- Kebakaran hutan dan lahan di Jambi berulang. Salah satu terparah terjadi pada 2019. Berbulan-bulan Jambi berselimut kabut asap kebakaran lahan gambut. Kualitas udara di Muaro Jambi dan Kota Jambi terus memburuk, bahkan beberapa kali dalam kondisi berbahaya. Dalam liputan ini akan melihat perusahaan yang berelasi dengan yayasan TNI-AD dan Sinar Mas, terkait kebakaran hutan dan lahan berulang di konsesi mereka yang menyebabkan kabut asap.
- Walhi Jambi ajukan gugatan hukum terhadap PT Pesona Belantara Persada (PBP) dan PT Putra Duta Indah Wood (PDIW) atas kasus kebakaran hutan dan lahan 2019 yang menyebabkan bencana kabut asap di Jambi. Dalam prosesnya, Walhi Jambi damai karena menilai target tuntutan sudah terpenuhi melalui kesepakatan.
- Dalam dokumen gugatan Walhi Jambi di Pengadilan Negeri Jambi muncul nama Yayasan Kartika Eka Paksi sebagai pemilik 25% saham PT PT Putra Duta Indah Wood. Yayasan ini merupakan wadah persatuan istri anggota TNI-AD. Berdasarkan data Ditjen AHU, Yayasan Kartika Eka Paksi tercatat menguasai 500 lembar saham PDIW senilai Rp500 juta, dan menjadikan sebagai pemegang saham mayoritas. Perubahan akta anggaran dasar PDIW terjadi pada 23 Juni 2021.
- Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia yang ikut menjadi ahli dalam sidang gugatan karhutla, menilai, peluang Walhi Jambi memenangkan gugatan sangat besar. Strict liability atau tanggung jawab mutlak dalam gugatan karhutla tidak perlu membuktikan siapa yang membakar lahan. Bahkan tanpa putusan pengadilan, perusahaan harus bertanggung jawab.
Wihernanto terlihat sedikit gugup duduk di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jambi. Saat itu, lelaki 51 tahun ini jadi saksi kebakaran hutan dan lahan pada 2019, yang menyeret perusahaan milik yayasan TNI-AD.
Gugatan hukum ini dilakukan Walhi Jambi terhadap PT Pesona Belantara Persada (PBP) dan PT Putra Duta Indah Wood (PDIW) atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019 yang menyebabkan bencana kabut asap di Jambi.
“Apa yang saudara ketahui soal kebakaran tahun 2019?” tanya Majelis Hakim PN Jambi, 5 Februari lalu.
“Api itu dari PT Pesona…” katanya tanpa ragu.
Mantan Kepala Desa Gambut Jaya itu cerita ketika langit Muaro Jambi merah menyala di pertengahan September 2019. Orang-orang kelimpungan tercekik kabut asap dan kepungan api jahanam.
Lima tahun lalu, sekitar 10 km dari Desa Gambut Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Muaro Jambi, lelaki bertubuh jangkung itu melihat asap putih pekat bercampur debu membumbung tinggi ke langit. Api lagi kesetanan membakar lahan gambut PBP. Diperkirakan tiga hari tiga malam, api sampai perbatasan desa.
Ternyata dugaan Wihernanto keliru. Pada malam yang gelap, petaka datang diiringi suara gemuruh di ujung desa. Langit terlihat merah menyala. Api membakar kebun dan semak belukar.
Kampung yang sebelumnya sunyi mendadak gaduh. Warga pontang-panting mencari sumber air di parit-parit berusaha padamkan api. Wihernanto mengenang masa mencemaskan itu. Bunyi derit pompa air beradu bising di tengah orang-orang yang dilanda kepanikan.
“Rupanya nggak sampai sehari semalam [api] sudah sampai batas desa. Mirip gelombang laut pantai selatan, ngeri!” katanya membuka cerita saat ditemui Mongabay, akhir Juli 2024.
Sebagian orang mulai pasrah melihat kebun mereka ludes terbakar. Harapan menyelamatkan kebun pupus. Kemarau panjang membuat banyak sumber air mengering.
