- Awalnya Esterlita Turang tak punya bayangan apapun tentang gerakan reforma agraria. Melihat, warga di Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, tempat tinggalnya dalam kondisi sulit, dia pun mengajak warga untuk memperjuangkan hak tanah mereka.
- Organisasi Tani Lokal (OTL) II Blongko jadi tempat perjuangan hak tanah Esterlita bersama warga Blongko. Sejak 2020 dia bergabung di sana bersama 138 anggota OTL terus menyuarakan ketidakadilan kuasa lahan. Separuh dari anggota OTL II adalah perempuan.
- Para perempuan di Organisasi Tani Lokal Blongko melakukan pemetaan sekitar satu bulan. Lokasi tempat mereka bekerja bertopografi perbukitan dan lembah. Meski begitu, mereka membuktikan kalau medan tak jadi soal. Pemetaan sudah selesai dan sudah pengajuan ke BPN.
- Kalau nanti warga Blongko mendapatkan hak tanah, anggota OTL I dan II bersepakat membagi sertifikat 40% atas nama perempuan. Kesepakatan ini, sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka dalam perjuangan ini. Hal ini juga untuk mengantisipasi kalau ke depan ada masalah cekcok rumah tangga, seperti perceraian. Pembagiannya, rumah untuk istri, kebun untuk suami.
Awalnya, Esterlita Turang tak punya bayangan apapun tentang gerakan reforma agraria sebelum pindah ke Desa Blongko, Bagi perempuan 30 tahun ini gerakan reforma agraria adalah dunia yang ‘jauh,’ dan tidak sesuai dengannya. Apalagi selama ini dia kebanyakan bergelut dengan urusan domestik, seperti urusan rumah tangga dan merawat anak.
Ester pun bukan asli orang asli Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Dia datang ke Blongko karena menikah, -suaminya asli Blongko. Nasiblah yang kemudian membawanya menjadi pejuang kaum petani. Ester melawan kesewenang-wenangan oleh oknum aparat penguasa hingga mandor-mandor setempat.
“Sebagai seorang istri dan ibu, yang saya tahu hanya urus anak dan suami. Tapi saat lihat ketidakadilan, hati saya tergerak turut berjuang. [Ketidakadilan] ini harus disuarakan, karena perempuan yang paling terdampak karena tidak ada rumah,” kata Ester.
Tanah di Blongko, dahulu merupakan konsesi berizin hak guna usaha (HGU) PT Blongko. Baru belakangan, warga tahu kalau HGU perusahaan kelapa itu sudah habis sejak 2008. Saat sama, lahan ini dikuasai oknum mandor dibekingi penguasa setempat secara diam-diam. Mereka menyebut, merekalah yang memiliki hak atas HGU itu.
Ester tersentak dengan kenyataan itu. Dia bergabung dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) II Blongko pada 2020. Sejak itu, dia bersama-sama 138 anggota OTL terus menyuarakan ketidakadilan kuasa lahan. Separuh dari anggota OTL II adalah perempuan.
“Tanah ini penting bagi kami. Untuk cocok tanam, sumber hidup, dan sebagai harapan peningkatan kehidupan kami. Tanpa tanah kami tidak punya masa depan.”
Upaya ini memang tidak mudah. Penolakan dari oknum mandor, intimidasi, sampai ancaman fisik, tak menyurutkan semangatnya.
“Mereka sering menghina. Saya pernah down hampir berhenti dari OTL. Tapi banyak dukungan dan motivasi dari rekan-rekan seperjuangan seperti di Serikat Petani Minahasa, Korwil KPA Sulut dan sepupu saya, Ariyanti,”katanya.
Suami Ester adalah abang sepupu Ariyanti. Kedekatan hubungan keluarga ini saling menguatkan tokoh perempuan di organisasi tani lokal Desa Blongko ini.
Mereka berdua mengajak banyak perempuan aktif berorganisasi dan memperjuangkan lahan seluas 112 hektar, untuk menjadi pemukiman , fasilitas umum, dan lahan garapan.
Ester lalu menjelaskan alasannya turun berjuang.
