- Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN soal penerbitan hak pengelolaan lahan (HPL) di tanah ulayat terus jadi sorotan. Peraturan Menteri (Permen) Agraria Nomor 14 /2024 tentang Penyelenggaran Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ini dinilai mengancam eksistensi dan sumber penghidupan masyarakat adat. Terlebih, HPL ini bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
- Rikardo Simarmata, dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada khawatir, muncul HPL pada tanah ulayat dalam Permen Agraria kuat dugaan untuk memudahkan aktivitas bisnis di wilayah masyarakat adat.
- Agung Wibowo, Direktur Perkumpulan HuMa,mengatakan, kalau tujuan sertifikasi HPL hanya mengkapitalisasi tanah ulayat akan menjauhkan upaya pengakuan dan penghormatan masyarakat adat. Padahal, yang justru perlu adalah melindungi tanah ulayat yang sedang berkonflik dengan HPL.
- Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, menegaskan, implementasi sertifikasi HPL tanah ulayat mesti tegak lurus untuk penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Sifat sertifikasii HPL ini juga mesti disampaikan ke masyarakat adat sebagai hal yang opsional dan tidak wajib. Perlu dijelaskan juga legalitas tanah ulayat sudah cukup dengan daftar tanah ulayat.
Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN soal penerbitan hak pengelolaan lahan (HPL) di tanah ulayat terus jadi sorotan. Peraturan Menteri (Permen) Agraria Nomor 14 /2024 tentang Penyelenggaran Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ini dinilai mengancam eksistensi dan sumber penghidupan masyarakat adat. Terlebih, HPL ini bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
Rikardo Simarmata, dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada menjelaskan, setidaknya ada tiga ancaman dari aturan ini. Pertama, aturan ini hanya menguntungkan pihak ketiga yang mengelola tanah ulayat berbekal HPL. Relasi timpang antara masyarakat adat dan perusahaan sebagai pihak ketiga, dan memungkinkan pemantauan terhadap pengelolaan tanah ulayat tak maksimal.
“Hingga memungkinakan tanah ulayat disalahgunakan. Seperti disewakan lagi, dijual, atau pengelolaan lain tanpa sepengetahuan masyarakat adat,” katanya beberapa waktu lalu.
Kedua, dari dari aturan ini, kata Rikardo, memicu sengketa hukum masyarakat adat karena sosialisasi minim dan literasi hukum masih rendah. Kondisi ini, katanya, memungkinkan masyarakt adat tak sengaja melanggar aturan dengan konsekuensi bisa menghilangkan hak pengelolaan.
Selanjutnya, ancaman ketiga, menurut Rikardo, keharusan masyarakat adat melakukan penyesuaian baru terhadap pengelolaan tanah ulayatnya. Penyesuian ini akan membawa perubahan yang makin meminggirkan masyarakat adat kalau tidak diantisipasi.
Rikardo yang pernah memberi masukan dalam proses penyusunan regulasi ini menyoroti, HPL yang digunakan untuk sertifikasi tanah ulayat ini memiliki orientasi mengkapitalisasi tanah ulayat.
“Terutama sejak disahkan Undang-undang Nomor1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menginstruksikan peningkatan pendapatan pemerintah melalui aset tanah,” katanya.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria, ucap Rikardo, hak pengelolaan sebagai bentuk pelimpahan hak menguasai tanah ke badan usaha dengan tujuan mendukung kinerja pemerintah untuk kepentingan publik. Turunan dari hak pengelolaan pada dekade itu adalah hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hingga hak pakai.
Lambat laun terjadi perubahan orientasi dari yang semula untuk publik dalam hak pengelolaan jadi cara mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. “Implementasinya saat itu untuk perusahaan dalam membangun perumahan komersil, pusat belanja, dan lain-lain, terutama makin kesini makin untuk bisnis.”
Karena itulah muncul HPL pada tanah ulayat dalam Permen Agraria ini kuat dugaan untuk memudahkan aktivitas bisnis di wilayah masyarakat adat.
First Hendra Rivai, Ketua Perkumpulan Qbar Indonesia Madani dari Sumatera Barat mengatakan, informasi terkait sertifikasi HPL ini minim. ”Komunitas adat tidak banyak tahu, mereka jadi kebingungan sebagian bahkan resah karena programnya simpang siur,” katanya.
Menurut Ihsan, panggilan akrabnya, kondisi ini membuat masyarakat adat rentan mengalami gesekan horizontal. “Kemungkinan konflik horizontal jadi meningkat karena saling mencurigai satu sama lain. sebagian keluarga takut tak bisa menggarap lahan kalau HPL diserahkan ke pihak ketiga,” katanya.
Keresahan terhadap sertifikasi HPL ini sudah terjadi di Masyarakat Adat Nagari Sungai Kamuyang. Selain karena pendataan tiba-tiba menerbitkan HPL, masyarakat adat merasa tak bisa mewariskan tanah ulayat kepada anak cucunya.
“Tanah ulayat di Sumatera Barat ada beberapa komposisi tingkatan berdasarkan unit sosialnya, itu harus jelas dimana sertifikasinya, karena ada kaum yang mengelola tanah ulayat nagari, ini yang ditakutkan jadi masalah ketika ada HPL.”
Adapun kaum merupakan unit sosial terkecil di masyarakat adat Sumatera Barat dengan kumpulan akan membentuk suku. Sedangkan nagari adalah wilayah administratif masyarakat adat yang mirip dengan pengertian desa. Kekhasan Sumatera Barat ini, menurut Ihsan, perlu secara seksama terakomodir agar kalau ada sertifikasi HPL tanah ulayat tidak menimbulkan konflik.