“Tambah ada angin puyuh muter-muter, api itu macam dikipasi. Cuma kuasane Tuhan api itu biso padam. Kalau manusia nggak bakal sanggup.”
Lebih dari 160 hektar kebun dan belukar warga Gambut Jaya ludes terbakar hanya hitungan hari. Wihernanto bilang, itu bukan yang terburuk. “Tahun 2015, 340 hektar kebun habis terbakar.”
Selama dua bulan penuh warga Desa Gambut Jaya bergelut dengan api dan asap kebakaran di lahan gambut.
“Kalau siang, di kampung itu gelap asap campur debu, [motor] kalau nggak pakai lampu nggak kelihatan. Kalau malam merah.”
Konsesi PDIW yang berbatasan langsung dengan PBP juga ludes terbakar. Hampir setiap tahun, dua perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA) itu jadi langganan kebakaran.
Dalam catatan Walhi Jambi, pada 2015, luas kebakaran di konsesi PBP mencapai 6.122,56 hektar. Pada 2016 seluas 1.673,48 hektar. Pada 2018, konsesi kembali terbakar 606,22 hektar. Paling buruk, pada 2019, sekitar 20.693,46 hektar, setara 97% konsesi perusahaan yang mayoritas lahan gambut ludes terbakar.
Sesuai SK Menhut No. SK.674/Menhut-II/2010, PBP mendapatkan izin konsesi seluas 21.315 hektar.
Sedangkan kebakaran di PDIW pada 2015 mencapai 4.392,17 hektar. Pada 2016, areal terbakar 1.872,65 hektar, dalam 2019 luas kebakaran 20.850.29 hektar, hampir dua per tiga konsesi perusahaan.
Bencana asap
Berbulan-bulan Jambi berselimut kabut asap kebakaran lahan gambut. Kualitas udara di Muaro Jambi dan Kota Jambi terus memburuk, bahkan beberapa kali dalam kondisi berbahaya. Puncaknya, pada 16 Oktober 2019, pukul 08,00 WIB Data Air Quality Monitoring System (AQMS) Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi menunjukkan konsentrasi PM 2,5 mencapai 1.618 alias dalam kondisi berbahaya.
Bencana kabut asap membuat kasus ISPA meledak. Lebih dari 63.000 warga Jambi terserang gangguan pernapasan.
“Kalau di sini—Desa Betung—hampir merato, keno—ISPA—galo (kena ISPA semua). Tapi yang dikhawatirin itu anak kecil, bayi, orang tuo-tuo, kalau macam kito itu lah biaso, dak heran lagi, wong kebakaran hampir tiap tahun,” kata Ruslan, warga Desa Betung, Muaro Jambi.
Novriyani, warga Desa Pematang Raman, sempat khawatir karena anaknya yang berumur tiga bulan berhari-hari demam tinggi. Bencana kabut asap nyaris membuat ekonomi keluarga mereka lumpuh. Suaminya tidak bisa bekerja karena sakit. Bahkan Novri menderita peradangan pada dinding saluran bronkus.
“Sampai sekarang sayo masih berobat terus.”
Data Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menunjukkan, sepanjang 2019 terpantau 30.137 titik api. Luas hutan dan lahan terbakar mencapai 157.139 hektar. Lebih dari separuhnya di lahan gambut. Muaro Jambi, memiliki sepertiga luas gambut di Jambi macam dipanggang karhutla.
“Pada 2019 parah nian, lebih parah dari 2015. Yang terkenal langit merah itu di sinilah—Desa Betung—tempatnyo. Sekilo[meter] dari belakang sini itu api galo, sampai puluhan kilo[meter] itu terbakar semuo. Langit gelap, siang hari itu macam jam 8.00 malam,” kata Sarkim, warga Desa Betung, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi.
Di Gambut Jaya, bahkan ada yang meninggal dunia. Wihernanto menduga, kematian lima warga Gambut Jaya ada kaitan dengan kabut asap.
“Dulu orang banyak sesak napas, karena berbulan-bulan dikepung asap dari Pesona dan Sumatera Selatan. Orang yang punya riwayat sakit asma, mau napas sulit. Pas COVID-19 tambah parah, maka sampai orang [me]ninggal.”
