- Wati, pejuang agraria dari Desa Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, bersama Serikat Petani Pasundan (SPP) berjuang mendapatkan hak tanah agar bisa hidup berdaulat dan mandiri di atas tanah mereka sendiri. Tulisan sebelumnya mengenai perjuangan SPP dalam memujudkan kemandirian agraria.
- Tanah desa ini dulunya adalah erfpacht verponding, bekas penguasaan Belanda lalu beralih ke Indonesia setelah kemerdekaan. Warga yang sejak lama membangun pemukiman di sana tak pernah tahu siapa yang menguasai tanah di Banjaranyar. Mereka mendengar tanah dengan status hak guna usaha pindah tangan dari perusahaan ke perusahaan lain.
- Melihat banyak perempuan perlu dukungan dalam perjuangan mempertahankan lahan garapan, SPP juga membentuk Institut Kepemimpinan Rakyat (IKR) dan Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) Perempuan. Lewat IKR dan ARAS Perempuan Wati belajar hal-hal dasar mengenai hak perempuan atas tanah, kesetaraan gender, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan petani.
- Selain di Desa Banjaranyar, Wati sering berkeliling satu desa ke desa lain, untuk menguatkan para perempuan ketika suami-suami mereka harus meninggalkan desa sementara atau perlu penguatan saat bersengketa.
Beberapa polisi mendatangi rumah Wati di Desa Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, satu malam menjelang tahun 2000.
“Pak Oman mana Bu?” Polisi mencari suaminya.
“Bapak tidak ada di rumah.”
“Bilang bapak jangan terus menggarap kebun. Tidak usah ikut-ikut SPP. PNS (Pegawai Negeri Sipil) tidak boleh ikut minta tanah.”
Wati masih terngiang kata-kata polisi itu hingga kini.
SPP yang dimaksud polisi adalah Serikat Petani Pasundan, organisasi petani di Jawa Barat bagian selatan.
Bersyukur, sebelum polisi datang Wati sudah meminta Oman sembunyi di Koperasi Tumbal, tak jauh dari rumahnya.
“Bawa saja saya kalau mau,” kata Wati saat polisi bersikukuh mencari Oman.
Malam itu, polisi tak berhasil menemukan Oman. Setelah menunggu beberapa lama, polisi-polisi itu pergi. Kejadian itu bukan terakhir kali Wati berhadapan dengan polisi maupun preman yang melarang petani di desanya menggarap lahan.
Sepanjang 2000, dua tahun setelah Presiden Soeharto lengser, berbagai pergolakan penguasaan tanah terjadi di Jawa Barat. Tanah-tanah yang pemerintah berikan izin kelola ke perusahaan mulai masyarakat klaim kembali (reklaiming).
Tak hanya di Banjaranyar, di desa-desa lain juga seperti Cisompet, Cilawu, Cieceng, sampai Cigugur, petani penggarap berhadapan dengan polisi atau preman sewaan perusahaan.
Umumnya, mereka berhadapan dengan Perum Perhutani, perusahaan negara yang mengelola kawasan hutan di Jawa.
Saat petani laki-laki lari, pergi atau harus bersembunyi dari kejaran preman atau polisi, perempuan petani yang akan menghadapi mereka.
“Gagah mah perempuan. Perempuan tidak akan berhenti berjuang. Generasi yang kuat lahir dari rahim perempuan yang kuat.”
Wati lahir di Dusun Bulak Situ, Desa Lakbok, pada 1964. Ayahnya seniman reog ronggeng juga guru mengaji. Wati kecil juga senang menari ronggeng.
Dia mengingat ayah dan kakeknya sebagai sosok yang disegani di kampung tetapi mereka tak punya tanah. Saat usia Wati tiga tahun ayah memboyong keluarga ke Desa Banjaranyar, sekitar 20 kilometer dari Lakbok. Kabarnya, di sana masih banyak lahan kosong. Ayahnya akan dapat lahan garapan dua hektar kalau mau mengajar ngaji di sana.
“Tapi bohong,” kata Wati.
Hingga akhir hayatnya ayah tak pernah mendapat lahan.
Tamat SD pada 1978, Wati lanjut mengaji di sebuah pesantren di desanya, dia tak betah.
Dia sering mengajak beberapa teman bolos mengaji untuk nonton wayang di hajatan orang kampung.
Setahun setelah lulus sekolah, ayahnya menjodohkan Wati. Belum setahun usia pernikahan, Wati kabur meninggalkan suaminya.
Pada 1982, Wati bertemu Oman. Duda dengan satu anak laki-laki usia tiga tahun. Oman guru matematika di sekolah Wati saat SD.
Menikah dengan Oman keinginan Wati.
Setelah menikah, Wati dan Oman tinggal di Desa Banjaranyar. Saat itu Banjaranyar berupa kebun karet seorang pengusaha, mereka kenal dengan nama Hutabarat.
