- Masyarakat Adat Rendubutowe di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tak bisa berbuat banyak. Saat pemerintah berencana bikin bendungan—kemudian dapat status proyek strategis nasional–, mereka terpaksa menyerahkan lahan. Ada juga yang terus bertahan dengan tantangan berat sampai dikucilkan.
- PSN Bendungan Lambo perlu lahan sekitar 862,479 hektar melahap tiga desa di Nagekeo, yaitu, Rendubutowe, Labolewa dan Ulupulu. Gagasan proyek ini sudah muncul sejak 1999, tetapi baru aktif era Presiden Joko Widodo dan pembangunan resmi mulai 2021.
- Miris lagi, belum ada kejelasan penyediaan tempat relokasi bagi warga terdampak pembangunan bendungan. Mereka hanya janji tanpa realisasi. Di tengah ketidakpastian itu, pemerintah Desa Rendubutowe dan tokoh-tokoh masyarakat adat berinisiatif membuat tempat relokasi. Lahan di Kampung Malapoma mereka sepakati sebagai tempat pindah.
- Ada 111 orang mendapatkan jatah relokasi dengan luas lahan 20×40 meter per orang. Lokasi ini masih berada di sekitar bendungan namun berada di tempat lebih tinggi. Dengan begitu, lebih aman dari genangan bila nanti bendungan itu beroperasi.
Mateus Bhui, malu tak kuasa mempertahankan tanah leluhurnya. Dia bukan pasrah, tetapi terpaksa melepaskan tanah karena berhadapan dengan negara. Tanahnya akan jadi Bendungan Mbay/Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Kepala Woe (Marga) Dhiri Ke’o, Suku Redu, Masyarakat Adat Rendubutowe ini ingin mengenang warisan leluhur yang terpaksa lepas ini dengan menyimpan tanah di wadah khusus.
“Nenek moyang, jangan marah. Saya tidak mau jual tanah ini,” katanya akhir Agustus lalu. Kata-kata itu, dia daraskan saat mengambil sengenggam tanah dari kebunnya.
Dia tak mau ikatan dengan tanah terpisah setelah wilayah itu jadi salah satu proyek strategis nasional (PSN) ini.
”Kami masyarakat adat tanah ini penting, tapi oleh pemerintah diadakan pembangunan dengan alasan kepentingan negara. Bagaimana dengan kehidupan kami? Tanah belum ada, mau tanam dimana?”
Dia berat lepas dari tanah yang menghidupi mereka. Masyarakat terpaksa melepas tanah mereka untuk ditenggelamkan PSN bernilai Rp1,4 triliun itu.
Mateus akan kehilangan rumah dan 5 hektar perkebunan yang dia tanami mahoni, jambu mete, jati, sampai kelapa. “Kami bukan pasrah, kami terpaksa,” katanya berkali-kali.
Tak hanya tempat tinggal sirna, Suku Redu juga kehilangan media untuk mengaktualisasikan diri dan budaya mereka. Proyek bendungan akan melahap tempat-tempat ritual adat yang mereka gunakan turun-temurun.
Tempat-tempat ritual adat seperti untuk ritual sunat adat, berburu, dan minta hujan, semua masuk bendungan. Padahal, pemilihan tempat ritual tidak bisa sembarangan, harus ada restu dari nenek moyang.
Ritual adat ini pun selalu terikat langsung dengan alam. Sunat adat, misal, ritual bagi keluarga yang punya anak siap menikah. Dalam praktiknya, orang tua si anak harus ritual ini dengan mandi di sungai dan melarungkan seluruh benda-benda melekat dalam dirinya. Hal itu sebagai simbol pelarungan dosa-dosa yang diperbuat sebelumnya.
Suku Redu, kata Mateus, terakhir ritual di situs adat pada 2021.
“Kami minta supaya pemerintah pusat memikirkan kita masyarakat adat ini supaya jangan hilang budaya kami. Karena budaya adalah yang kami ikuti dari nenek moyang.”
PSN Bendungan Lambo perlu lahan sekitar 862,479 hektar melahap tiga desa di Nagekeo, yaitu, Rendubutowe, Labolewa dan Ulupulu. Gagasan proyek ini sudah muncul sejak 1999, tetapi baru aktif era Presiden Joko Widodo dan pembangunan resmi mulai 2021.
Sejak awal, warga terus menolak proyek ini, di beberapa tempat bahkan terjadi konflik antar warga bahkan menyebabkan kekeluargaan retak, seperti di Ulupulu.
Daniel Dhima, Ketua Suku Nakabani, ingat kejadian 26 April lalu yang mencederai harga dirinya. Segerombolan orang mencaci maki Daniel dan leluhurnya serta berusaha mengusir Daniel dari tanahnya.
Saat itu, Daniel tengah membuat pagar tiba-tiba dihampiri truk yang membawa segerombolan laki-laki. Mereka segera menghampirinya sambil membawa kayu, parang, serta tombak.
