh, apabila tidak ada gerakan arus itu tidak bagus juga pertumbuhannya sementara kalau arus terlalu kuat atau angin kencang itu bisa hancur semuanya,” jelasnya.
Komoditas ini menjadi potensi yang besar di wilayah ini. Komoditas ini juga diminati di berbagai industri. Seperti industri kecantikan, makanan, farmasi hingga material, seperti kertas. Sayangnya, di wilayah Pangkep masih belum ada yang melakukan industri untuk pengolahan rumput laut itu sendiri.
Alias mengatakan tanpa adanya industri pengolahan berdampak pada turunnya harga jual. “Dengan adanya industri maka stabilisasi harga itu bisa dijaga dan pengembangan UMKM kelompok pembudidaya juga dimaksimalkan,” jelas Alias. Menurutnya, pemerintah juga perlu melakukan pemanfaatan gudang penyimpanan untuk menjaga stabilitas produksi dan harga rumput laut.
*Khalifah Thahirah adalah pers mahasiswa UKM Lima Washilah Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin. Dia menjadi peserta pelatihan menulis Into The Climate Stories di Makassar pada Mei 2024.