- Perampasan tanah dan ruang hidup petani serta masyarakat kecil terus terjadi di berbagai daerah. Bahkan, aktornya bertambah, tak hanya perusahaan dengan ada badan-badan yang mendapat legitimasi pemerintah lewat peraturan, seperti badan otorita kawasan pariwisata dan Badan Otorita Ibu Kota Negara. Ia terbentuk dari berbagai kebijakan seperti peraturan presiden, maupun peraturan pemerintah.
- Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam forum diskusi menjelang Hari Tani Nasional (HTN) menyebut, fenomena ini sebagai bentuk dari kedaruratan demokrasi. Pemerintah Joko Widodo, menghidupkan kembali asas domein verklaring yang membuat negara merasa jadi penguasa tunggal atas seluruh tanah di negeri ini.
- Doni Moidady, Koordinator KPA Sulteng mengatakan, bank tanah merupakan alat negara yang modern merampas tanah masyarakat. Bank tanah juga akan memasifkan penggusuran dan memiskinkan masyarakat. Pakai ‘topeng’ reforma agraria, kata Doni, bank tanah tidak berbeda seperti korporasi yang rakus lahan dan memonopoli tanah.
- Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, proses-proses perampasan lahan ini merupakan bentuk kolonialisme gaya baru yang pemerintah jalankan dalam menghadapi rakyatnya. Bank tanah, katanya, jadi ancaman utama keberlanjutan petani dan pekebun yang masuk klaim zona Ibukota Negara Nusantara (IKN).
“Usut tuntas korupsi agraria dan mafia tanah.” “Bank Tanah, mafia tanah gaya baru” “Usut tuntas korupsi HGU.” “Korupsi agraria memiskinkan petani.”
Begitu antara lain spanduk dan poster yang membentang di depan maupun di barisan massa aksi gabungan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Serikat Petani Pasundan (SPP) saat menuju Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta Selatan, Senin (23/9/24).
Sudarman, petani asal Desa Cipatujah, Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat mengatakan, Hari Tani merupakan momen penting untuk menyampaikan keresahan perihal pemerintah di Tasikmalaya yang memberikan karpet merah kepada perusahaan dengan hak guna usaha (HGU) sudah habis.
Pemerintah daerah tak melihat kalau di tanah itu ada petani penggarap seperti dirinya. Setelah HGU satu perusahaan habis, berganti dengan perusahaan lain.
Padahal, sudah puluhan tahun dia garap lahan untuk bercocok tanam pisang, singkong dan padi. Hasilnya, selain mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari, juga untuk mengantarkan ketiga anaknya sampai lulus SMA.
Lasminah, petani juga aktivis gerakan tani perempuan asal Pangandaran mendesak KPK mengusut dugaan korupsi jual beli tanah di daerahnya. Konflik agraria terjadi antara petani dan perusahaan di daerahnya.
“Setiap tahun sawah yang digusur.”
Dari Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim), Hari Tani Nasional jadi momentum refleksi terkait upaya perampasan lahan dan penghilangan pengetahuan pertanian dan pengabaian hak dasar masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal dan penghidupan layak. Dua lembaga negara, Badan Bank Tanah dan Badan Otorita IKN menjadi aktor yang memberikan mimpi buruk bagi masyarakat termasuk petani.
Rina, bukan nama sebenarnya menceritakan, perjuangannya menghadapi dua lembaga itu. Lahan miliknya diambil Badan Bank Tanah dan masuk dalam delineasi IKN.
Ada dua lahan berbeda yang berhadapan dengan masing-masing lembaga itu, berada di Kelurahan Pemaluan, Penajam Paser Utara, jadi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. Satunya lagi, di Pulau Balang, setelah pemekaran, masuk dalam administrasi Kelurahan Riko.
“Saat ini, masuk Kelurahan Riko. Sebelum ada pemekaran, diwariskan itu kan masuk di Kelurahan Maridan,” kata Rina kepada Mongabay.
Pembebasan lahan di daerah itu diambil alih Badan Bank Tanah. Buntutnya, surat kepemilikan tanah (SKT)-nya, jadi tak berharga. Apalagi, ada perubahan berupa pemekaran wilayah di atas tanah itu.
“Suratnya itu tidak sesuai dengan data sekarang, data mereka kawasan itu masuk Kelurahan Riko. SKT yang dipegang itu masuk Kelurahan Maridan,“ katanya.
