- Rencana pembangunan Surabaya Waterfront Land (SWL) di Pesisir Timur Surabaya memantik protes berbagai kalangan. Proyek ini akan mereklamasi laut dan membuat pulau-pulau buatan. Mereka menolak proyek strategis nasional (PSN) pemerintah ini karena mengancam ekosistem laut dan pesisir yang bakal berujung buruk bagi nelayan dan ruang hidupnya.
- Masyarakat di Surabaya terutama warga pesisir dan nelayan protes. Teranyar, Jumat (20/9/24), seribuan orang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim dan warga Kota Surabaya, menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD dan Balai Kota Surabaya. Mereka menolak atas rencana PSN Surabaya Waterfront Land.
- Misbahul Munir, Ketua DPW Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Jawa Timur (KNTI Jatim) mengatakan, ada banyak alasan mengapa proyek yang disebut bernilai Rp72 triliun itu mereka tolak antara lain karena mengancam masa depan para nelayan. Lokasi proyek tepat berada di zona tangkapan ikan (fishing ground) para nelayan.
- Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, rencana SWL merupakan copy paste dari reklamasi pantai utara di Jakarta. Agenda ini jelas-jelas kepentingan perusahaan yang masuk status proyek strategis nasional. Pertanyaannya, kepentingan siapa proyek ini? Jelas bukan kepentingan masyarakat.
Rencana pembangunan Surabaya Waterfront Land (SWL) di Pesisir Timur Surabaya memantik protes berbagai kalangan. Proyek ini akan mereklamasi laut dan membuat pulau-pulau buatan. Mereka menolak proyek strategis nasional (PSN) pemerintah ini karena mengancam ekosistem laut dan pesisir yang bakal berujung buruk bagi nelayan dan ruang hidupnya.
Masyarakat di Surabaya terutama warga pesisir dan nelayan protes. Teranyar, Jumat (20/9/24), seribuan orang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim dan warga Kota Surabaya, menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD dan Balai Kota Surabaya. Mereka menolak atas rencana PSN Surabaya Waterfront Land.
Dari kawasan bundaran Kampus IT’S, massa bergerak menuju Kantor DPRD, sebelum berakhir di Balai Kota Surabaya.
“Selain mengancam ruang hidup, proyek ini juga bertolak belakang dengan visi Surabaya sebagai kota yang memiliki wawasan pembangunan berkelanjutan,” kata Fahmi Ardianto, koordinator aksi.
Mereka menuntut Presiden Jokowi mencabut rencana pembangunan empat pulau reklamasi di pesisir timur Surabaya itu.
Mereka juga meminta Wali Kota membersamai warga Kota Surabaya menolak pembangunan empat pulau reklamasi. Juga meminta DPRD Surabaya dan Jatim mendukung dan memihak suara penolakan warga.
Misbahul Munir, Ketua DPW Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Jawa Timur (KNTI Jatim) mengatakan, ada banyak alasan mengapa proyek yang disebut bernilai Rp72 triliun itu mereka tolak antara lain karena mengancam masa depan para nelayan.
Menurut dia, lokasi proyek tepat berada di zona tangkapan ikan (fishing ground) para nelayan. “Kalau itu diteruskan, itu berarti para nelayan akan kehilangan area tangkapannya. Itu berarti kehilangan ruang penghidupan,” katanya, Senin (9/9/24).
Misbah bilang, ada sekitar 8.000-an nelayan di 12 kampung pesisir Surabaya yang bakal terdampak proyek ini. Keduabelas kampung nelayan itu antara lain, meliputi Bandarejo, Tambakwedi, Nambangan, Sumpat, Kejawan, Kenjeran, Sukolilo, Larangan, Kalisari, Keputih, hingga Wonorejo.
Area proyek itu kaya akan sumber ikan. Lokasi itu berada berdampingan dengan zona konservasi mangrove Wonorejo. “Maka, jika itu diurug untuk menjadi pulau buatan, lalu nelayan harus mencari ikan dimana?” katanya.
Misbah pun menolak proyek diteruskan karena akan mengusir para nelayan dari wilayahnya sendiri. Bahkan, mencari ikan lebih jauh dengan beban risiko lebih besar karena melintasi jalur pelayaran di Selat Madura.
Selain Misbah, suara penolakan juga datang dari Ali Yusa, tokoh masyarakat juga anggota Dewan Pendidikan Jatim. Menurut dia, proyek ini tak layak lanjut. “Ini sama saja menghancurkan kehidupan warga di pesisir,“ katanya melalui sambungan telepon, Kamis (5/9/24).
Ali baru tahu proyek ini setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan 14 proyek PSN baru, beberapa bulan lalu. Warga pun kaget.
“Kami kaget, ya kami tolak. Proyek ini hanya akan merugikan warga, nelayan dan hanya menguntungkan para oligarki,” kata pria juga pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik ini.
Dia menyayangkan, sikap pemerintah asal mengambil keputusan tanpa pelibatan masyarakat.
