- Bentrokan terjadi antara warga Kampung Tua Goba dan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG), Kamis (19/9/24). Beberapa warga jadi korban, ada yang luka-luka sampai patah tulang.
- Perkara bermula saat perusahaan ingin mengelola lahan, dan warga menolak aktivitas itu apalagi perusahaan tidak bisa menunjukkan bukti hak kelola. Komnas HAM menyatakan, kegiatan PT MEG ilegal beroperasi di lokasi itu karena tak punya alas hak.
- Johanes Widijantoro, anggota Ombudsman RI mengatakan, monitoring Ombudsman hak pengelolaan lahan baru keluar di lokasi rumah relokasi atau Kampung Tanjung Banon. Yang lain, katanya, termasuk di Kampung Goba belum ada penyerahan HPL.
- Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Mediasi Komnas HAM meminta kepada sekuriti MEG dan aparat tidak boleh mengiintimidasi dan kekerasan kepada warga.
Bentrokan terjadi antara warga Kampung Tua Goba dan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG), Kamis (19/9/24). Komnas HAM menyatakan, kegiatan PT MEG ilegal beroperasi di lokasi itu karena tak punya alas hak. Beberapa warga jadi korban, ada yang luka-luka sampai patah tulang.
Siti Hawa, salah satunya. Nenek ini meringis kesakitan saat menggeser tangannya yang patah. Tangan kanan terkulai lemah di kain penyangga yang menggantung ke bahu perempuan 66 tahun itu.
Jari jemari dan punggung tangan bengkak, hitam membiru. “Seharusnya operasi tapi nenek tak mau, karena mau jage kampung,” katanya saat ditemui Mongabay di Pulau Rempang, Kamis, (19/9/24).
Siti, perempuan yang jadi korban intimidasi dan kekerasan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG), Rabu (18/9/24). MEG merupakan perusahaan yang akan menggarap proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.
Tangan Siti patah ketika berupaya menghalangi petugas perusahaan memukul warga. Pukulan petugas malah menghantam tangan Siti. “Mereka memukul pakai tenaga, patahlah,” Nek Awe, sapaan akrabnya.
Sontak Siti kesakitan. Dia terbaring lemas di Mesjid Nur Asiah, dekat lokasi kejadian. Video Siti juga viral di media sosial saat sedang terbaring di teras mesjid itu.
Intimidasi dan kekerasan ini berawal ketika Asmah, bersama tiga perempuan lain dan satu laki-laki menanyakan maksud dan tujuan tiga petugas MEG di Kampung Tua Goba, Sungai Buluh, Rempang.
“Kita nanya baik-baik awalnya, bapak mau apa disini,” kata Asmah kepada petugas perusahaan.
Pertanyaan Asmah tidak dijawab tetapi malah melarang teman Asmah merekam kejadian itu. “Padahal, mereka juga merekam kami. Saya bilanglah, bapak boleh video, kok saya tidak boleh video? kata Asmah.
Saat itu, petugas perusahaan emosi mulai memaki ibu-ibu Rempang ini. Mereka menyebutkan masalah kepemilikan lahan di Kampung Goba adalah punya perusahaan, MEG. “Saya bilang ini wilayah kita (warga Rempang),” kata Asmah.
Ketegangan seperti cerita Asmah juga terekam dalam video kejadian yang viral di media sosial. Warga juga terlihat mempertanyakan klaim perusahaan terkait kepemilikan lahan.
Cekcok pun terjadi, hingga petugas mengajak bapak-bapak di lokasi berkelahi. “Mereka langsung marah-marah, dia ancam-ancam bapak-bapak, bapak-bapak tak tahan juga lihat kami dimaki,”kata Asmah.
Warga juga melihat beberapa oknum membawa pisau. Ketika dua anggota Polsek Galang datang, warga meminta pisau diamankan. “Saya bilang pak itu ada yang bawa senjata, karena takut juga bisa kena tusuk kita,” kata Asmah.
Warga meminta polisi membawa petugas perusahaan keluar dari kampung. Saat hendak dibawa, sekitar puluhan petugas MEG yang lain datang ke lokasi.
“Sebelum (polisi) berjalan, kawan-kawan MEG lain datang, datang itu langsung tanpa tanya langsung hajar warga kita, warga kita berhak bela diri, itulah yang terjadi,” kata Asmah.
Warga yang berupaya melerai perkelahian juga mendapatkan pukulan. “Mereka juga asal aja (memukulnya) tidak memandang bapak-bapak atau ibu-ibu, selain dimaki-maki, ibu-ibu juga jadi korban, ada Nek Awe juga ibu-ibu lain tertindih kerumunan.”