Sebagian warga bekerja menyadap karet tetapi tidak Wati dan Oman. Mereka lebih senang menggarap kebun, menanam padi, jagung, kentang, kelapa, sayuran dan rempah-rempah.
Tanah desa ini dulunya adalah erfpacht verponding, bekas penguasaan Belanda. Pada 1945, Tentara Rakyat Indonesia (TRI) membakar lahan kemudian jadi hak guna usaha (HGU) seluas 708,5 hektar diberikan kepada pengusaha Hutabarat hingga 1950.
Warga yang sejak lama membangun pemukiman di sana tak pernah tahu siapa yang menguasai tanah di Banjaranyar. Mereka mendengar HGU pindah tangan dari perusahaan ke perusahaan lain.
“Masyarakat hanya melihat saja hasil perkebunan dibawa keluar desa. Sementara mereka sangat miskin,” kata Tata, Kepala Desa Pasawahan.
Mereka hanya ingat, pada 1982, HGU pindah tangan ke PT Raya Sugarindo Inti (RSI). RSI menanam singkong untuk jadi gula. Usaha ini juga pailit karena tanaman sering dimakan babi hutan dan ongkos angkut terlalu mahal.
Setelah HGU RSI habis, Oman mendengar HGU akan diperpanjang lagi oleh Perhutani untuk tanaman jati dengan alasan tukar guling.
Oman mulai protes.
“Tukar guling lahan harus clean and clear. Ini sudah ada tatanan hidup masyarakat,” katanya yang sempat protes di Kejaksaan Agung kala itu.
Sejak itu, Oman mulai aktif mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat di lima desa sekitar Banjaranyar. Sejak saat itu pula masyarakat menggarap di lahan yang habis HGU ini.
Termasuk, Wati dan Oman, mereka menanam padi, jagung, kelapa, buah-buahan, kentang, sayuran dan berbagai rempah.
Saat sama Perhutani mau menanam jati—belakangan bisnis jati Perhutani bangkrut karena tak laku terjual.
“Kalau ini ditanam jati, masyarakat mau makan apa?” kata Oman.
Saat Oman aktif mengorganisir masyarakat menolak perpanjangan HGU inilah polisi sering mencarinya. Seringkali Wati yang menghadapi langsung aparat atau preman yang disuruh menekan Oman.
Mereka sering dilabeli PKI (Partai Komunias Indonesia) karena upaya lakukan reclaiming lahan. “Di-PKI-kan sering. Yang ditangkap juga banyak.”
Setelah Soeharto lengser, banyak aktivis berdatangan ke Banjaranyar. Mereka menyerukan reformasi termasuk atas penguasaan lahan. Saat itulah, Oman aktif mengorganisir masyarakat, bertemu dengan Agustiana, Sekjen SPP.
Oman dan Agustiana sepakat membentuk SPP di Ciamis. Singkat cerita, terbentuk SPP dan mendeklarasikan diri pada 24 Januari 2000.
Menariknya, sejak awal SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggungjawab sama dengan laki-laki. Dalam buku Pedoman Gerak Langkah Perjuangan SPP disusun Andi Supriadi, Ibang Lukman Nurdin, Indra Agustian dan S Maulana Rahayu, ada 11 poin yang mengatur peran perempuan dalam SPP.
Intinya, perempuan harus ikut ambil bagian dalam musyawarah baik dalam keluarga, kampung maupun dalam organisasi. SPP mendorong perempuan menentukan mulai dari tanaman apa yang akan ditanam di tanah garapannya, bagaimana pengelolaan hingga ikut mengurus organisasi dan ikut andil dalam penyelesaian konflik agraria di desanya.
Nilai-nilai SPP ini bak gayung bersambut untuk Wati. Sejak awal upaya penguasaan lahan oleh warga, Oman mendorong Wati ikut andil. Setiap pertemuan warga, Oman mengajak Wati. Wati yang semula hanya menyimak kemudian berani bicara di pertemuan-pertemuan warga.
“Dia muda dan cerdas,” kata Oman.
Dalam setiap kesempatan Wati menyampaikan keresahan melihat warga yang meski di KTP bertulis sebagai petani namun tak punya tanah.
“Saya juga waktu itu menggarap tanah yang habis HGU-nya tapi masih dikuasai orang yang punya uang,” katanya.
Lebih miris lagi Wati melihat perempuan di sekitarnya seperti tak dianggap meski mereka bekerja keras, tak hanya mengurus rumah tangga, juga ikut ke kebun untuk berladang.
“Perempuan pukul 4.00 pagi sudah bangun, menyiapkan keperluan ke kebun. Setelah berkebun sampai di rumah masih menyapu, mencuci, mengurus anak,” kata Wati.
Ketika terjadi konflik antara warga dengan aparat atau preman suruhan perusahaan, katanya, perempuan juga yang berperan lebih besar, mulai menyiapkan bekal dan logistik jika akan ada aksi, sampai menghadapi langsung preman dan aparat ketika suami-suami mereka harus sembunyi.
