- Ancaman megathrust yang disebut-sebut tinggal menunggu waktu banyak bikin was-was masyarakat. Bagaimana seharusnya para pihak dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil menghadapinya?
- Zona ancaman megathrust tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan samudera. Mulai dari barat Sumatera, Selatan Jawa, hingga Utara Maluku dan Papua. Dengan mengetahui ancaman ini, dia harap bisa memperkuat mitigasi dan antisipasi.
- Posisi Indonesia yang diapit dua lempeng menjadikan negeri ini rentan gempa bumi. Termasuk, megathrust, yakni, gempa bumi berkekuatan lebih 8,5 magnitudo.
- Abdullah Muhari, Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana belum terbangun dengan baik. Diskursus soal bencana tidak hanya berhenti pada informasi ancaman semata juga dibarengi solusi terukur yang bisa ditawarkan kepada masyarakat.
Seketika tempat Meril Budi berdiri berguncang, 26 Agustus lalu. Dia yang sedang telponan pun panik. Sontak, Meril sadar setelah bola lampu yang tergantung di ruang tamu ikut bergoyang.
“Ada gempa. Ada gempa ini, saya keluar rumah dulu,” katanya.
Tak berselang lama, notifikasi masuk ke telepon selulernya dan mengonfirmasi ada gempa bumi. Dalam notifikasi itu disebutkan pusat gempa di Yogyakarta, diperkirakan tak memicu tsunami.
Ancaman megathrust yang disebut-sebut tinggal menunggu waktu banyak bikin was-was masyarakat, tak heran Meril panik. Terlebih, tempatnya tinggal berada tak jauh dari Pantai Selatan Blitar, masuk dalam zona pantahan megathust.
Kurang perhatian
Abdullah Muhari, Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, posisi Indonesia yang diapit dua lempeng menjadikan negeri ini rentan gempa bumi. Termasuk, megathrust, yakni, gempa bumi berkekuatan lebih 8,5 magnitudo.
Informasi megathrust itu sejatinya bukan hal baru. Pada 2011 dan 2018, informasi ini sempat disampaikan yang akhirnya memicu kepanikan masyarakat.
Muhari menilai, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana belum terbangun dengan baik.
“Kalau masyarakat itu sudah memiliki kesadaran penuh, seharusnya respon tidak (panik) . Ketika informasi akan ada ancaman direspons dengan kepanikan, berarti pesan kita tidak sampai. Padahal, pesan itu disampaikan dengan maksud agar masyarakat tahu dan mengerti bagaimana meresponnya,” katanya.
Dia beharap, diskursus soal bencana tidak hanya berhenti pada informasi ancaman semata juga dibarengi solusi terukur yang bisa ditawarkan kepada masyarakat.
Muhari katakan, zona ancaman megathrust tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan samudera. Mulai dari barat Sumatera, Selatan Jawa, hingga Utara Maluku dan Papua. Dengan mengetahui ancaman ini, dia harap bisa memperkuat mitigasi dan antisipasi.
“Karena kita memang dikepung lempengan. Tidak hanya lempeng megathrust, juga segmen gempa darat seperti yang terjadi di Cianjur, Yogyakarta, pada 2006 juga Padang 2009 dan seterusnya,” katanya.
Dia bilang, gempa dan tsunami itu pasti berulang. Untuk itu, katanya, perlu memperketat penggunaan tata ruang.
Simulasi
Pada 5 September lalu, BPNB menggelar apel kesiapsiagaan dan simulasi potensi megathrust di titik-titik gempa seperti di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat dan Pandeglang, Banten dan Ciamis, Jawa Barat. Di Mentawai, simulasi dihadiri Kepala BNPB Letjend Suharyanto.
Ibrani Sababalat, Pj. Bupati Kepulauan Mentawai, mengatakan, penting meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Terlebih, Mentawai merupakan satu daerah yang memiliki potensi tinggi gempa bumi dan tsunami.
“Wilayah kami berada di zona megathtrust, merupakan zoa rawan akibat pertemuan lempeng Indo Australia-Eurasia,” katanya.
Riset para ahli, katanya, potensi gempa berkekuatan 8,9 SR dapat terjadi di barat daya Siberut dan potensi tsunami 20 meter dengan waktu tiba kurang dari 7 menit.
