- Setelah bertahun-tahun desakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil agar ada aturan perlindungan bagi para pejuang atau pembela lingkungan, akhirnya baru terbit. Dalam aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu menyebutkan, para pejuang lingkungan hidup tak bisa kena hukum pidana maupun perdata.
- Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengapresiasi permen ini, meskipun agak terlambat. Namun, perlu ada progresivitas dari struktur dan budaya hukum yang harus memastikan substansi dari permen ini bisa berjalan dengan baik.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyayangkan, sudah hampir 10 tahun Siti Nurbaya menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru tahun ini membuat permen ini. Sudah banyak para pejuang lingkungan hidup menjadi korban kriminalisasi, bahkan dibunuh karena tidak ada regulasi khusus yang melindungi mereka.
- Sebelumnya, sudah terbit tiga beleid yang mengatur hal sama, yaitu, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan, dan Pedoman Jaksa Agung tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Juga Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (dicabut melalui Perma 1/2023). Raynaldo G. Sembiring Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, satu-satunya institusi yang belum memiliki kebijakan perlindungan bagi pejuang lingkungan hanyalah polri.
Dokumen: Permen LHK
Setelah bertahun-tahun desakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil agar ada aturan perlindungan bagi para pejuang atau pembela lingkungan, akhirnya baru terbit. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 10/2024 tentang perlindungan hukum terhadap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Para pejuang lingkungan hidup tak bisa kena hukum pidana maupun perdata. Seperti apa aturan itu? Mampukah memberikan perlindungan kuat bagi pembela lingkungan hidup?
Permen ini bisa menjadi dasar pelaksanaan perlindungan hukum dalam meningkatkan partisipasi publik dan sinergitas antar lembaga guna upaya pencegahan perusakan lingkungan hidup.
Kelahiran PermenLHK ini berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup- UU Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja jadi UU.
Kebijakan yang teken 30 Agustus ini mengatur setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dituntut secara pidana maupun digugat perdata.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengapresiasi permen ini, meskipun agak terlambat. Namun, katanya, perlu ada progresivitas dari struktur dan budaya hukum yang harus memastikan substansi dari permen ini bisa berjalan dengan baik.
Sederhananya, lembaga-lembaga penegak hukum harus memahami dan harus menjalankan permen ini.
Dia bilang, begitu banyak kasus dari kepolisian, misal, malah mengintimidasi dan kriminalisasi para pejuang lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik.
Para hakim di pengadilan juga harus punya perspektif keberpihakan terhadap orang-orang yang memperjuangkan lingkungan. Terlebih lagi, permen itu memandatkan untuk mengarusutamakan orang-orang di struktural pemerintahan dalam membangun perspektif untuk penyiapan para hakim yang bersertifikat lingkungan.
“Kami sangat menunggu operasional dari Permen ini, dan bisa dipakai untuk kasus-kasus kriminalisasi lingkungan yang sedang berproses sekarang,” kata Uli kepada Mongabay, 9 September lalu.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyayangkan, sudah hampir 10 tahun Siti Nurbaya menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru tahun ini membuat permen ini. Sudah banyak para pejuang lingkungan hidup menjadi korban kriminalisasi, bahkan dibunuh karena tidak ada regulasi khusus yang melindungi mereka.
Baca juga: Protes Bencana Dampak Nikel Berujung Jerat Hukum Aktivis Perempuan
Ratusan jadi korban
Data Walhi menyebut, sudah ada 827 pembela lingkungan menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2014-2023. Dari jumlah itu, enam orang meninggal dunia, 145 ditangkap, 28 tersangka, sembilan anak-anak, 19 perempuan, serta 620 orang luka-luka mulai ringan hingga berat karena kekerasan aparat. Kasus ini belum termasuk perkara pada 2024.
Dia contohkan, kasus teranyar Cristina Rumahlatu dan Thomas Madilis, dua aktivis lingkungan hidup yang dikriminalisasi setelah aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) 1 Agustus lalu. Keduanya dengan tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Padahal, mereka menyoroti dampak lingkungan dari operasi tambang dan kawasan industri nikel yang memicu banjir di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur 21-24 Juli 2024. Kala itu banjir dengan ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir sampai mengisolasi dan melumpuhkan sejumlah desa di sekitar IWIP. Sekitar 1.700 warga terpaksa mengungsi.
Banjir juga terjadi di Halmahera Timur merendam 12 desa hingga menyebabkan longsor di beberapa titik jalan lintas. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Arie bilang, apa yang dialami Cristina dan Thomas karena lambatnya regulasi perlindungan untuk pejuang lingkungan hidup.
“Ini sebenarnya permen yang sudah lama ditunggu-tunggu. Kami sudah lama mendorong regulasi ini harus ada, tetapi KLHK terus menunda-nundanya. Akhirnya, sudah banyak pejuang lingkungan hidup jadi korban,” katanya kepada Mongabay, 9 September lalu.
Meskipun begitu, dia tetap mengapresiasi kebijakan yang Menteri Siti keluarkan jelang masa akhir jabatannya.