Selain di Banjaranyar, Wati juga sering berkeliling satu desa ke desa lain, untuk menguatkan para perempuan ketika suami-suami mereka harus meninggalkan desa sementara atau perlu penguatan saat bersengketa.
Wati masih ingat, dalam 2000 itu juga, terjadi konflik antara petani penggarap dengan Perhutani di Cigugur. Iwan, anggota SPP-belakangan menjadi Kepala Desa Cigugur- memintanya datang untuk menguatkan para perempuan di sana.
Suami-suami mereka harus pergi, sembunyi dari kejaran preman.
“Ibu masuk saja ke rumah mana saja yang ada di sana,” kata Iwan lewat telepon.
Ketika tiba di Cigugur, Wati melihat banyak perempuan bingung dan takut. Dengan pengalamannya menghadapi sendiri polisi, Wati menguatkan mereka. Mengajak mereka berdoa dan memastikan keperluan suami mereka di tempat pelarian terpenuhi.
“Kita harus kuat,” katanya.
Cerita lain dari Imat Jumiati, perempuan SPP. Dia masih ingat saat Wati mengajaknya ke Cisompet pertengahan 2000.
Ketika itu, mereka mendengar Perhutani sudah melubangi lahan garapan masyarakat untuk tanam karet. Wati mengajak Imat dan beberapa anggota SPP lain untuk membantu perempuan di Cisompet menghadapi preman.
Saat itu, lahan garapan sudah diolah masyarakat hampir tujuh tahun. Konflik bermula saat rumah dan kandang kambing warga dibakar, ternak-ternak mereka seperti kambing dan ikan diambil paksa oleh preman.
Masih jelas dalam memori Imat, saat tiba di Cisompet mereka bertemu ibu-ibu yang dia taksir usia antara 65-80 tahun. Mereka bersiap mendatangi kebun karet dengan cangkul, hanya menggunakan kain jarik tanpa celana dalam.
Di kebun mereka melihat 14 preman memantau gerak gerik mereka. Ada yang pura-pura menelpon, seolah sedang melapor, untuk menakut-nakuti mereka. Tak peduli dengan itu, Imat, Wati dan ibu-ibu yang sudah berkumpul cekatan menutup lubang-lubang untuk menanam pohon karet.
Saat preman-preman memberi peringatan agar berhenti menutup lubang-lubang, sontak mereka mengangkat kain jarik dan mengarahkan pantat mereka ke arah preman-preman itu.
“Nih, jilati kalau berani,” tantang mereka.
“Dasar nini-nini goblok,” balas preman-preman seraya pergi karena malu.
“Sekitar 6.000 lubang dalam dua hari kami tutup lagi,” kenang Imat.
Melihat banyak perempuan perlu dukungan dalam perjuangan mempertahankan lahan garapan, SPP juga membentuk Institut Kepemimpinan Rakyat (IKR) dan Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) Perempuan.
Lewat IKR dan ARAS Perempuan Wati belajar hal-hal dasar mengenai hak perempuan atas tanah, kesetaraan gender, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan petani.
Wati sadar, perempuan di desanya bisa mendapatkan hak atas tanah dan SPP bisa memfasilitasi itu.
“Dulu, tidak ada nama perempuan. Di SPP harus ada nama perempuan,” katanya.
Bagi Wati, tak mudah meyakinkan para perempuan ini. Sebagian besar perempuan takut keluar rumah, takut bicara, atau tidak mengerti situasi yang mereka hadapi.
Dia tak surut. Saat itu yang ada dibenaknya hanya bagaimana petani bisa terus menggarap lahan. Yang dia pahami, para perempuan ini perlu lahan garapan agar bisa memberi makan anak mereka. Syukur-syukur bisa menyekolahkan mereka.
Wati berpikir, paling gampang mengumpulkan perempuan di sekitar lewat pengajian. Dia lantas mendatangi satu persatu rumah warga, mengajak para ibu ikut pengajian.
Pengajian dia bikin satu bulan sekali. Mereka datang dengan membawa makanan apa saja yang ada di rumah.
Mula-mula tak sampai 10 orang ikut pengajian. Omongan dari mulut ke mulut soal pengajian hak perempuan atas tanah yang diusung SPP jadi magnet bagi perempuan di desa itu. Wati senang pengajian sampai ratusan orang.
Dari pengajian pula Wati mengajak perempuan andil dalam setiap aksi SPP. Mulai aksi ke pemerintah kabupaten, provinsi, hingga ke istana negara dan DPR. Minimal sekali setahun setiap peringatan Hari Tani 24 September mereka ikut aksi ke Jakarta.
Lewat pengajian ini pula Wati mengajak perempuan petani di Ciamis bergabung dengan SPP. Kini, hampir semua perempuan di SPP paham soal hak atas tanah, hak perempuan dan fasih bicara soal reforma agraria.
******
*Tulisan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).