Kondisi itu terjadi lantaran tanah baru bikin legalitas ketika ada pembagian harta gono-gini antar anggota keluarga. Data nama-nama keluarga pun, tak masuk dalam data terbaru bank tanah.
“Itu nggak ada bilang, datanya di bank tanah.”
Padahal, lahan itu berupa kebun sayur-sayuran yang beberapa kali panen. “Lahan itu kan penuh dengan sayuran, tanaman, pondok.”
Hasil dari kebun itu juga untuk menyambung agar dapur tetap mengepul.
Meski begitu, sekelompok orang juga pernah mendatangi pondoknya dengan pakaian seragam baik aparat maupun bank tanah.
“Sekitar 10 orang petugasnya. Berseragam polisi, berseragam tentara, sama berseragam bank tanah,” katanya.
Ada juga surat imbauan untuk tidak beraktivitas apapun di atas hak pengelolaan lahan (HPL) yang kini menjadi tanggung jawab bank tanah. Juga, tak boleh menjual atau menyewakan lahan itu.
“[Katanya] bakal dipidana, bakal dihukum penjara.”
Rina memilih bertahan karena rumahnya di Pemaluan, juga tak tahu akan tergusur. Tanah itu masuk wilayah delineasi IKN.
Dua-duanya pilihan dilematis.
“Yang nggak paham kapan bakal tergusur juga, sementara mau mempertahankan yang di Pulau Balang, dicaplok bank tanah juga. Jadi, lahan satu-satunya, tinggal itu lahan yang ada. Semua keliling itu masuk kawasan IKN semua.”
Dia bertahan di pondok saat ini berdasarkan legalitas sah. Kalau tidak begitu, pilihan antara merelakan pencaplokan atau menjual kepada makelar tanah. Makelar menjanjikan, tak ada masalah di kemudian hari, namun harga tanah miring.
“Mereka pikir bank tanah itu tidak bisa dilawan, jadi mereka berpikir daripada diambil bank tanah dengan cuma-cuma, tidak ada pembayaran, karuan (lebih baik) mereka jual dengan makelar tanah. Biar berapapun yang penting ada (pembayaran) dengan harga yang tidak seberapa itu,” katanya.
Pengalaman tak jauh beda juga dialami warga di Sulawesi tengah yang berhadapan dengan Badan Bank Tanah.
Hartono Lumentu, dongkol setiap membicarakan bank tanah. Warga Desa Watuatu, Kecamatan Lore Peore, Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) ini tidak ragu menyebut Badan Bank Tanah sebagai alat perampasan tanah modern.
“Di sini kita sudah mengalami dampak langsung dengan adanya bank tanah. Tanah kami diklaim jadi aset bank tanah. Padahal, wilayah itu merupakan ruang penghidupan kami untuk bertani dan berkebun,” katanya, kepada Mongabay, Minggu (22/9/24).
Maret 2023, Badan Bank Tanah, mulai eksis di tanah eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL) seluas 7.740 hektar di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau. Klaim sepihak itu membuat masyarakat geram dan marah, hingga mereka protes ke Pemerintah Poso.
Gabungan warga dari lima desa itu pun aksi penolakan atas aktivitas bank tanah dengan membuat Forum Masyarakat Lamba Bersatu (FMLB) sebagai wadah gerakan pada 14 Mei 2023. Hartono dipilih menjadi ketua dalam forum itu, sekaligus memimpin perjuangan aksi itu. Alih-alih ditanggapi pemerintah, mereka justru kerap didatangi kepolisian setelah aksi.
Seakan protes tidak digubris, Badan Bank Tanah membuat sosialisasi pada 12 Juli 2024 dengan mengklaim wilayah yang akan dipasangkan patok adalah tanah negara karena HGU SIL berakhir pada 13 Desember 2020. Bank Tanah juga menyampaikan, masyarakat bisa mengelola tanah di wilayah patok, tetapi tidak boleh menanam tanaman tahunan.
Berangkat dari sosialisasi itu, masyarakat yang tergabung dalam FMLB makin geram. Apalagi, bank tanah mengatakan wilayah yang diklaim menjadi aset mereka itu akan dikelola selama 50 tahun ke depan.
Hartono bilang, ini bentuk perampasan lahan, dan penggusuran msyarakat oleh negara.
“Badan Bank Tanah bukan hanya mematok lahan eks HGU SIL tapi mematok lahan persawahan produktif, lahan perkebunan coklat, dan kopi yang produktif, lahan kering yang belum digarap, bahkan pekarangan rumah masyarakat,” kata Hartono.
