- Energi baru terbarukan bisa menjadi opsi penting untuk mengatasi ketidakpastian akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi nelayan yang merupakan pahlawan pangan Indonesia.
- Meski begitu, salah satu tantangannya yaitu konsep energi bersih yang kerapkali didengungkan pemerintah ini masih asing di telinga nelayan kecil.
- Opsi ini menjadi penting karena sebagian besar nelayan skala kecil masih banyak yang tidak bisa mengakses bahan bakar energi fosil tersebut, jumlahnya mencapai 82 persen.
- Pengembangan energi baru terbarukan bukan lagi sebuah alternatif, melainkan sudah kewajiban. Karena energi fosil merupakan sumber terbesar penyebab perubahan iklim.
Nelayan kecil perlu didorong untuk menggunakan energi baru terbarukan untuk. Sebab, eksploitasi bahan bakar fosil, termasuk minyak terbukti menjadi penyumbang terbesar terjadinya perubahan iklim.
Tidak hanya itu, energi baru terbarukan dinilai bisa menjadi opsi penting untuk mengatasi ketidakpastian akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi pahlawan pangan Indonesia ini.
Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengungkapkan, walaupun setiap tahun triliunan uang negara dikucurkan untuk memberikan BBM bersubsidi kepada nelayan.
Namun, fakta di lapangan, mayoritas nelayan kecil ini masih kesulitan mengaksesnya. Apa yang diungkapkannya itu didasari atas survei yang dilakukan lembaganya pada tahun 2021.
Nelayan kecil yang tidak bisa mengakses bahan bakar energi fosil tersebut jumlahnya mencapai 82 persen di berbagai daerah di Indonesia. Padahal, 70 persen biaya melaut nelayan adalah untuk pembelian bahan bakar.
“Meskipun kuotanya sangat besar. Akan tetapi berbagai masalah masih terjadi di lapangan, seperti nelayan kesulitan mengurus surat rekomendasi. Kemudian pasokan bahan bakar ini juga seringkali mengalami gangguan,” ujarnya, dalam diskusi Implementasi Energi Terbarukan pada Nelayan Kecil dan Tradisional di Indonesia, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca : Begini Mandiri Energi Ala Kampung Nelayan Kondangmerak
Selain itu, katanya, infrastruktur bahan bakar minyak untuk nelayan kecil ini juga masih mengalami banyak masalah. Berkaca pada peristiwa tahun 2022, akibat BBM jenis premium RON 88 hilang atau langka, dampaknya banyak nelayan kecil yang tidak bisa melaut.
Untuk itu, dalam situasi yang tidak pasti tersebut, menurut Dani energi baru terbarukan bisa menjadi salah satu opsi yang penting untuk mulai dilihat oleh nelayan-nelayan kecil.
Nelayan Masih Asing Energi Terbarukan
Tetapi, lanjut Dani, pengembangan energi baru terbarukan kepada nelayan kecil ini masih menghadapi berbagai tantangan. Berdasarkan studi lapang yang dilakukan lembaganya pada tahun 2023 lalu, mayoritas nelayan kecil masih belum paham tentang energi terbarukan.
Hal itu membuatnya miris, sebab konsep energi bersih yang kerap kali didengungkan pemerintah nyatanya masih asing ditelinga nelayan kecil.
“Istilah energi terbarukan saja masih asing, apalagi menerapkannya sebagai salah satu opsi alternatif bagi operasi penangkapan di laut,” katanya.
Sehingga Dani meminta pemerintah pusat dan daerah membuat kebijakan penerapan energi baru terbarukan untuk sektor perikanan, khususnya perikanan sekala kecil yang masih minim perhatian.
Dia bilang, dalam menuju proses energi terbarukan ini pihaknya juga mengajak nelayan kecil beradaptasi dan belajar untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan BBM. Salah satu model yang diterapkan dalam proses pembelajaran ini yaitu mendorong nelayan agar mempunyai peta dalam wilayah-wilayah penangkapan ikan mereka.
Sehingga, nelayan secara berkala dari bulan ke bulan bisa mengetahui spot-spot penangkapan ikan, sehingga diasumsikan nelayan mampu mengurangi energi BBM bersubsidi yang digunakan.
