- Masyarakat Desa Mangkit, Kecamatan Belang, Minahasa Tengah, Sulawesi Utara, bisa berdaya mengelola tanah untuk kehidupan mereka setelah menerima redkstribusi hak tanah atas penyelesaian konflik agraria.
- Pada Oktober 2018, para petani Desa Mangkit berbahagia karena ada 213 keluarga mendapatkan 1.050 sertifikat edistribusi tanah hasil penyelesaian konflik agrariaseluas 444,46 hektar. Perempuan mendapatkan 400 bidang.
- Perjuangan petani mendapat pengakuan hak atas tanah mulai sejak 1988. Saat itu, perselisihan antara buruh dan pemilik perusahaan.
- Rahmat Nugroho, Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kanwil BPN Sulut, mengimbau, wilayah atau masyarakat yang saat ini berkonflik lahan dan melibatkan eks HGU dengan izin tidak diperpanjang bisa melaporkan ke Kantor BPN terdekat.
Arfat Sawotong membawa berkarung-karung penuh cengkih di bak mobil pickup– nya. Dia tengah bersukacita karena panen berhasil. Sehabis menjual cengkih di Tomohon, lelaki 43 tahun ini akan mengunjungi anak perempuannya yang sekolah di SMA di sana, sekaligus mampir ke toko yang menjual peralatan potong rumput.
Arfat tidak mengira bakal mampu menyekolahkan dua anak hingga sekolah menengah. Selama tiga generasi, ayah dan kakeknya adalah buruh perkebunan kelapa milik Belanda, kemudian diambil alih PT Asiatik.
“Dulu, kami tidak bisa bersekolah tinggi, orang tua buruh, kehidupan sulit. Puji Tuhan anak-anak sekarang bisa sekolah. Anak-anak di sini juga sudah banyak yang sarjana,” kata Arfat, saat ini Bendahara Serikat Tani Minahasa Tengah.
Dia berasal dari Desa Mangkit, Kecamatan Belang, Minahasa Tengah, Sulawesi Utara. Banyak penduduk desa berasal dari Pulau Sangir. Mereka merantau menjadi buruh sekitar 100 tahun lalu.
Perjuangan petani mendapat pengakuan hak atas tanah mulai sejak 1988. Saat itu, perselisihan antara buruh dan pemilik perusahaan.
Cerita bermula 1982, saat itu HGU Asiatik terpecah tiga bagian, PT Mawali Waya (Mawali), PT Nusa Cipta Bhakti (Nusa) dan PT Kinawang Waya (Kinawang). Sebelum peralihan kepemilikan lahan itu, buruh sempat meminta pesangon dan tanah yang sudah ditempati, namun mereka ditolak perusahaan.
Sejak saat itu buruh melakukan perlawanan. Mereka protes dan meminta haknya, ditangkap aparat yang dilibatkan perusahaan. Para buruh ini pun melarikan diri ke pelosok, termasuk di sela pohon bakau.
“Kami terus mendapat intimidasi, diusir, ditangkap dan dikriminalisasi. Perlawanan belum kuat, hanya sekelompok orang,” kata Simon Aling, warga yang alami kejadian itu.
Dia sekarang menjadi Korwil Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Utara.
Intimidasi dan kriminalisasi terus berlangsung hingga 2002. Bagi mereka yang melawan dilakukan pengucilan oleh para mandor perusahaan. Mereka disebut pencuri, yang membuat buruh lain enggan bergabung.
“Kami difitnah sebagai pencuri. Mandor bilang, tanah orang kok diambil. Itu semua disebar di semua buruh,” ujar Simon.
Di komunitasnya, Simon adalah seorang pendeta. Dia lalu meminta dukungan gereja untuk turut memperjuangkan lahan untuk para buruh.
“Gereja melihat ada ketidakadilan dan ketimpangan. Mereka lalu dukung perjuangan kami. Tapi intimidasi makin kuat.” Saat itu Simon sebagai Ketua Serikat Tani Minahasa.
Berkenalan dengan KPA, Simon lalu mendapat pelatihan dan pemahaman tentang manajemen organisasi. Dalam enam tahun mereka bekerja, mereka membuat usul kepada pemerintah untuk mengajukan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA).
Tugas kelompok waktu itu adalah mendampingi proses pemetaan lahan yang akan diredistribusi dan verifikasi data kepada calon penerima.
Serikat Tani Minahasa pun bertumbuh pesat. Organisasi ini menaungi puluhan organisasi tani lokal (OTL). Ada ribuan petani belajar mekanisme berorganisasi kepada mereka, termasuk soal pemetaan lahan dan hukum agraria.