Dia pun menyebut 6.648 hektar aset bank tanah sebagai ruang publik bagi masyarakat Napu untuk pakai bersama sebagai tempat beternak. Sebagian lagi tempat menanam sayur-sayuran, cabai, tomat dan kacang panjang, maupun kacang tanah.
Wilayah itu, katanya, sebagian adalah tanah ulayat leluhur mereka.
Perampasan makin parah
Perampasan tanah dan ruang hidup petani serta masyarakat kecil terus terjadi di berbagai daerah. Bahkan, aktornya bertambah, tak hanya perusahaan dengan ada badan-badan yang mendapat legitimasi pemerintah lewat peraturan, seperti badan otorita kawasan pariwisata dan Badan Otorita Ibu Kota Negara. Ia terbentuk dari berbagai kebijakan seperti peraturan presiden, maupun peraturan pemerintah.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam forum diskusi menjelang Hari Tani Nasional (HTN) menyebut, fenomena ini sebagai bentuk dari kedaruratan demokrasi. Pemerintah Joko Widodo, katanya, menghidupkan kembali asas domein verklaring yang membuat negara merasa jadi penguasa tunggal atas seluruh tanah di negeri ini.
“Rezim ini hidupkan kembali aturan yang mundur ke belakang,” katanya.
Jadi, tanah yang puluhan tahun ditempati masyarakat bahkan sebelum kemerdekaan malah jadi tanah negara.
Konsep ini, katanya, jelas beda dengan semangat Undang-undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA, katanya, tidak boleh ada regulasi yang mendorong penindasan manusia atas manusia.
Sedang badan-badan bentukan pemerintah ini untuk merampas tanah masyarakat kerap menggunakan aparat yang represif dalam setiap tindakan mereka. Catatan KPA, terjadi 2.939 letusan konflik agraria di era Jokowi.
“Luar biasa PSN (proyek strategis nasional) menjadi peringkat satu,” kata Dewi.
Badan-badan itu pulalah yang kerap jadi ‘kaki’ PSN dari pemerintah pusat di daerah. “Kemarin kita lihat di Rempang, tiba-tiba masyarakat kampung tua itu dinyatakan HPL oleh BP Batam. Sekarang di Cianjur ada HPL bank tanah, dan 250.000 hektar HPL Badan Otorita IKN. Ada Badan Otorita Danau Toba dan lain-lain.”
Badan-badan itu, katanya, terbentuk hanya untuk kepentingan bisnis, namun berkedok badan publik. Kondisi ini, menunjukkan orientasi pemerintah yang makin liberal dan kapitalistik dan hanya menghitung pemegang modal.
Sedang rakyat kecil, ktanya, makin sengsara. Janji redistribusi 9 juta hektar tanah dalam bentuk hak milik dengan mudahnya menjadi hak pakai di beberapa tempat oleh perusahaan BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Belum lagi dengan upaya mendongkrak perhutanan sosial, ketimbang reforma agraria.
“Kalau ditarik siapa sih pendukung perampasan tanah model baru ini? Tentu circle itu lagi, oligarki dan dinasti politik… Rezim ini luar biasa. Makin tidak berpihak pada rakyat,” kata Dewi.
Doni Moidady, Koordinator KPA Sulteng mengatakan, bank tanah merupakan alat negara yang modern merampas tanah masyarakat. Bank tanah juga akan memasifkan penggusuran dan memiskinkan masyarakat.
Pakai ‘topeng’ reforma agraria, kata Doni, bank tanah tidak berbeda seperti korporasi yang rakus lahan dan memonopoli tanah. Kondisi itu tergambar jelas dalam Peraturan Pemerintah No 64/2021 tentang Badan Bank Tanah yang merujuk pada Undang-undang Cipta Kerja.
Doni bilang, pemerintah pakai definisi bank tanah sebagai badan hukum Indonesia dibentuk pemerintah pusat dengan kewenangan khusus mengelola tanah. Sederhananya, bank tanah bertugas mengambil alih properti kosong dan terbengkalai untuk jadi lebih produktif.
Dengan begitu, kata Doni, bank tanah otomatis jadi alat penggusuran efektif atau pencaplokan tanah dengan cara sistematis. Apalagi, secara kelembagaan, Badan Bank Tanah terdiri dari empat bagian, pemerintah pusat dipimpin presiden, komite bank tanah terdiri dari menteri-menteri dan dewan pengawas ditunjuk presiden serta badan pelaksana.
