- Warga Bungus, Kota Padang, Sumatera Barat, resah angkutan batubara untuk pasokan PLTU Teluk Sirih melalui jalan pemukiman sejak 2021. Sebelumnya, angkutan batubara melalui laut.
- Warga khawatir truk-truk itu membahayakan terutama keamanan anak-anak maupun rawan menyerempet hingga merusak bangunan rumah.
- Diki Rafiqi, Koordinator Advokasi LBH Padang mengatakan, banyak masalah muncul seputar PLTU Teluk Sirih. Mulai dari kecelakaan manusia, terseretnya penyu, sampai pencemaran udara.
- Novita Sari, Juru kampanye Trend Asia, mengatakan, kalau Indonesia serius ingin mencapai komitmen sesuai tekan emisi karbon, sudah seharusnya pemerintah serius memensiunkan PLTU. Segera beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan.
Warga Bungus, Kota Padang, Sumatera Barat, resah angkutan batubara untuk pasokan PLTU Teluk Sirih melalui jalan pemukiman sejak 2021. Sebelumnya, angkutan batubara melalui laut. Warga khawatir truk-truk itu membahayakan terutama keamanan anak-anak maupun rawan menyerempet hingga merusak bangunan rumah.
“Karena itu waktu itu kami membentuk Forum Masyarakat Peduli Lingkungan,” kata Dian Fitria, warga Bungus, juga Ketua RT di sana.
Truk bermuatan batubara lewat Jalan Berok, Jalan Baliak, Jalan Olo, Jalan Teluk Buo sampai Teluk Sirih, menuju PLTU Teluk Sirih. Truk kadang antri panjang di jalanan.
Pada 2021, warga sempat mendatangi Hendri Septa, kala itu masih Wakil Walikota Padang, kini sudah jadi walikota.
Dalam rapat, pemerintah kota mengatakan akan membantu penyelesaian angkutan batubara ini. Tunggu punya tunggu, tetap tak ada respon berarti dari pemerintah kota.
Dari DPRD Sumbar juga sempat datang, tetapi tak ada lanjutan penyelesaian masalah ini. Padahal, ada 114 rumah terganggu truk batubara yang lalu lalang menuju PLTU.
PLTU sempat menawarkan pilihan penyiraman jalan tetapi dia tolak karena bisa jadi menahan protes mereka terhadap masalah utama.
“Pilihannya cuma tiadakan truk batubara ini melewati kampung atau pindahkan jalannya,” katanya.
Fadly, guru di sekolah Qur’an mengatakan, murid-muridnya merasa cemas setiap jalan ke lokasi belajar. “Takut ada truk batubaranya.”
Khairul Mahmud, pengelola kafe di Kampung Teluk Buo pun mengeluh. Sejak truk batubara rutin lewat, wisatawan yang berkunjung ke tempatnya menurun. “Ada 50% turun. Sejak 2020 sampai sekarang,” katanya.
“Pengunjung bilang banyak tantangan mau datang ke sini,” kata Ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Teluk Buo ini saat Mongabay temui.
Dia juga mendapat komentar dari wisatawan terkait jalan tidak ada penerangan. “Kalian tinggal di dapurnya listrik, tapi penerangan jalan minim,” kata Khairul yang kerap disapa Kapten ini, mengulangi perkataan pengunjung Teluk Buo.
Warga sempat aksi protes tetapi tetap saja truk-truk itu lewat. “Pernah ada menyepakati jam-jam truk tidak boleh lewat di sini. Namun itu sebentar saja,” katanya.
Kesepakatan itu berbentuk perjanjian jam truk tidak boleh lewat. Pada pukul 6.00 pagi-8.00 pagi, pukul 11.00 siang-pukul 13.00 WIB. Lalu sore dari pukul 17.00-20.00 WIB. Lagi-lagi, kesepakatan itu menguap, hanya berjalan singkat.
Dalam jurnal Pembangunan Negeri terbitan Balitbang Sumatera Barat terdapat artikel berjudul “Analisis Perubahan Kualitas Udara di Kawasan PLTU Teluk Sirih Kota Padang.” Ada tiga peneliti dari Universitas Tamansiswa, Yulianita, Novelisa Suryani dan Heny Mariati.
Riset menilai kualitas udara sebelum PLTU beroperasi pada 2013 sampai 2020. Mereka menemukan, debu partikulat matter atau PM10, sulfur dioksida dan nitrogen oksidaokside.
Riset menyebutkan, berdasarkan ISPU, kualitas udara berada pada kategori tidak sehat hingga berdampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.
Mereka memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, PLTU Teluk Sirih segera meminimalisir dampak asap pembakaran batubara gunakan teknologi.
Kedua, upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah daerah perlu sosialisasi penyuluhan, seminar, diskusi, pelatihan terkait pendidikan lingkungan hidup di sekolah, kantor-kantor pemerintahan maupun di lingkungan tempat tinggal. Juga pengkajian dan penelitian tentang lingkungan dan memanfaatkan media sebagai sarana pendidikan dan pengetahuan bagi masyarakat.
Ketiga, Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang melakukan pemantauan da atau pengawasan rutin PLTU Teluk Sirih.
Lutfi Nul Hakim, Manajer PLN IP UBP Teluk Sirih mengklaim, koncern dengan lingkungan sekitar.
“Kondisi cerobong ter-update dan selama delapan bulan saya di sini selalu clear dan clean,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Kalau ada kekurangan, katanya, masyarakat dapat menyampaikan ke PLTU. “Biar langsung kami tindaklanjuti. Kami selaku pengelola objek vital nasional menjaga ketahanan energi listrik Sumatera Barat, tentu saja tetap koncern dengan lingkungan sekitar,” katanya.
Diki Rafiqi, Koordinator Advokasi LBH Padang mengatakan, banyak masalah muncul seputar PLTU Teluk Sirih. Mulai dari kecelakaan manusia, terseretnya penyu, sampai pencemaran udara.
Untuk itu, perlu perhatian serius pemerintah agar masyarakat mendapat hak lingkungan bersih dan sehat.
Dia bilang, Sumbar banyak sumber energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya yang sedang dibangun di Danau Singkarak, gelombang laut sampai tenaga bayu.
Novita Sari, Juru kampanye Trend Asia, mengatakan, dampak krisis iklim sudah di depan mata, dan PLTU jadi katalisator kerusakan itu.
“PLTU menjadi sumber polusi yang mengancam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dampaknya tidak hanya dirasakan lingkungan, juga generasi mendatang,” katanya.
Indonesia, kata Novita, sudah berkomitmen di hadapan dunia internasional untuk mengurangi emisi karbon.
Kalau Indonesia serius ingin mencapai komitmen sesuai tekan emisi karbon, sudah seharusnya pemerintah serius memensiunkan PLTU. “Beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan.”
******
Niat Pemerintah Suntik Mati PLTU Suralaya Dinilai Tak Serius