- Masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan gugatan terhadap UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (UU KSDAE). Mereka yang tergabung dalam Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan ini menilai UU KSDAHE 32/2024 berisiko merugikan masyarakat.
- Satrio Manggala, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, UU KSDAHE, tak mengindahkan asas keterbukaan dan tak lakukan proses partisipasi bermakna.
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, penerbitan UU KSDAHE ini tak melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar konservasi. Padahal, mereka subyek hukum yang berkaitan erat dengan ekosistem alam dan terancam terdampak UU ini.
- Ermelina Singeretta dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mengatakan, sesuai prinsip partisipasi bermakna pembentukan UU, pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal, maupun organisasi masyarakat sipil sebagaimana amanat UU Nomor 12/2011.
“Cabut dan batalkan UU Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya No. 32/2024.” Begitu spanduk yang oleh Koalisi untuk Korservasi Berkeadilan bentangkan di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, 19 September lalu. Mereka baru saja memasukkan gugatan terhadap UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (UU KSDAE).
Berbagai spanduk juga mereka bawa. “Tidak ada konservasi tanpa keadilan gender.” “UU KSDAE. Yakin ini konservasi? Jangan2 justru sarana negara cari cuan jualan karbon.” “Kembalikan hutan adat kami.” “Katanya konservasi, tapi kok masyarakat adat & komunitas lokal diusir & digusur?”
Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan komunitas adat ini menilai UU KSDAHE 32/2024 berisiko merugikan masyarakat.
Gugatan ajukan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane dan tiga organisasi yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Mereka meminta Mahkamah Konstitusi uji formil dan membatalkan UU yang baru Presiden Joko Widodo sahkan itu.
Menurut mereka, tiga alasan pengajuan uji formil yakni, UU KSDAHE tak memenuhi asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan, kehasilgunaan dan asas Keterbukaan.
Presiden menerbitkan UU Nomor 32/2024 tentang Perubahan atas UU Undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, 1 Agustus lalu.
Satrio Manggala, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, UU KSDAHE, tak mengindahkan asas keterbukaan dan tak lakukan proses partisipasi bermakna.
“Tanpa keterbukaan maka tidak ada partisipasi bermakna,” katanya.
Sebenarnya Walhi sudah mengingatkan dengan menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada 25 Juni 2024 di Gedung DPR, Jakarta Pusat. Sayangnya, masukan itu namun tak jadi pertimbangan.
“Hingga hari ini kami tidak mendapatkan alasan dan kejelasan kenapa masukan-masukan kami tidak diakomodir dan tidak direspon,” kata Satrio.
Satrio menjelaskan, dalam UU KSDAE baru tak menyematkan pasal yang mengatur mengenai padiatapa atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau (free, prior, informed and consent/FPIC) dalam Penetapan kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA), areal preservasi dan kawasan konservasi pesisir dan laut.
Padahal, katanya, FPIC sangat penting dan fundamental dari hak masyarakat adat untuk menyatakan setuju atau tidak terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adat mereka tanpa paksaan.
Karena tak ada informasi bermakna tadi, katanya, rawan memperluas perampasan tanah dan pengusiran masyarakat adat dari wilayah adat mereka.
“UU 32/2024 mengabaikan hak asasi manusia, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi hak hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No 39/1999 tentang HAM, dan peraturan perundang-undangan lain.”
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, penerbitan UU KSDAHE ini tak melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar konservasi. Padahal, katanya, mereka subyek hukum yang berkaitan erat dengan ekosistem alam dan terancam terdampak UU ini.
Secara substansi, katanya, UU KSDAHE tak menganggap masyarakat adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi. Dengan begitu, katanya, bisa banyak celah kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat maupun komunitas lokal.
Selama ini, katanya, masyarakat adat tak hanya mengelola dan memanfaatkan sumber alam di hutan. Mereka juga turut andil dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan ekosistem alam.
“Artinya, dalam penyusunan UU 32/2024 tidak melibatkan pihak terdampak, yang konsern terhadap alam hayati Indonesia dan ekosistemnya.”
Kondisi ini, katanya, menyebabkan, UU KSDAHE tak memiliki tujuan. “Hingga, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan,” kata Rukka.
Senada dikatakan Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA. UU ini, katanya, berdampak pada pengetahuan, budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tak terakomodir dalam mengelola dan konservasi berbasis masyarakat secara mandiri. Mereka, katanya, tidak dilibatkan dalam pembentukan dan penerbitan UU KSDAE.
“UU KSDAHE ini juga jelas bertentangan dengan hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2010.”
Putusan MK menjelaskan tentang hak mengakses laut, hak mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.Susan bilang, pembentukan UU 32/2024 tak memenuhi asas keterbukaan. Dokumen hasil rapat atau proses pembahasan UU tak aada di situs DPR.
Ermelina Singeretta dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mengatakan, sesuai prinsip partisipasi bermakna pembentukan UU, pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal, maupun organisasi masyarakat sipil sebagaimana amanat UU Nomor 12/2011.
“Hingga, ketentuan-ketentuan dalam UU 32/2024 tidak mendiskriminasi masyarakat adat, agar benar-benar Undang-undang ini kelak dapat berguna untuk meningkatkan efektivitas konservasi sekaligus dapat menggapai keadilan sosial dan ekologis yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.”
Ermelina bilang, koalisi sudah lakukan berbagai aksi antara lain, mengirimkan surat kepada presiden, Ketua DPR dan Ketua DPD yang tak tersusun terbuka, tetapi tak mendapatkan respon sama sekali.
Dalam gugatan, mereka mendesak Mahkamah Konstitusi membatalkan UU 32/2024 yang tersusun tak ada kejelasan tujuan, tak memenuhi asas kedayagunaan dan tertutup. Setidak-tidaknya, MK harus memerintahkan kepada pembentuk Undang-undang perbaikan paling lama dua tahun.
“Kemudian, perbaikan melibatkan masyarakat adat, komunitas lokal dan pihak-pihak yang memiliki fokus isu konservasi.”
*******