Bagi Ali, proyek ini tidak sesuai kondisi sosial masyarakat di tingkat tapak dan berpotensi meningkatkan kesenjangan di pesisir. Karena itu, saat konsultasi penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) oleh perusahaan, dia pun menolak.
“Ketika konsultasi ditolak, dokumen amdal tidak akan terbit. Kalau pun terbit, harus menampilkan berita acara penolakan dari warga. Kalau yang terjadi sebaliknya, berarti ada manipulasi, “ kata Ali.
Dia bilang, ada banyak alasan proyek harus ditolak. Dari sisi regulasi, rencana ini tidak sesuai Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Surabaya.
“Dasar hukum mereka hanya permenko (peraturan menteri ekonomi), yang itu jelas melanggar banyak ketentuan dan tidak sesuai aspirasi masyarakat bawah, “ katanya.
Dia juga menyayangkan sikap pemerintah pusat yang ujug-ujug menetapkan proyek ituu jadi PSN, tanpa melihat lebih dulu situasi lapangan.
Menurut dia, ada banyak risiko ketika proyek itu lanjut. Dari sisi ekologi, jelas proyek bakal menghancurkan ekosistem laut dan pesisir di Surabaya. Dampak turunannya, para nelayan akan kehilangan pendapatan.
Lokasi proyek itu merupakan fishing ground (area penangkapan ikan) nelayan. Kalau jadi daratan, nelayan jelas terdampak.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan 14 proyek PSN baru pada Maret 2024. Belasan proyek ini melengkapi ratusan proyek PSN yang lebih dulu digeber sejak kepemimpinan Jokowi.
PSN ini tersebar di Kepulauan Riau, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Ia mencakup berbagai sektor, seperti kawasan industri (8), kawasan pariwisata (2), jalan tol (2), kawasan pendidikan (1), riset dan teknologi, kesehatan (1), serta proyek migas lepas pantai (1).
“Semua pembiayaan dari investor swasta , tak membutuhkan dukungan APBN,’ tulis Kemenko Bidang Perekonomian dalam siaran persnya.
Begitu pula dalam proyek pengembangan kawasan pesisir (PKP) Surabaya dengan reklamasi ini .
Berdasarkan data yang diperoleh Mongabay, luasan yang akan tereklamasi 1.085 hektar dengan PT. Granting Jaya sebagai operator. Luasan itu terbagi menjadi empat blok, meliputi Blok A (84 hektar) di dalamnya mencakup perkantoran, hotel, ruko, dan kawasan rekreasi. Blok ini juga memiliki area konservasi mangrove.
Ada Blok B seluas 120 hektar untuk zona perikanan, pelabuhan perikanan modern, pasar ikan segar, cold storage, dan pusat lelang perikanan.
Ada blok tempat pemeliharaan kapal, pusat perbelanjaan, industri olahan hasil laut, UMKM, balai latihan perikanan, pusat pembibitan, hingga perumahan nelayan modern.
Lalu, Blok C seluas 260 hektar sebagai zona kemaritiman, museum maritim nasional, convention center, hotel, dermaga, dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan kemaritiman. Lalu, perguruan tinggi kemaritiman, ruko, area komersial, villa estate, apartemen, dan kompleks pendidikan umum.
Sedangkan Blok D, merupakan zona paling luas, mencapai 620 hektar. Di blok ini sebagai pusat hiburan dan bisnis, lengkap dengan hal pertunjukan, hotel, apartemen, kompleks pertokoan, SWL Square, pasar produk ekonomi kreatif, dan industri zero emission ramah lingkungan.
Berbagai risiko
Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, rencana SWL merupakan copy paste dari reklamasi pantai utara di Jakarta.
Dia heran, agenda ini jelas-jelas kepentingan perusahaan yang masuk status PSN. “Pertanyaannya, kepentingan siapa proyek ini? Kalau kepentingan masyarakat, jelas tidak, wong yang mengajukan itu swasta, seluruh biaya juga dari korporasi,” katanya melalui telepon.
Secara terminologi, PSN seharusnya sebagai proyek yang memrepresentasikan kepentingan strategis nasional. Sayangnya, hal itu tidak tercermin dari proyek SWL. Dari prosesnya, lebih mencerminkan proyek komersil ketimbang kepentingan nasional.
Wahyu mengatakan, keputusan pemerintah begitu saja memberi status ‘PSN’ pada proyek itu membuktikan tak ada standar jelas dalam menentukan label sebuah proyek. Terlebih, masyarakat daerah tapak yang berpotensi menerima dampaknya, juga tidak pernah terlibat.
“Padahal, ada banyak nelayan dan masyarakat pesisir di Surabaya yang pasti terdampak proyek ini. Tapi, mereka tidak pernah dilibatkan sama sekali, pokok begitu saja ditetapkan PSN tanpa mempertimbangkan situasinya di lapangan.”