Baca juga : Para Nelayan Ini Beralih Gunakan Energi Surya Saat Melaut
Sedangkan Widya Kartika, Pengurus Harian KNTI mengatakan besarnya biaya energi BBM yang digunakan, kadangkala membuat penghasilan nelayan habis untuk operasional. Bahkan bisa tekor sebab jarak tempuh untuk menangkap ikan semakin menjauh.
“Sebelum adanya transisi energi, nelayan kecil sudah merasakan ketidakadilan dari ketersediaan energi ini. Hak-hak nelayan termasuk energi ini kerapkali direbut pelaku-pelaku industri yang membutuhkan energi fosil,” lanjutnya.
Ia juga menyayangkan, narasi energi baru terbarukan yang selalu digembar gemborkan pemerintah rupanya belum banyak diketahui nelayan.
Dari hasil pendataan yang dilakukan KNTI terhadap 756 pelaku usaha perikanan baik itu nelayan, pengolah ikan, pembudidaya, dan petambak garam, pada 2023 lalu, hanya 5 persen yang mengetahui tentang energi baru terbarukan.
Sementara 27 persen tidak mengetahui sama sekali, 30 persen sedikit paham, dan yang baru mendengar 38 persen. Sampel diambil di tiga wilayah yaitu di Lombok, Aceh, Gresik.
Sedangkan Kevin Lieus, dari New Energy Nexus mengatakan, karena nelayan kecil belum banyak yang paham tentang energi baru terbarukan sehingga teknologi energi bersih ini penting untuk diperkenalkan. Selain itu, pendekatan yang tepat guna dan efektif juga perlu terus dilakukan.
Tantangan Energi Terbarukan
Menanggapi hal itu, Urip Priyono, selaku Analis Kebijakan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan, transisi menuju energi baru terbarukan memang masih mengalami banyak tantangan.
Meski begitu, pengembangan energi baru terbarukan ini bukan lagi sebuah alternatif, melainkan sudah menjadi suatu keharusan, karena sektor energi fosil ini terbukti memang menjadi sumber terbesar emisi gas rumah kaca.
“Dan ini ada kaitannya dengan perubahan iklim yang berdampak langsung ke sektor kelautan, salah satunya seperti kenaikan muka air laut,” terang Urip. Di energi terbarukan ini, Urip membeberkan, bisa mengurangi emisi karbon sebanyak 181,45 juta ton CO2.
Urip bilang, bila mengacu pada target dan capaian bauran energi nasional, terutama untuk energi terbarukan di tahun 2024 ini capaiannya baru 13.3 persen. Sedangkan targetnya di tahun 2025 yaitu sebesar 23 persen.
Untuk mencapai target tersebut, katanya, pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri, melainkan perlu dukungan berbagai pihak.
Ia menjelaskan, Indonesia sendiri merupakan negara yang mempunyai potensi energi baru terbarukan yang besar, terbesar dan beragam. Antara lain, energi surya yang mempunyai potensi sebanyak 3.294 gigawatt, pemanfaatannya baru 675 megawatt.
Sedangkan angin 155 gigawatt, pemanfaatannya 152 megawatt. Potensi hidro 95 gigawatt, pemanfaatannya 6.697 megawatt. Laut potensinya 142 gigawatt, dan belum termanfaatkan sama sekali.
Sementara, bioenergi potensinya 57 gigawatt, pemanfaatannya 3.408 megawatt. Potensi panas bumi 23 gigawatt, pemanfaatannya 2.293 megawatt, dan gasifikasi batubara pemanfaatannya yaitu 250 megawatt. Jika ditotal, potensinya energi baru terbarukan mencapai 3.687 gigawatt, pemanfaatannya yaitu 13.781 megawatt.
Sebagai salah satu upaya pengembangan energi baru terbarukan, kata Urip, pelaku usaha perikanan bisa mengajukan permohonan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap ke kementeriannya. (***)
Nelayan dan Petani di Langkat Serukan Setop Energi Batubara, Alihkan ke Terbarukan