“Kami di Blongko ini tidak ada kintal (rumah). Perempuan berkeluarga bisa tinggal bersama tiga atau empat keluarga dalam satu rumah. Kami miskin,” ujar Ester.
Pemukiman di Desa Blongko memang sangat padat, bangunan rata-rata 8×10 meter saling berdempet. Mereka tak punya lahan pekarangan, rumah beradu belakang dan depan dengan tetangga.
Anak yang sudah bersekolah biasa tidur di ruang tamu merangkap ruang keluarga. Balita tidur bersama orang tuanya.
Bagi orangtua yang punya lahan lebih, akan menambahkan satu kamar dan ruangan yang berfungsi rangkap sebagai ruang tamu, keluarga serta dapur bagi anak-anak mereka yang sudah berkeluarga.
Dalam perjalanan berorganisasi, Ester terpilih masuk sebagai anggota kerja lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang diinisiasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Bersama dengan warga dari berbagai daerah Indonesia, dia mendapatkan pelatihan dan pemahaman tentang reforma agraria melalui pendidikan pemetaan partisipatif.
Ester membawa bekal ilmu ini untuk mendorong agar lokasi yang diperjuangkan OTL II dapat masuk dalam prioritas reforma agraria. Namun, konflik sempat pecah saat Ester dan timnya. melakukan pemetaan.
Saat itu Ester hamil anak kedua. Dia berada di barisan depan, saat oknum-oknum mandor mencegah mereka memasuki wilayah eks HGU Blongko.
“Saya sempat diancam dibunuh karena menjadi pembicara saat berhadapan dengan oknum-oknum mandor. Mereka [sempat] mendorong saya yang saat itu sedang hamil besar,” katanya.
Apalagi Ester bukan asli orang setempat.
“Ester sempat diusir. Tapi perjuangan ini harus terus menyala. Ester memang pelopor dalam memicu semangat perempuan lain,“ kata Ariyanti.
Para perempuan itu, melakukan pemetaan sekitar satu bulan. Lokasi tempat mereka bekerja bertopografi perbukitan dan lembah. Meski begitu, Ester, Ariyanti serta anggota OTL perempuan lainnya mampu membuktikan kalau medan tak jadi soal.
“Sekarang pemetaan sudah selesai. Kami juga sudah ajukan ke BPN Kanca untuk bisa proses,” kata Ariyanti.
Untuk OTL I Blongko, sudah selesai sedang menunggu redistribusi dari menteri. “Lahan yang diusulkan 53,4 hektar untuk 78 petani terdaftar.”
Hingga kini, konflik dengan oknum mandor, dan penguasa desa masih terus berlanjut, namun Ester dan kawan-kawan tak henti berupaya dengan mengedepankan dialog dan negosiasi.
“Sekarang, kondisi mulai stabil, meski masih terus dihalangi untuk pengajuan redistribusi, tapi kami selalu melibatkan pihak desa (hukum tua) dalam setiap proses,” ujar Ester.
***
Ester menyusuri sepanjang pantai di belakang pemukiman warga. Dia [akai kain tenun penutup kepala yang disebut porong. Kain ini biasa dipakai dalam tarian perang. Ini simbol bahwa mereka sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan agraria.
Lokasi garis pantai yang dia telusuri itu berada di tempat yang terabrasi. Ada 15 keluarga terancam kehilangan rumah. Saat sama, mereka berkejaran waktu dengan surat redistribusi yang belum kunjung ada, sembari bertahan di rumah dengan rasa takut suatu waktu, rumahnya hanyut terancam arus gelombang.
“Ini yang buat kami pantang menyerah dan terus berjuang,” katanya, sambil menunjuk rumah-rumah yang nyaris hilang.
Ester bilang, kalau nanti mereka mendapatkan hak tanah, anggota OTL I dan II bersepakat membagi sertifikat 40% atas nama perempuan. Kesepakatan ini, katanya, sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka dalam perjuangan ini.
Hal ini juga untuk mengantisipasi kalau ke depan ada masalah cekcok rumah tangga, seperti perceraian. Pembagiannya, rumah untuk istri, kebun untuk suami.
“Ini yang kami antisipasi, ada hak pihak perempuan jika mereka hidup terpisah dengan suaminya.”
*******
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).