- Pemerintah menetapkan enam hutan adat di Bali karena keunikan tradisi dan upayanya menjaga kelestarian hutan
- Sudah ada tiga hutan adat di Bali yang pernah dinobatkan sebagai terbaik yakni hutan adat Bayung Gede, Alas Kedaton, dan Tenganan Pegringsingan
- Pada 2024, hutan adat Bayung Gede menjadi terbaik karena salah satu keunikannya Setra Ari-ari, menggantung ari-ari bayi di pohon dalam kawasan hutan adat.
- Penetapan hutan adat dinilai mendorong upaya pelestarian hutan karena ada tradisi-tradisi pengendalian pemanfaatan dan perlindungan pohon endemik setempat.
Desa Bayung Gede di Kabupaten Bangli, Bali ini terlihat tertata rapi. Ketika masuk ke kawasan desa, disambut petak kebun jeruk dan hutan bambu. Sejumlah perumahan tradisional juga masih nampak terbuat dari bambu atau tanah.
Tata ruang desa nampak jelas dengan petunjuk utama di sebelah utara lokasi pura, tempat persembahyangan warga. Sementara di selatan adalah kebun dan hutan adat. Salah satu kawasan hutan adat yang menarik perhatian adalah Setra Ari-Ari atau kuburan ari-ari bayi baru lahir di desa tua ini.
Namun uniknya, ari-ari bayi tidak dikubur, tapi digantung di sejumlah pohon. Ari-ari ditaruh dalam batok kelapa dengan sejumlah bahan lain, lalu digantung di pohon Bukak (pohon bergetah dan buahnya terbuka), jenis endemik di desa ini. Walau demikian, tak ada bau menyengat. Padahal sejumlah pohon dengan gantungan ari-ari ini mudah terlihat dari pinggir jalan desa.
Made Maha Widiarta dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali yang menangani hutan adat mengatakan hutan adat Bayung Gede dinobatkan sebagai hutan adat terbaik tahun ini. Ada sejumlah indikator seperti hutan adatnya terjaga, ada aturan adat (awig-awig) yang ditaati warga, dan keunikan Setra Ari-ari di dalam hutan adat itu.
Tahun-tahun sebelumnya, hutan adat di Bali yang juga disebut terbaik adalah hutan adat Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem dan hutan adat Alas Kedaton di Kabupaten Tabanan.
Baca : Asyiknya Trekking di World Heritage di Kaki Gunung Batukaru
Profil Dinas Kehutanan menyebutkan di dalam hutan adat Bayung Gede terdapat sentral ari-ari. Sentral ari-ari merupakan hutan yang diperuntukkan untuk meletakkan ari-ari bayi yang baru lahir. Ari-ari tersebut digantung di pohon bukak (Cerbera manghas). Pohon Bukak diyakini mampu menyerap bau busuk.
Ritual mengantung ari-ari pada pohon bukak di lokasi hutan adat Bayung Gede merupakan mitologi “tued kayu” yang mengisahkan kelahiran manusia pertama Bayung Gede dari tued kayu atau pangkal pohon yang diperciki tirta kamandalu oleh bojog (monyet) putih,
Makna simbolik yang terkandung di dalam setra ari-ari terangkum dalam pandangan masyarakat terhadap hutan setra ari-ari yang berkaitan dengan konsep semesta alam Bhuana Agung dan Bhuana Alit dan Panca Maha Bhuta. Makna penggantungan ari-ari di setra ari-ari juga berkaitan dengan konsep Catur Sanak atau empat saudara yang terdiri dari yeh nyom (air ketuban), lamad (tali pusar), getih (darah) dan ari-ari (plasenta).
Ritual ini bertujuan agar si bayi yang baru lahir senantiasa dilindungi oleh keempat saudaranya dari dunia niskala. Setra ari-ari secara denotatif merupakan tempat peleburan unsur Bhuana Alit dan Bhuana Agung, secara konotatif dianggap sebagai rumah niskala dari Catur Sanak, buah bukak dianalogikan sebagai alat kelamin.