Mantan Kepala Desa Gambut Jaya itu trauma setiap kali terjadi kemarau panjang. “Kami ini pengalaman kebakaran setiap tahun, 2006, 2008, 2014, 2015, 2018, 2019. Jadi kalau kemarau panjang itu bawaannya was was.”
Gugatan karhutla sampai putusan damai
Pada 26 Maret 2021, berkaus putih berbalutkan kemeja kotak-kotak, Rudiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi –periode 2017-2021–didampingi kuasa hukum, Ramos Hutabarat menggugat PBP dan PDIW ke Pengadilan Negeri Jambi atas kasus kebakaran 2019. Dua perusahaan itu disebut berkontribusi atas kerugian dampak kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap.
PBP dan PDIW dituntut bertanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerusakan lingkungan karena kebakaran lahan gambut di areal izin pada 2015 dan 2019. Dua perusahaan itu dituntut biaya pemulihan lingkungan Rp191 miliar.
Walhi juga menuding kedua perusahaan itu tidak pernah melakukan pemulihan lahan meski mendapat peringatan dan sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Gubernur Jambi.
Setelah melewati 11 kali proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi, yang diketuai Syafrizal justru memutuskan tidak berwenang mengadili perkara itu. “Menyatakan Pengadilan Negeri Jambi tidak berwenang mengadili perkara ini,” katanya, 28 Oktober 2021.
Dalam putusan itu disebutkan, KLHK mencabut sanksi administrasi PBP dan PDIW karena dianggap sudah melakukan upaya pemulihan lingkungan sesuai Surat Keputusan No. S.1275/MENLHK PHPL/UHP/HPL.1/8/2021 tertanggal 3 Agustus 2021. Juga Surat Keputusan Nomor. S.1137/MenLHK-PHPL/UHP/HPL/1/5/2021 tertanggal 30 Juni 2021.
Majelis hakim menilai perkara gugatan Walhi Jambi menjadi kewenangan PTUN.
Walhi menuding ada kejanggalan dalam proses pencabutan sanksi administratif PBP dan PDIW. Pencabutan sanksi KLHK saat sidang gugatan berlangsung di PN Jambi.
Ramos Hutabarat, kuasa Hukum Walhi Jambi menguraikan dugaan kejanggalan. KLHK baru menjatuhkan sanksi administratif pada PBP dan PDIW setelah Walhi Jambi mengajukan gugatan ke pengadilan.
“Kita ajukan gugatan itu 25 Maret 2021, sementara sanksi administratif dalam bentuk Surat Teguran II dari KLHK baru 13 April 2021.”
Selang dua bulan, KLHK mencabut sanksi administrasi PDIW dengan keluar Surat Keputusan No. S.1137/MenLHK-PHPL/UHP/HPL/1/5/2021 tertanggal 30 Juni 2021. Sebulan kemudian, KLHK mencabut sanksi administrasi PBP dengan keluar Surat Keputusan No. S.1275/MENLHK PHPL/UHP/HPL.1/8/2021 tertanggal 3 Agustus 2021. KLHK menganggap, kedua perusahaan telah melakukan pemulihan lingkungan.
Dalam dokumen putusan pengadilan, PBP dan PDIW baru mengajukan dokumen pemulikan ekosistem gambut pada 26 Juli 2021 dan teregister di KLHK 2 Agustus 2021. Seminggu setelah itu, tepatnya 10 Agustus 2021, rapat via zoom membahas rencana pemulihan ekosistem gambut dan revisi RKUPH kedua perusahaan.
Tiga hari kemudian, 13 Agustus 2021, KLHK menerbitkan Surat Keputusan No. SK.5302/MenLHK.PHPL/UPH/HPL.1/8/2021 tentang persetujuan perubahan rencana kerja usaha pemanfaatan hutan perizinan berusaha pemanfaatan hutan periode 2013-2021, dalam rangka perbaikan tata kelola gambut PBP. Pada tanggal sama, KLHK juga menerbitkan SK No. 5031/MenLHK.PHPL/UPH/HPL.1/8/2021 untuk PDIW.