Dia mendesak aparat penegak hukum, seperti kepolisian, jaksa, dan hakim melihat permen ini saat menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Jangan sampai, katanya, permen ini jadi kebijakan tak dipandang oleh penegak hukum lain.
Terlebih lagi, katanya, lembaga hukum di Indonesia masih bisa diintervensi kepentingan elit, bahkan korporasi.
Dia berharap, Permen LHK ini bisa jadi peluang bagi pengacara atau lembaga bantuan hukum untuk pembelaan awal kepada para pejuang lingkungan walau belum tentu bisa jadi jaminan keadilan terwujud di Indonesia.
“Lembaga yang independen [saja], masih saja bisa diintervensi. Artinya, Permen LHK ini belum bisa menjadi jaminan juga para pejuang lingkungan terbebas dari ancaman kriminalisasi.”
Baca juga: Jaga Hutan Mangrove Tak jadi Sawit, Ilham Ditangkap Polisi
Masih lemah?
Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengatakan, permen ini masih sangat lemah dalam melindungi para pejuang lingkungan hidup. Pasalnya, urat dari masalah kriminalisasi pejuang lingkungan berada di aparat penegak hukum. Untuk itu, katanya, harus juga mengintervensi kewenangan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, sampai hakim.
Permen itu, katanya, tidak berdiri di atas kewenangan kepolisian, kejaksaan, atau hakim padahal itu merupakan persoalan mendasar. Menurut dia, meskipun sudah ada permen ini, tetapi kewenangan penuh berada pada tiga lembaga itu.
Sederhananya, kalau ada kasus berkaitan dan pejuang lingkungan kena kriminalisasi, penegak hukum bisa saja mengabaikan.
“Sebelum dibaca detail permen ini, saya sudah paham betul apa isinya yang tidak berdiri di level intervensi. Artinya, kewenangan penuh masih ada di tangan APH (aparat penegak hukum). Ini tidak menyelesaikan persoalan paling mendasar,” katanya.
Julius mencontohkan, soal Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Polisi Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang berisi pedoman penerapan beberapa pasal dalam UU Informasi ITE.
Alih-alih menghentikan kriminalisasi kepada warga, katanya, SKB sama sekali tak diterapkan. Hal itu terbukti dengan makin banyak aktivis atau masyarakat Indonesia kena kriminalisasi dengan UU ITE. Seharusnya, SKB itu menjadi contoh nyata dalam melihat permen ini.
Julius bilang, pemicu awal dari problem lingkungan hidup dan kriminalisasi adalah dampak lingkungan dari aktivitas swasta maupun negara buat kebijakan atau izin pemerintah. Jadi, evaluasi kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan hidup itu terlebih dahulu, termasuk penindakan pada korporasi yang melanggar.
Kenyataan berbeda. KLHK, tidak melakukan evaluasi menyeluruh, bahkan tak memberikan penindakan tegas kepada korporasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Permen ini, katanya, bisa jadi hanya pajangan dan ironi di tengah kerusakan lingkungan makin masif.
Baca juga: Tolak Hutan Mangrove jadi Sawit, PN Stabat Vonis Ilham dan Taufik Bersalah
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, permen ini secara substansi bagus. Dia mengapresiasi kebijakan ini, tetapi persoalannya bagaimana agar terimplementasi.
“Permen ini perlu diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab negara melalui KLHK memberikan perlindungan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup,” katanya.
“Karena kriminalisasi pejuang Lingkungan pintu masuknya melalui kepolisian. Permen ini terkadang kurang dianggap oleh penegak hukum apalagi jika dihadapkan dengan KUHAP dan KUHP.”
Roni meminta, KLHK intensif sosialisasi ke lembaga penegak hukum, termasuk mengembangkan konsep kolaborasi penegakan hukum agar permen ini benar-benar bisa terlaksana.
Sebelumnya, sudah terbit tiga beleid yang mengatur hal sama, yaitu, pertama, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan (Perma 1/2023). Kedua, Pedoman Jaksa Agung Nomor 8/2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pedoman JA 8/2022). Ketiga, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (dicabut melalui Perma 1/2023).
Raynaldo G. Sembiring Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, instrumen ini melengkapi mekanisme penghentian perkara sedini mungkin yang diatur dalam Perma 1/2023 dan Pedoman JA 8/2022.
“Karena itu dalam pencegahan dan penanganan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, Permen LHK 10/2024 sebaiknya dioperasionalkan sebagai satu kesatuan dengan Pedoman JA 8/2022 dan Perma 1/2023, dengan UU Lingkungan dan UU HAM sebagai payungnya,” kata Dodo, sapaan akrabnya, dalam rilis kepada media.
Dengan ada permen ini, katanya, satu-satunya institusi yang belum memiliki kebijakan perlindungan bagi pejuang lingkungan hanyalah polri.
“Komitmen dan kebijakan Polri sangat ditunggu, karena upaya penyerangan hukum dan pelanggaran hak bagi pejuang lingkungan sering berasal dari upaya paksa dalam penyidikan. Polri memiliki peran penting sebagai garda terdepan menghentikan dan melindungi pejuang lingkungan.”
********
Ketika Para Pembela Lingkungan Makin Terancam, Masukan buat Pemerintah?