Kejadian itu tidak hanya menyebabkan Siti patah tulang, juga dua warga Rempang lain, Bakir ,(51) sobek di kepala. Kepalanya dipukul helm dan Samsuda, luka dan lebam di wajah.
Mongabay mencoba mengkonfirmasi kejadian itu kepada Fernandi, Juru Bicara MEG, Sampai berita ini terbit konfirmasi melalui pesan singkat dan telepon tidak ada respon.
Ariastuty Sirait, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, mengatakan, bentrok itu bukan ranah BP Batam. “Ini bukan ranah BP Batam sebenarnya untuk menjawab, silakan menghubungi MEG langsung atau polsek, polresta yah,” kata Tuty melalui pesan singkat kepada Mongabay, Kamis, (19/9/24).
Dia juga mengirimkan tiga daftar petugas MEG yang mengalami luka akibat kejadian itu. Disampaikan juga perusahaan sudah melapor ke polisi.
Soal kepemilikan lahan?
Mongabay mendatangi lokasi kejadian Kamis (19/8/24), siang. Ada beberapa warga sedang berkumpul di satu rumah di lahan yang berkonflik.
Yuli mengatakan, penyebab bentrok karena kepemilikan lahan. Dia bilang, sehari sebelum kejadian warga dan MEG sudah sepakat tak menggarap lahan karena belum ada kejelasan kepemilikan.
Namun siang esok hari, beberapa orang MEG tetap datang ke lahan hingga memantik warga mempertanyakan kedatangan mereka.
Ariastuty membenarkan kedatangan petugas MEG itu. Menurut dia, tim MEG hendak menanam pohon di hutan gundul karena usaha ilegal. “Tiba-tiba didatangi oknum yang mengatasnamakan warga tempatan,” kata Tuty dalam pesan singkatnya.
Begitu juga yang disampaikan Inspektur II Andika Samudera, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Galang. Dia bilang, bentrokan terjadi karena kedua pihak mengklaim lahan di Kampung Goba. ” MEG mengakui lahan itu sudah dibebaskan,” kata Andika usai menerima laporan dua warga yang jadi korban pemukulan, Rabu (18/9/24).
Ariastuty Sirait tidak menjawab pertanyaan Mongabay soal kepemilikan lahan.
Komnas HAM: aktivitas MEG ilegal
Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Mediasi Komnas HAM meminta kepada sekuriti MEG dan aparat tidak boleh mengiintimidasi dan kekerasan kepada warga.
“Itu yang kami tekankan, intimidasi harus dihindari, pendekatan dialogis dan inklusif harus dikedepankan,” katanya.
Dia juga menyayangkan tindakan sekuriti MEG yang menggarap lahan seperti disampaikan Humas BP Batam.
Pulau Rempang, katanya, belum ada hak pengelolaan. “Artinya MEG berada di lokasi enggak ada landasan hukum, memang sudah MoU tetapi sekarang masih dalam proses penerbitan HPL (hak pengelolaan lahan) dari BPN,” kata Prabianto.
Menurut dia, MEG di lokasi sekarang ini adalah tindakan ilegal. “Aparat penegak hukum, kepolisian harusnya melihat lebih objektif, mengedepankan perlindungan kepada warga, bukan kepada perusahaan.”
Rekomendasi awal Komnas HAM, kata Prabianto, semua pihak menghentikan sementara relokasi. Hampir semua rekomendasi Komnas HAM dalam kasus Rempang tidak dijalankan berbagai pihak.
Prabianto juga menyoroti upaya BP Batam merekayasa petugas MEG yang masuk ke Rempang dengan menyebut mereka relawan yang ingin melakukan penghijauan.
“Itu salah satu bentuk intimidasi, merekayasa kelompok-kelompok untuk berhadapan dengan warga, menurut saya itu cara-cara yang tidak dapat dibenarkan,” katanya.
Senada dengan Komnas HAM, Johanes Widijantoro, anggota Ombudsman RI mengatakan, monitoring Ombudsman hak pengelolaan lahan baru keluar di lokasi rumah relokasi atau Kampung Tanjung Banon. Yang lain, katanya, termasuk di Kampung Goba belum ada penyerahan HPL.
“Untuk yang lain itu (HPL) tidak mungkin keluar sebelum clean and clear, Kan gitu. Nah, persoalan clean and clear ini nyatanya disitu masih ada warga di kampung tua,” katanya.
Ombudsman belum menemukan pendekatan musyawarah yang dilakukan BP Batam. Dia juga meminta kepolisian profesional dan bertindak adil dalam memeriksa kasus bentrok ini. “Saya yakin tidak ada warga yang memulai, pasti ada pihak lain.”
********