Dua perusahaan itu kembali dapat kesempatan melaksanakan kegiatan operasional usaha sesuai izin dengan tetap jalankan rencana pemulihan ekosistem gambut dan melaporkan pada Ditjen Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan.
“Dokumen rencana pemulihan itu seharusnya melalui proses monitoring dulu…tidak bisa sekejab mata dalam hitungan bulan. Karena harus ada pemeriksaan faktual yang harus dilakukan,” kata Ramos, seperti diberitakan Mongabay sebelumnya.
Karena putusan ini Walhi Jambi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi, dan menang. Pada 2023 Mahkamah Agung juga menolak eksepsi PBP dan PDIW. Mahkamah Agung menyatakan, Pengadilan Negeri Jambi bewenang memeriksa perkara No.44/pdt.G/LH/2021/PN Jmb tentang kebakaran hutan dan lahan di konsesi PBP dan PDIW.
Setelah melewati lebih 20 kali sidang di pengadilan, Walhi Jambi justru memutuskan tidak melanjutkan gugatan. Walhi dan dua perusahaan tergugat sepakat berdamai.
Dalam akta perdamaian yang disepakati pada 29 April 2024 itu, tercatat ada 11 poin. Antara lain, PBP dan PDIW tetap bertanggung jawab penuh (strict liability) dan akan melaksanakan pemulihan ekosistem gambut di wilayah izin dengan membuat rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan yang disahkan KLHK. Keduanya juga sepakat, monitoring dan evaluasi setiap enam bulan.
Dalam perjanjian ini juga ditegaskan, apabila perusahaan tidak melaksanakan isi klausula akta perdamaian ini, maka perusahaan harus membayar biaya pemulihan ekosistem gambut, sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana pemulihan yang disahkan KLHK.
Para pihak akan dibebaskan melaksanakan kewajiban ini, baik sebagian maupun keseluruhan apabila kegagalan atau keterlambatan melaksanakan kewajiban karena keadaan memaksa (force majeure): kebakaran, bencana alam, peperangan…dan kebijakan pemerintah setempat yang secara langsung dapat mempengarugi pelaksanaan pemenuhan pelaksaan perjanjian.
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi memilih damai dengan alasan kewalahan melanjutkan gugatan terhadap PBP dan PDIW, karena kurang sumber daya manusia. Meskipun begitu, katanya, apa yang menjadi target dalam gugatan sudah tercapai.
“Target kita jelas, semua lahan yang terbakar harus dipulihkan. Kalau tidak dilakukan kita bisa balik gugat bahwa perusahaan tidak serius,” katanya.
Meski demikian, kata Abdullah, Walhi Jambi terus memantau proses pemulihan perusahaan. “Kalau terjadi kebakaran lagi, berarti mereka harus dikaji ulang. KLHK berhak membekukan bahkan mencabut izin perusahaan,” katanya.
Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia yang ikut menjadi ahli dalam sidang gugatan karhutla, menilai, peluang Walhi Jambi memenangkan gugatan sangat besar.
Menurut dia, strict liability atau tanggung jawab mutlak dalam gugatan karhutla tidak perlu membuktikan siapa yang membakar lahan. Bahkan tanpa putusan pengadilan, perusahaan harus bertanggung jawab.
“Kebakaran itu terjadi karena gambut kering. Karena ada kanal…gambut itu kan sifatnya fire proof, karena kering hingga terjadi kebakaran. Jadi, pemegang konsesi harus bertanggung jawab. Tapi hukum di Indonesia tidak bisa diprediksi, orang—yang seharusnya—kalah bisa menang. Hingga mesti melalui putusan pengadilan.”
Ketua Perhimpunan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia itu juga bilang, Walhi seharusnya tidak hanya menuntut pemulihan lahan, juga biaya kompensasi lingkungan.
“Seharusnya ada kompensasi lingkungan. Karena pemulihan itu butuh waktu panjang, jadi selama proses pemulihan harus ada kompensasi. Saya yakin itu tidak dilakukan.”
Celah lain untuk memenangkan gugatan adalah, Walhi ikut memasukkan kasus bencana asap, yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup, termuat jelas bahwa tergugat tidak bisa menolak gugatan dengan alasan kurang pihak.