Luas Kepulauan Mentawai sekitar 6.000 km dengan penduduk sekitar 95.000 jiwa tersebar pada 43 desa di 10 kecamatan. Dari 43 desa itu, 24 berada di pesisir pantai yang berpotensi terkena dampak tsunami. Bahkan, 10 desa berada tepat di wilayah landaan tsunami.
“Indeks risiko bencana di Mentawai pada 2023 adalah 162,58 yang termasuk kategori tinggi dengan indeks ketahanan daerah 0,41. Inilah mengapa membangun kesiapsiagaan itu jadi sangat krusial,” katanya,
Untuk itu, penguatan mitigasi dengan membentuk desa-desa siaga bencana terus dilakukan.
Salah satu desa tangguh itu adalah Desa Tua Pejat, telah memenuhi 12 indikator tsunami ready community (TRC) dan lulus verifikasi internasional. Beberapa indikator itu antara lain, jalur dan juga tempat evakuasi setinggi 65 meter yangsudah terbangun.
Untuk teknologi, lima alat pencatat gempa bumi juga dipasang di sejumlah pulau, seperti Siberut, Sipora dan juga Pagai. Saat ini, pemerintah kabupaten merencanakan memasang alat pemantau ketinggian air di beberapa lokasi.
“Warning receiver system juga dipasang di tiga lokasi untuk mendukung penyebaran informasi gempa bumi dan tsunami. Ini langkah besar untuk mendapatkan data cepat dan akurat serta dapat diandalkan masyarakat.”
Suharyanto katakan, pada 2020-2025, BNPB bekerjasama dengan Bank Dunia meningkatkan peringatan dini di sepanjang pantai yang potensial terdampak megathrust. Kerjasama dalam bentuk peningkatan kapasitas, pemasangan teknologi, hingga pembuatan jalur evakuasi.
Dia meminta, masyarakat meningkatkan mitigasi dan kesiapsiagaan ketimbang takut berlebihan. “Karena belum ada tekonologi atau ilmu pengetahuan apapun yang bisa memprediksi kapan dan dimana megathrust itu datang.”
Tak sekadar mitigasi…
Eko Teguh Paripurno, pakar kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta, memberi masukan guna menekan dampak bencana di Indonesia. Menurut dia, satu yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendorong setiap unsur, mulai lembaga usaha, masyarakat, perguruan tinggi hingga media untuk berkoordinasi menanggulangi.
Untuk meminimalisir dampak bencana tak cukup hanya dengan mitigasi. “Perencanaan pembangunan, pencegahan juga harus berjalan dengan baik,” katanya saat dihubungi Mongabay, Senin (2/9/24).
Dalam konteks pembangunan, misal, dengan menghindari pembangunan di kawasan-kawasan rawan bencana gempa, tsunami, likuifaksi, longsor dan lain-lain. Hal itu, katanya, harus diimbangi penegakan hukum tegas ketika terjadi pelanggaran, tanpa terkecuali.
“Mitigasi saja tidak cukup. Mitigasi, sementara perencanaan pembangunan buruk, ya lewat. Mitigasi, tetapi pencegahan buruk, ya lewat. Mitigasi, masih ada kebocoran hingga kesiapsiagaan tidak dilakukan, ya lewat,” katanya.
Satu hal penting lagi, perlu diluruskan adalah anggapan penanganan dan penanggulangan bencana sebagai tugas pemerintah. Pemahaman itu, katanya, sebagai kesesatan berpikir. Sebab, banyak pihak juga turut berperan menambah kerentanan bencana.
Pelaku usaha, misal, dengan memanfaatkan kemudahan perizinan, investasi acapkali kurang memperhatikan risiko, bahkan meningkatkan resistensi terhadap bencana. Misal, membangun di sempadan pantai atau pesisir.
“Perubahan di kawasan pesisir itu juga kontribusi semua pihak yang menjadikan kerentanan itu meningkat, meski dengan kontribusi berbeda. Kelemahan penegakan hukum, makin mudahnya perizinan, misal.”
Semua pihak, katanya, harus mengambil langkah nyata ketika mengetahui lokasinya rawan bencana guna meminimalisir risiko.