Menurut Doni, kelembagaan ini makin memusatkan pada keputusan presiden dan akan memuluskan peralihan penguasaan tanah, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah, tanpa mempertimbangkan masyarakat dan ekosistemnya.
“Hadirnya bank tanah ini mendorong penggusuran masif dan sistematis karena banyak proyek pembangunan dipaksakan,” kata Doni.
Terlebih lagi, ‘keamanan tanah’ untuk investasi jelas dalam Pasal 19 PP Bank Tanah yang memberikan jaminan dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan pusat dan daerah dalam mendukung ekonomi dan investasi.
Dengan begitu, katanya, atas nama investasi, bank tanah rawan mencaplok tanah petani kecil, nelayan, tanah adat.
“Fenomena di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau. Dalam kacamata bank tanah, wilayah itu adalah tanah kosong, tanah ulayat disebut tanah negara. Padahal, sebelum ada negara, warga sudah tinggal di situ.”
Sederhananya, kata Doni, bank tanah akan memperdalam dan memperparah konflik agraria, karena fokus pada keamanan dan ketersediaan tanah, dan menghilangkan tujuan penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Apalagi, katanya, sasaran tanah dalam bank tanah ini juga termasuk tanah ulayat.
Dia bilang, apa yang terjadi di lima desa di Poso itu memberikan gambaran lebih jelas bagaimana bank tanah cukup jauh dari sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Alih-alih menyelesaikan konflik agraria, katanya, bank tanah justru hadir untuk memperburuk situasi masyarakat dalam mempertahankan maupun memperjuangkan hak tanah mereka.
“Bank tanah ini tidak menyelesaikan konflik agraria seperti cita-cita dari PP Bank Tanah. Bank tanah memperparah situasi penyelesaian konflik dan memperpanjang perampasan lahan masyarakat.”
Fitri Pairunan, Ketua Solidaritas Perempuan Palu mengatakan, aturan bank tanah juga berdampak serius kepada perempuan. Regulasi itu buta gender karena tak ada kajian dan analisis gender berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan.
Aturan bank tanah itu,katanya, mengabaikan Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang pengarusutamaan gender. Dalam peraturan itu, peran perempuan dan posisinya masih dalam konstruksi sosial, tidak sebagai subjek yang berhak atas tanah, diperparah dengan kepemilikan tanah lebih besar atas nama laki-laki.
Dalam konteks itu, kata Fitri, perempuan hanya objek semata, dengan tanah dapat ambil alih pemerintah kapan saja. Terlebih lagi, bank tanah hanya melihat keamanan investasi, tidak melihat pentingnya partisipasi bermakna, pengelolaan maupun pemanfaatan tak berpihak pada kelompok perempuan petani dan perempuan adat.
Padahal, katanya, perempuan sangat lekat dengan sumber-sumber agraria—tanah, udara, air, laut maupun hutan–dan tidak hanya jadikan alam sumber ekonomi, namun lebih dari itu. Ia jadi sumber pangan utama, sosial, ruang aman, spiritual, dan sebagai ruang menjalani kehidupan yang jauh lebih bermakna.
“Perempuan juga subjek yang memiliki intelektual sama dengan laki-laki,” kata Fitri.
Perempuan, katanya, memiliki peran sangat penting dalam pengelolaan sumber agraria, seperti menggunakan pengetahuan dalam pengelolaan benih, menyemai, dan budidaya dengan kearifan lokal. Juga, menggunakan ilmu perbintangan, mengelola sumber mata air, dan mengelola ekosistem tanpa merusak.
Ketika terjadi perampasan ruang hidup, katanya, peran perempuan dalam konflik agraria, berkepentingan untuk mempertahankan tanah, dengan ragam cara perjuangan.
Itu pula, katanya, yang dilakukan perempuan di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau, yang melawan bank tanah.
Dia bilang, konflik berkepanjangan dari perusahaan lalu ke bank tanah membuat perempuan di lima desa itu kehilangan relasi dengan sumber-sumber agraria. Keadaan ini, katanya, bisa membuat perempuan tak dapat lagi berperan untuk menanam, merawat, membuat bibit, dan membuat lahan tetap subur.
“Kondisi itu bisa membuat relasi perempuan dan alam hilang. Makin negara menciptakan ketimpangan agraria, makin dalam juga ketimpangan perempuan.”