“Jadi, gugatan itu harus diterima. Kalau perusahaan berkilah bukan dia saja penyebab bencana kabut asap, maka harus menarik pihak lain yang menurutnya terlibat untuk ikut bertanggung jawab.”
Sekarang Andri justru khawatir kesepakatan damai dalam gugatan karhutla oleh Walhi Jambi justru jadi modus baru yang akan ditiru perusahaan lain agar lepas dari gugatan hukum.
“Ini bisa menjadi modus baru yang akan dilakukan perusahaan lain dengan melibatkan TNI agar bisnisnya aman. Apalagi kalau revisi UU TNI nanti disahkan, ini bahaya!”
Saham TNI?
Dalam dokumen gugatan Walhi Jambi di Pengadilan Negeri Jambi muncul nama Yayasan Kartika Eka Paksi sebagai pemilik 25% saham PDIW. Yayasan ini merupakan wadah persatuan istri anggota TNI-AD.
Berdasarkan data Ditjen AHU, Yayasan Kartika Eka Paksi yang beralamat di jalan Medan Merdeka Timur, No.7, tercatat menguasai 500 lembar saham PDIW senilai Rp500 juta, dan menjadikan sebagai pemegang saham mayoritas. Perubahan akta anggaran dasar PDIW terjadi pada 23 Juni 2021.
Sumber yang ditemui Mongabay menyebut, pembagian saham untuk Yayasan TNI itu mulai dibahas sejak 2020. Dia menyebut Jenderal Andika Perkasa, yang saat itu menjabat Kepala Staf TNI-AD sekaligus Ketua Yayasan Kartika Eka Paksi ikut dalam rapat karhutla di Kantor Menkopolhukam, Jakarta, sekitar Januari 2020.
Selain Andika, Komandan Korem 042/Garuda Putih Brigjen TNI Muhammad Zulkifli, perwakilan KLHK, Pemerintah Jambi, perwakilan PDIW dan PBP, juga ikut dalam rapat itu.
“Kesimpulan dari Kementerian LHK dan yang rapat waktu itu, PDIW diambil alih TNI tapi WKS yang ngelola.”
Dia bilang, Yayasan TNI-AD akhirnya mendapatkan saham pada 2021.
Mongabay menemui narasumber lain, yang ikut rapat di daerah bersama Penjabat Gubernur Jambi, Hari Nur Cahya Murni, yang saat itu bertujuan mencari solusi permanen penanganan karhutla.
Menurut dia, Yayasan Kartika Eka Paksi membeli saham PDIW. Saat itu, pemegang saham disebutnya berniat menjual perusahaan karena tidak sanggup mengelola konsesi.
“Itu bisa dicek di pengeluaran Eka Paksi.”
Dalam wawancara dengan wartawan Kompas TV yang tayang 26 Oktober 2021, Komandan Korem 042/Garuda Putih Muhammad Zulkifli benarkan TNI-AD mengambil alih pengelolaan konsesi PDIW seluas 34.730 hektar, setara dua kali luas Kota Jambi.
“Jadi lahan itu sendiri kan terbakar tahun 2015, kemudian terbakar lagi 2019. Dua kali terbakar itu menjadi pelajaran penting bagi kita di Jambi ini, bahwa lahan itu tidak bisa lagi dijaga. Lahan itu harus dikelola, lahan itu harus dijaga, lahan itu harus dicegah dari kebakaran,” katanya.
Dalam narasi disebutkan, pengambilalihan PDIW oleh TNI mendapat dukungan dari Polri, BPBD, Pemprov Jambi dan Pemda Muaro Jambi sebagai upaya pencegahan karhutla dan pemberantasan illegal logging. Rencana saat itu konsesi PDIW akan jadi tempat latihan TNI. Laporan berita lain menyebut, dicadangkan untuk program ketahanan pangan food estate.
Meskipun demikian, saat ini PDIW justru dikelola anak usaha Sinar Mas. Hal ini dikonfirmasi oleh humas PT Wira Karya Sakti (WKS), Taufik Qurochman yang ditemui Mongabay pada 16 Agustus lalu.