Di jalur patahan, misal, memastikan struktur bangunan lebih adaptif. Pun demikian di daerah rawan tsunami, apakah mitigasi struktural dan vegetasi cukup memadai.
Dia menilai, makin ke belakang, pembangunan cenderung mengabaikan prinsip keselamatan dan perlindungan terhadap bencana. Contoh, pembangunan di sempadan pantai, tentu rentan tsunami. Begitu juga di kawasan dengan muka air cenderung dangkal, rawan likuifaksi.
Termasuk juga, pembangunan pemukiman yang tak memikirkan akses jalan untuk pemadam kebakaran. “Pembangunan makin ke belakang, itu makin mengarah pada kerentanan yang meningkat,” katanya.
Saat ini, dokumen peta rawan bencana banyak beredar dan mudah didapat. Namun, katanya, tak banyak orang memaknai dan jadikan inspirasi untuk mengambil tindakan guna mengurangi risiko bencana.
Melva Harahap, Manajer Pencegahan dan Penanganan Bencana Walhi Nasional, menyatakan hal serupa. Pemerintah, katanya, belum cukup serius jadikan kerentanan bencana sebagai basis pembangunan. Hal itu tercermin dari pola penggunaan tata ruang yang terkesan serampangan.
Memang, katanya, , ada begitu banyak zona ruang yang sebelumnya berfungsi lindung dan berperan penting bagi ekosistem, diubah hanya demi kepentingan investasi.
“Kita menyadari betul bagaimana kerentanan tinggal di negara rawan bencana. Masalahnya, itu jadi satu perspektif dalam pembangunan. Proyek-proyek PSN (proyek strategis nasional), misal, ada begitu banyak yang tidak mengindahkan itu.”
Situasi, itu katanya, diperparah dengan kontruksi bangunan tidak adaptif serta sistem peringatan tak berjalan baik. Akhirnya, bencana banyak memakan korban.
Lemahnya perlindungan pada zona pesisir adalah potret kerentanan bencana tidak jadi basis dalam mengelola tata ruang. Alih-alih, banyak vegetasi di pesisir, justru ditebang demi membuka jalan investasi. Padahal, vegetasi pesisir seperti mangrove berperan penting dalam menekan dampak ketika terjadi tsunami.
Apa yang terjadi di Jepang bisa menjadi pelajaran bagaimana coastal forest turut meminimalisir dampak dari hempasan tsunami yang pernah terjadi. Beberapa wilayah yang tak memiliki pagar hidup, mengalami kerusakan lebih parah ketimbang punya hutan pantai yang terjaga.
“Ini yang seringkali tidak dipahami, perubahan bentang, hilangnya mangrove, reklamasi akan memberi dampak yang lebih luas ketika terjadi tsunami,” kata Memeng, sapaan akrabnya.
Situasinya jadi makin kompleks lantaran sejumlah proyek infrastruktur penanggulangan bencana, seperti shelter tsunami juga dilaporkan mangkrak karena sejumlah skandal.
Memeng mengatakan, ada satu yang seringkali terabaikan pemerintah berkaitan upaya mitigasi dan penanggulangan bencana, yakni penguatan sumber-sumber pangan masyarakat.
Menurut dia, pemerintah perlu memberi proteksi terhadap area atau wilayah kelola yang selama ini menjadi sumber pangan masyarakat.
“Itu sangat penting untuk mendukung kemandirian pangan, sekaligus sebagai bentuk proteksi ketika terjadi bencana.”
Seringkali terjadi, bencana diikuti kerusakan jaringan infrstruktur pada akhirnya memutus pasokan pangan. Maka, yang perlu didorong adalah bagaimana mitigasi ini juga diarahkan agar masyarakat terdampak mampu bertahan tanpa bergantung pasokan dari luar.
“Di Walhi, kami sudah ada beberapa kelompok dampingan yang ketika terjadi bencana, paling tidak mereka bisa memenuhi sumber pangannya minimal 48 jam. Pendekatan ini yang belum tampak oleh pemerintah.”
******
Bagaimana Kesiapan Indonesia Hadapi Ancaman Gempa Megathrust?