Kolonialisme gaya baru
Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, proses-proses perampasan lahan ini merupakan bentuk kolonialisme gaya baru yang pemerintah jalankan dalam menghadapi rakyatnya. Bank tanah, katanya, jadi ancaman utama keberlanjutan petani dan pekebun yang masuk klaim zona IKN.
“Misalkan warga Pemaluan yang mempersoalkan tiba-tiba tanah menjadi hak pakai. Kemudian tiba-tiba mereka tidak bisa lagi mengurusi surat-surat tanah. Lalu, para petani di sekitaran IKN khusus dalam kawasan delineasi, di bawah kendali Otorita (IKN) maupun bank tanah sama-sama dalam ketidakpastian,” katanya,
Perampasan tanah masyarakat, katanya, justru terlindungi regulasi melalui badan-badan bentukan pemerintah.
Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim menyayangkan, praktik-praktik itu karena tak hanya lahan pertanian atau perkebunan yang hilang, juga pengetahuan bertani. Apalagi, lahan-lahan itu tempat hidup dan menghidupi masyarakat.
“Salah satunya, kalau kita lihat dari IKN, dari kawasan saja misal, untuk peruntukan lahan pertanian ataupun perkebunan warga itu kan sangat timpang dengan konsesi yang ada, konsesi monokultur, eucalyptus. Belum lagi pertambangan batubara dan juga perkebunan sawit,” katanya.
Catatan Jatam dalam buku bertajuk Nyapu, masyarakat itu hidup dan berpenghidupan dengan mengelola pertanian dan perladangan mereka.
“Sekarang sudah banyak kebun-kebun sayur, dihabisi proyek-proyek skala besar. Tidak hanya luasan lahan yang hilang, tapi pengetahuannya.”
Penggunaan aparat penegak hukum (APH) pun dalam kerja lembaga pemerintah ini merupakan simbol-simbol kekerasan dan penggunaan cara kolonial untuk menaklukkan dan menguasai lahan serta isinya. Negara pun membenarkan, bahkan melibatkan pihak-pihak penegak hukum dalam rencana-rencana itu.
“Apalagi, kalau mereka datang dengan surat atau pun dengan tugas/penugasan tadi, rencana untuk penaklukan dan terlihat dari beberapa konteks berkaitan dengan IKN,” katanya.
Dia contohkan, satu kasus yang sempat menjadi perhatian publik, sembilan petani ditangkap di Polres Penajam Paser Utara dan dibawa ke Polda Kaltim. Mereka digunduli. “Digunduli, bentuk dari intimidasi yang jelas.”
Negara, katanya, meniru pola-pola kolonial dengan tujuan mempercepat penggusuran. “Terutama supaya ‘masalah’ dasar, berkaitan dengan tanah atau agraria itu makin cepat terselesaikan, cara-caranya dengan diintimidasi.”
Saiduani Nyuk, Ketua Pelaksana Harian Wilayah AMAN Kalimanan Timur, berpendapat sama. “Aparat justru jadi ujung tombak untuk mengintimidasi masyarakat. Bukan sekadar intimidasi, justru jadi pelaku yang mengkriminalisasi masyarakat adat,” katanya.
Duan, panggilan akrabnya, menyebut, dampaknya tidak main-main. Masyarakat dikriminalisasi ketika mempertahankan tanah yangmereka tempati turun temurun.
“Hampir tidak ada landasan hukum bagi masyarakat adat itu untuk melakukan pertahanan, karena ruang mereka dianggap semua tanah negara.”
IKN, katanya, justru membuat surat kepada masyarakat tak lagi masuk dalam hutan yang merupakan wilayah adat mereka termasuk untuk ritual. Kondisi ini, katanya, melanggar hak masyarakat adat.
“Justru lebih parah dari kolonial.”
Badan otorita dan bank tanah, kata Fathur, tak berpihak pada masyarakat. “Ini yang kita sebut sejak awal, negara atau pemerintah ini, melakukan praktik perampasan atas nama regulasi.”
Momentum Hari Tani ini, justru momentum ‘merayakan’ perampasan tanah besar-besaran pasca kemerdekaan. “Yang dilegalkan melalui regulasi, baik itu bank tanah atau badan otorita,.”
Duan pun pikir begitu. Faktanya, tanah-tanah rakyat makin menyempit. “Itu problema sangat miris bagi kita dalam menyambut Hari Tani. Situasi Itu yang saya rasa menyedihkan di tengah-tengah pemerintahan Jokowi kurang lebih 10 tahun ini,” katanya.
******