Dia mengaku pernah dipanggil ke KLHK sekitar Juli 2021, setelah Yayasan Kartika Eka Paksi masuk dalam jajaran pemegang saham PDIW. Mereka diminta menggarap konsesi PDIW dan PBP, karena APRIL—Asia Pacific Resources International Holdings Limited, menolak.
“Restorasi tidak ada yang mau ngambil di situ. APRIL ditawari KLHK nolak, karena terlalu jauh dari Riau ke Jambi.”
Taufik mengaku sejak 2015, WKS sudah ditawari KLHK untuk menggarap konsesi PDIW dan PBP, tetapi menolak. Tawaran kembali datang pada 2019, kembali ditolak. Katanya, dua konsesi itu rawan kebakaran.
“Kebakaran 2015 kami yang padamin, 2017 kami turunkan 76 alat berat untuk madamkan api. Waktu langit merah 2019, ada 34 personel, 2 heli[kopter], 67 alat berat diperbantukan di situ,” kata Taufik.
Maraknya pembalakan liar dituding jadi penyebab kebakaran di PBP dan PDIW terus berulang. Sejak 2010, pembalakan liar di PBP dan PDIW begitu masif. Kanal perusahaan yang terhubung ke sungai-sungai hingga wilayah Sumatera Selatan, digunakan para pembalak untuk mengangkut ratusan kubik kayu ilegal dari Taman Nasional Berbak dan Hutan Lindung Gambut Rang Kayo Hitam.
“Tekanan ke kami banyak. Belum lagi isu perluasan konsesi Sinar Mas, ada perhutanan sosial kerja sama dengan kita, dibilang ekspansi. Itu jadi pertimbangan, kami terlalu ditekan di situ. Aku nggak mau.”
Setelah TNI mengambil alih PDIW Juli 2021, Taufik sempat bertemu Zulfkli. Jenderal TNI bintang dua yang kini menjabat sebagai Staf ahli Kepala Staf Angkatan Darat itu meminta agar WKS bersedia mengelola konsesi PDIW.
“Kami diminta kelola.”
Sekarang Taufik menjabat sebagai Kuasa Direktur PDIW. Dia memainkan peran penting pasca Yayasan TNI masuk dalam jajaran pegang saham PDIW. Taufik mengakui, dialah yang menyusun dokumen pemulihan agar konsesi PDIW dan PBP lepas dari sanksi KLHK dan bisa digarap. Hanya hitungan hari, dokumen itu disetujui KLHK.
Taufik menampik tudingan bahwa Sinar Mas sebetulnya telah lama mengincar konsesi PDIW. Karena raksasa pulp di Asia itu dikabarkan tidak lagi bisa mengurus izin konsesi baru.
Belum lagi dengan modal yang harus dikeluarkan Sinar Mas untuk menggarap konsesi PBP dan PDIW jadi kebun akasia yang diperkirakan Taufik antara Rp50-60 miliar. Butuh waktu lima daur atau sekitar 20 tahun untuk mengembalikan modal.
“Kalau itu gampang ngakalinya, kita bikin PT baru saja. Kementerian nggak bakal tahu. Kita mau garap (PDIW), karena diminta,” katanya.
Saat ini konsesi PBP dan PDIW dijaga oleh TNI. Ada empat pos yang masing-masing dijaga tiga orang personel tentara aktif dari Kodim 0415/Jambi. Kodim ini membawahi 13 koramil di wilayah Kota Jambi, Muaro Jambi dan Batanghari.
Pada 9 September 2024, Mongabay mencoba menghubungi Mayjen TNI M. Zulkifli, untuk mengkonfirmasi, terkait kepemilikan saham Yayasan Kartika Eka Paksi di PDIW, tetapi tidak mendapat respons. Surat permohonan wawancara yang dikirim ke email Yayasan Kartika Eka Paksi sejak awal Agustus juga belum dibalas sampai berita ini terbit. (Bersambung)
*Infografis: Niko Wicaksana
********
*Liputan ini, bagian dari program Data Journalism Forest Bootcamp 2024 yang didukung Indonesia Data Journalism Network (IDJN).
Penegakan Hukum Lemah di Jambi Walau Area Perusahaan Karhutla Berulang