Perjuangan merebut lahan bagi mantan buruh kelapa ini juga tidak lepas dari peran perempuan. Salah satunya, Anci Tatawi. Perempuan 44 tahun ini menceritakan perjuangannya. Anci bilang, kunci perjuangan mereka adalah persatuan diantara para petani. Mereka membangun solidaritas.
“Kami hanya ingin menanam, tapi perusahaan tidak izinkan. Setiap kami menanam, tanam jagung, sayur, cabai di sela-sela kelapa selalu dicabut. Dicabut satu, kami tanam 10,” katanya.
Saat tanaman mereka dicabut, para petani ini bergotong royong lewat tradisi huma palus. Mereka berkejaran kecepatan dengan aksi cabut yang dilakukan para mandor.
“Saat kami diancam dengan bunyi ledakan [senjata api], saya ingat waktu itu semua perempuan lari masuk ke hutan. Semua ketakutan,” kenang Anci. Dia tidak menjelaskan detail kapan peristiwa itu terjadi.
Anci bilang, perempuan adalah pihak paling terdampak dalam pusaran konflik agraria
Tekanan bertubi-tubi ini membuatnya sempat berpikir ingin menyerah. Akhirnya, lewat negosiasi dan berjuang di lapangan hampir selama 30 tahun, sekarang mereka rasakan.
Pada Oktober 2018, para petani Desa Mangkit berbahagia karena ada 213 keluarga mendapatkan 1.050 sertifikat edistribusi tanah hasil penyelesaian konflik agrariaseluas 444,46 hektar. Perempuan mendapatkan 400 bidang.
Redistribusi ini bertepatan dengan pelaksanaan Global Larnd Forum di Bandung saat itu, dan terbit Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Simon Aling bilang, kalau perempuan mendapat 40% sertifikat sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan dan mekanisme perlindungan pada hak-hak perempuan.
Anci bersyukur dari hasil lahan, sekarang dia bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Lahan dia tanami tanaman cengkih, pala, kelapa hingga sayur-sayuran. Ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Jangan menyerah, pasti kebenaran itu akan menemukan jalannya,” katanya.
Tidak berhenti di redistribusi tanah
Simon ditunjuk sebagai hukum tua (kepala desa). Di Desa Mangkit, dia mendorong program peningkatan kesejahteraan bagi petani melalui pembangunan infrastruktur, rumah dan peralatan pertanian dan nelayan dengan alokasi dana desa.
“Petani ini harus punya akses transportasi yang baik ke kebun, jadi mereka bisa mudah angkut hasil panen. Kami juga bantu pembangunan rumah untuk petani kategori pra sejahtera. Ada 168 rumah yang kita bangun,” katanya.
Bagi Simon, kesejahteraan dan pendapatan yang meningkat dapat tercapai jika para petani memiliki lahan. Desa Mangkit, katanya, bisa jadi proyek percontohan keberhasilan penyelesaian konflik lahan di Indonesia.
“Ada terbangun komunikasi dan negosiasi yang baik antara pemerintah dan pemilik lahan bekas HGU,” katanya.
Keberhasilan serupa seperti Desa Mangkit juga diikuti Desa Ongkaw III di Kecamatan Sinonsayang, Minahasa Selatan. Sebanyak 762 sertifikat tanah teredistribusi diterima warga pada September 2022 lewat program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
“Sudah 33 tahun masyarakat menunggu kepastian hukum, selama ini tanah yang mereka garap bekas PT Jasa Tani,” kata Simon.
Itu barulah puncak gunung es. Simon katakan, potensi konflik agraria di Sulawesi Utara tinggi, khusus di lahan eks HGU perusahaan.
Dari Data Kanwil BPN Sulut, ada 10 data konflik lahan yang data terungkap lewat laporan Kantor Pertanahan di Sulawesi Utara.
Rahmat Nugroho, Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kanwil BPN Sulut, mengatakan, selama ini pendataan konflik lahan belum menyeluruh dilakukan. Dia bilang data yang berhasil diinput hanya berdasarkan aduan.
Rahmat mengimbau, wilayah atau masyarakat yang saat ini berkonflik lahan dan melibatkan eks HGU dengan izin tidak diperpanjang bisa melaporkan ke Kantor BPN terdekat.
Laporan ini, katanya, bisa jadi dasar upaya penyelesaian. Saat ini, prioritas redistribusi tanah menitik beratkan pada wilayah konflik yang melibatkan komunal.
Simon bilang, petani tidak boleh berdiam diri. Mereka harus mendorong Organisasi Tani Lokal untuk kuat secara organisasi, hingga tanah yang diberikan mampu mewujudkan kesejahteraan.
“Tanah ini bukan hadiah, juga bukan warisan, tapi hasil perjuangan yang sulit. Harus dimanfaatkan untuk membangun mimpi anak-anak kita nantinya,”kata Simon.
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
******