“Tradisi atau budaya menggantung ari-ari bayi baru lahir ini diwarisi masyarakat desa ini sudah sejak lama,” tutur Komang Artawan, kelian Banjar Pludu Desa Bayung Gede, dikutip di media jurnalisme warga Balebengong.
Artawan menjelaskan sampai saat ini warga Desa Bayung Gede menyakini tradisi ini berkaitan erat dengan mitologi asal mula desa ini. Bahkan, cara seperti ini diyakini dapat melindungi dan memelihara bayi secara magis. Sehingga bayi tersebut tumbuh dewasa dapat terhindar dari penyakit dan gangguan makhluk halus.
Baca juga : Mengani, Desa Bibit Kopi Kintamani
Keunikan lain dan hubungannya dengan kearifan alam Setra Ari-ari ini juga terungkap dalam studi bertajuk Nilai Karakter dalam Tradisi Ari-Ari Megantung di Desa Bayung Gede, Kintamani, Bangli, Bali oleh I Wayan Putra Yasa, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali.
Ia mencatat, secara umum tradisi untuk menangangi ari-ari bisa dibagi menjadi dua yaitu metanem (dikubur) di samping pintu masuk ke dapur, dengan aturan jika bayinya lakilaki di kanan pintu dan jika perempuan di sebelah kiri pintu. Tradisi lainnya yaitu dilarung (dibuang kelaut), umumnya dilakukan oleh masyarakat pantai yang mengharapakan anaknya kelak menjadi orang yang berani dan bebas mengaruhi kehidupan.
Alasan rasional lainnya adalah faktor keamanan, ini tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat Bayung Gede untuk memelihara binatang peliharaan seperti anjing dan babi. Binatang ini memiliki kebiasaan menggali dan mencari sesuatu yang dianggap bisa untuk dimakan.
Selain hutan adat Bayung Gede, keunikan hutan adat lain terlihat di Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang memiliki awig-awig dan hak komunal. Mereka membuat sejumlah aturan adat yang membatasi atau mengontrol eksploitasi hutan.
Di antaranya, Ngrampag adalah hak untuk mengambil hasil hutan/tegalan untuk keperluan bahan bangunan milik bersama yang dibatasi misalnya kayu bakar, ijuk 5 kakab tiap pohon, pohon pinang 1 tiap petak kebun, bambu 2 batang tiap lingseh, dan pohon kelapa.
Ngambang, hak menangkap atau meminta ayam untuk keperluan upacara hanya satu ekor anak ayam yang masih bersama induknya. Ngambeng, hak meminta hasil hutan berupa tuak aren dan durian untuk keperluan upacara.
Ngalang adalah hak mengambil hasil hutan untuk keperluan upacara seperti kelapa 7 butir, pisang 5 tandan, pinang 1 ijeng, bangka 1 buah, neneas 9 biji, sirih 3 cekel, dan buah-buahan sebanyak terbatas 1 kisa roras/12 helai.
Baca juga : Memantau Tutupan Hutan Bali, Mencegah Bencana Terulang Lagi
Penetapan 6 hutan adat di Bali
Dinas Kehutanan Bali menyebut sudah ada penetapan enam hutan adat saat ini. Di antaranya hutan adat Mekori untuk Desa Adat Tri Kayangan Belimbing, Kabupaten Tabanan seluas 21 hektar, hutan adat Terunyan pada Desa Adat Terunyan, Kintamani, Bangli seluas 287 hektar. Hutan adat Bayung Gede, Bangli seluas 23 Ha, dan Desa Adat Demulih seluas 40 hektar.
Berikutnya penetapan hutan adat Alas Kedaton pada masyaraat Desa Adat Kukuh, Tabanan seluas 9 hektar. Kemudian hutan adat Desa Tenganan Pegringsingan 591 ha.
Penetapan hutan adat berdampak pada menurunnya luas kerusakan kawasan hutan dengan indikator persentase penurunan kerusakan kawasan hutan (4,93%). Data luas kawasan hutan di Bali tercatat 131.171,47 ha atau 23% dari luas Pulau Bali. (***)