Bagi Wahyu, proyek ini akan menghilangkan sumber mata pencaharian para nelayan di pesisir Surabaya. Para nelayan, katanya, terpaksa harus mengubah jalur tangkapan lantaran area tangkapan mereka menjadi pulau buatan. Bahkan, sekalipun perusahaan menjanjikan memberi akses di antara pulau buatannya, hal itu tak berpengaruh.
Mengapa tak berpengaruh? Pertama, katanya, ekosistem akan rusak, ikan-ikan dan sumber daya laut akan hilang. Berarti sumber mata pencaharian nelayan terancam.
Kedua, nelayan harus melaut lebih jauh untuk mengejar tangkapan berarti biaya operasional makin bertambah. “Itu akan menyulitkan karena nelayan perlu beradaptasi.”
Ketiga, kata Wahyu, proyek akan memicu tambang pasir laut yang selama ini banyak ditentang warga. Sebab, tambang pasir laut hanya akan menyebabkan ekosistem rusak. “Pada 2011-2012 sudah pernah kejadian, dan berhenti setelah banyak protes,” kata Wahyu.
Sampai saat ini, belum ada kepastian perihal material untuk pulau buatan itu. Bahkan, kalau pun material itu datang dari daratan, tetap saja akan memicu persoalan. Menyebabkan eksploitasi tambang meningkat, atau bahkan memicu maraknya tambang-tambang ilegal mengingat banyak material dibutuhkan.
Dengan begitu, hadirnya SWL ini akan memicu dampak turunan panjang.
Keempat, rencana reklamasi juga khawatir berdampak pada keseimbangan ekosistem pesisir Surabaya, terutama mangrove. Pesisir Timur Surabaya, katanya, makin terdegradasi.
Kelima, peningkatan kesenjangan melihat desain rencana proyek yang beredar, SWL mendesain sebagai kawasan ekslusif buat orang-orang tertentu.
“Ini akan makin kontras karena di satu sisi, nelayan makin kehilangan ruang hidup, sisi lain muncul kawasan premium yang dalam proses pembangunannya mengorbankan para nelayan. Pelan tapi pasti, masyarakat pesisir pasti akan terusir.”
Untuk membangun Surabaya, katanya, yang perlu adalah memberikan sentuhan, penataan, dan perlindungan kawasan, bukan meminggirkan masyarakat.
Haryo Dwito Armono, ahli pengelolaan kawasan pesisir juga peneliti senior Laboratorium Infrastruktur Pantai dan Pelabuhan Institut Sepuluh November (ITS) Surabaya, kaget dengan proyek reklamasi di Surabaya sebagai PSN. Dia pun meyakini bila proses penetapan itu tanpa melibatkan masyarakat.
“Inilah masalahnya. Seringkali proyek-proyek berlabel PSN disusun tanpa keterlibatan masyarakat. Padahal, mereka yang paling paham kondisi eksisting karena sudah bertahun-tahun hidup dan tinggal disana. Jadi, proses penetapan itu layak dikaji,” kata pengajar mata kuliah reklamasi berwawasan lingkungan ini.
Haryo katakan, Indonesia sejatinya memiliki Perpres Nomor 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalamnya, diatur reklamasi tidak boleh mengganggu aspek lingkungan, budaya, sosial, serta memberi nilai tambah.
Masalahnya, dalam konteks rencana reklamasi PT Granting Jaya ini, aspek itu tidak tampak, pada akhirnya menuai protes dari berbagai kalangan masyarkata terutama warga sekitar dan nelayan.
“Ini kan tidak jelas. Nilai tambah yang ditawarkan itu apa kan tidak jelas, ujug-ujug saja ditetapkan.”
Poin lain yang diatur dalam perpres itu adalah mengenai valuasi ekonomi, misal, pendapatan masyarakat, kerusakan lingkungan, dan hilangnya sumber daya ikan (SDI) dan lain-lain.
“Semua kerugian dan beban-beban kerusakan yang ditimbulkan itu harus dihitung semua. Masalahnya, ini semua kan tidak pernah dilakukan pada proyek-proyek reklamasi, termasuk di pesisir Surabaya ini”
Dia pun mendesak proyek ini dibatalkan.
Mongabay berusaha mendapat penjelasan dari perusahaan atas berbagai penolakan dan kritikan terkait proyek ini. Sayangnya, hingga tulisan ini selesai, juru bicara Granting Jaya, Agung Pramono tidak merespons permintaan wawancara yang Mongabay kirimkan.
Sebelumnya di media, Agung memastikan tetap meneruskan proyek. Soal dampak kepada nelayan, katanya, akan mengantisipasi dengan mengalokasikan lahan budidaya ikan di Pulau Perikanan seluas 120 hektar.
“Kami tetap melaksanakan kewajiban sesuai prosedur. Setelah kemarin kami lakukan perizinan untuk pengelolaan wilayah lautnya, sekarang beranjak di proses amdal untuk reklamasi,” katanya, dikutip dari media, Selasa (10/9/24).
******
Heboh Reklamasi Ilegal di Pulau Kecil Nguan Batam, Siapa Pelakunya?