Kementerian Agraria sebagai pihak yang paling dominan dalam pendataan khawatir tak mengetahui kondisi khusus masyarakat adat di Sumatera Barat ini. “Kami minta agar partisipasi masyarakat adat ini ditingkatkan dalam sertifikasi, apalagi yang melakukan pendataan dari pusat.”
Agung Wibowo, Direktur Perkumpulan HuMa, mengkonfirmasi kekhawatiran Ihsan. Menurut dia, implementasi Permen Agraria ini berpotensi bias atau prasangka keliru kondisi lokal.
Kemungkinan itu berdasarkan pada penelitian tiga kampus yang bekerjasama dengan Kementerian Agraria dalam kebijakan ini, yaitu Universitas Andalas, Universitas Hasanudin, dan UGM. ” Universitas Hasanudin penelitian di Kalimantan Barat yang kemungkinan tidak detail mencuplik kondisi nyata masyarakat adat di sana, begitu juga Universitas Andalas yang meneliti di Kalimantan Timur,” katanya.
Padahal, di tiap lokasi penelitian tiga kampus itu terdapat kampus lokal yang memiliki pengetahuan lebih detail terhadap wilayahnya sendiri.
“Hasil penelitian jadi bahan untuk pendataan lalu merumuskan kebijakan, kalau biasnya terlalu besar hanya merugikan masyarakat adat sendiri, apalagi praktiknya minim partisipasi.”
Permen Agraria ini tak rinci dan tak kuat upaya perlindungan masyarakat adat yang memiliki keberagaman, diduga mengandung agenda lain. Apalagi program sertifikasi tanah ulayat dengan HPL ini didanai Bank Dunia.
“Pertanyaan kami, apa tujuan utama sertifikasi HPL ini? Apakah hanya untuk mengkapitalisasi tanah ulayat agar bisa jadi bahan jaminan pinjaman mengingat didanai Bank Dunia?”
Anggota Koalisi Hutan Adat ini menyebut, kalau tujuan sertifikasi HPL hanya mengkapitalisasi tanah ulayat akan menjauhkan upaya pengakuan dan penghormatan masyarakat adat. Padahal, yang justru perlu adalah melindungi tanah ulayat yang sedang berkonflik dengan HPL.
Sayangnya, hal itu justru tidak akan didata dalam program ini. “Selain itu, perlu juga pengakuan dan pendataan hutan adat agar terlindungi dan dimanfaatkan masyarakat adat.”
Senada disampaikan Kristian Rayar, Plt. Direktur Perkumpulan Silva Papua Lestari. Dia bilang, sangat penting penghormatan terhadap masyarakat adat, salah satu pengakuan dan perlindungan hutan adatnya. Dia contohkan, Suku Karowai dan Kombai di Kabupaten Asmat, Mappi, dan Boven Digul, Papua Selatan, perlu kepastian hutan adat. Dua suku yang mereka dampingi ini memiliki daya jelajah hutan luas.
“Untuk melindungi dan menghormati masyarakat adat ini perlu pengakuan atas hutan sebagai bagian dari mereka,” katanya.
Pengakuan hutan adat ini penting, katanya, supaya masyarakat adat di Papua Selatan tak terancam. “Selain itu agar hutan yang selama ini jadi penghidupan masyarakat adat tidak digunakan pihak lain secara semena-mena,” katanya.
Terkait sertifikasi HPL di tanah ulayat Papua Selatan, Kristian menyebut masih minim informasi. “Kami khawatir ini minim karena memang masyarakat adat memang tidak dilibatkan,” katanya.
Dia bilang, pentingnya keterlibatan atau partisipasi masyarakat adat ketika ada pembahasan mengenai sertifikasi HPL.
Di Papua, katanya, penguasaan tanah ulayat berdasarkan marga. Sertifikasi yang tidak berdasarkan kondisi nyata lapangan, katanya, bisa menimbulkan konflik.
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, menyoroti Permen Agraria ini. Dia menegaskan, implementasi sertifikasi HPL tanah ulayat mesti tegak lurus untuk penghormatan terhadap hak masyarakat adat.
“Sifat sertifikasii HPL ini juga mesti disampaikan ke masyarakat adat sebagai hal yang opsional dan tidak wajib. Perlu dijelaskan juga legalitas tanah ulayat sudah cukup dengan daftar tanah ulayat.”
Maria menerangkan, cara memitigasi timbulnya masalah akibat HPL sebenarnya dapat dengan cara sederhana yaitu melepas sertifikat itu.
Dia mengacu pada Pasal 16 permen itu yang menyatakan bidang tanah ulayat yang tidak diajukan penegasan sebagai hak pengelolaan oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tetap memiliki status sebagai tanah ulayat.
Pakar hukum agraria ini mengatakan, terdapat ambiguitas dalam konsep HPL tanah ulayat lantaran hak pengelolaan umumnya mendasar tanah negara. Padahal, tanah ulayat sudah melakat pada masyarakat adat tanpa perlu pelimpahan kewenangan negara.
“Yang diperlukan itu pendataan agar lebih jelas dan bentuk penghormatan ke mereka.”
Kapan penolakan itu terjadi? dalam forum apa dan kepada siapa?
*******
Terbitkan Sertifikat HPL di Wilayah Adat, Menteri ATR/BPN Tuai Kritik