Gerombolan 36 orang itu lalu mencaci maki Daniel. Mereka ingin Daniel pergi dari tempat itu, karena sejak saat itu tanah Daniel disebut milik mereka, bukan lagi kepunyaan Daniel.
Pria 59 tahun itu segera memanggil polisi.
“Saya punya nenek seorang pejuang yang kasih merdeka orang-orang… menjadi ketua ulayat, berjuang waktu itu, mandi darah,” katanya,
Orang-orang itu, kata Daniel, yang sudah kehabisan lahan, mendapatkan ganti rugi uang, tidak punya tanah lagi untuk membangun rumah.
Daniel pun sampai dikucilkan mereka yang pro proyek. Dia dilarang mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, hingga terpaksa membeli air.
Pembangunan bendungan itu membuat kehidupannya tidak aman, mereka merasa dikelilingi musuh.
Yohanes B Jawa, Kepala Desa Ulupulu, mengatakan, lahan untuk bendungan jadi pemicu konflik horizontal di desanya. Perpecahan masyarakat terpicu pembagian uang ganti rugi lahan.
Di desa itu, ada 172 bidang lahan terdampak pembangunan bendungan, ada belasan masih berkonflik. Penyelesaiannya, tidak jelas. Pemerintah, kata Yohanes, banyak tak membayar ganti rugi yang seharusnya.
Dia pun punya tanah 2 hektar terkena proyek bendungan juga belum ada ganti rugi.
Mengacu keterangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo, nilai tanah yang ditetapkan Rp30.500 per meter.
“Pemerintah bilang mau ganti, sampai sekarang tidak ada kejelasan,” kata Yohanes.
Belum juga konflik sosial selesai dan ganti rugi selesai, pemerintah sudah mau beralih ke penetapan lokasi (penlok) II. Seharusnya, kata Yohanes, selesaikan dulu masalah di penlok I baru beralih ke penlok II.
Penlok I berdasarkan Keputusan Gubernur NTT Nomor 434/KEP/HK/2021 seluas 617,76 hektar. Lalu, penlok II seluas 244,72 hektar sesuai Keputusan Gubernur NTT Nomor 306/KEP/HK/2023.
Data Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II menyebut, jumlah yang terbayar di penlok I 308,914 hektar (380 bidang) dan belum terbayar 188,228 hektar (175 bidang). Di penlok II belum ada pembebasan lahan.
“Penlok I, masalah yang sedang kami hadapi ini belum selesai. (Negara) biarkan masalah itu berjalan terus. Masuk lagi di penlok dua, nanti kita alami hal sama,” katanya.
Yohanes bilang, para petani Desa Ulupulu yang kehilangan tanah jadi susah karena lahan sudah tidak ada.
“Pembangunan waduk ini, semua lahan petani sudah diambil. Itu sudah mengurangi mata pencarian, sebagai petani, lahan sudah tiada.”
Penolakan sejak awal
Bernardinus Gaso, menolak pembangunan bendungan Lambo sejak awal 2000-an. Dia tak gentar sekalipun pernah dipukuli dan digelandang ke Polres Nagekeo.
Dia mengatakan, perjuangan pertama saat Menteri Ketenagakerjaan periode 2001-2004, Yacob Nuwa Wea, datang ke Nagekeo pada 2001.
Bernardinus bersama warga kompak menolak. Mereka membuat pernyataan sikap tentang penolakan pembangunan bendungan itu.
Aksi mereka sempat membuahkan hasil karena rencana pembangunan ditunda. Pemerintah pusat berganti, dan kembali menyosialisasikan proyek ini pada 2015.
Dari analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), AMDAL, pelepasan lahan (land acquisition and resettlement action plan/Larap) sampai sertifikasi desain bendungan dikebut dan selesai 2018-2019.
Sosialisasi sempat ricuh lantaran warga menolak keras dan berujung diskriminasi. Warga penolak ada yang dipenjara sembilan bulan. Yang lain ada yang alami intimidasi.
Huru-hara yang mencekam kembali terjadi pada 2022. Kejadian dipicu forum tandingan dari forum penolak yang dipimpin Bernardinus, Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo.
Alat-alat berat masuk ke lokasi Maret 2022. Pada 4 April 2022, forum pro pembangunan hendak mengadakan upacara adat di sekitar area bendungan dengan penjagaan polisi. Yang kontra menghadang kegiatan itu minta bicara terlebih dahulu. Kericuhan terjadi.
Sebanyak 24 orang yang kontra, termasuk satu perempuan, ditangkap dan dibawa ke Polres Nagekeo.
Kala itu, katanya, mereka kena jemur, tinju dan kena pukul sampai berdarah. Mereka berdiri dengan posisi hormat menghadap tiang bendera.Tidak boleh duduk, terus berdiri menengadah ke langit sejak pagi menjelang siang sampai matahari tenggelam.
“Woi! “Bapak tua ini penghalang pembangunan,” kata Bernardinus meniru perkataan polisi kepadanya saat itu.
“Kami pertahankan punya hak.”
Sebanyak 24 orang itu juga harus membuat pernyataan sikap mereka siap menerima pembangunan Bendungan Lambo.
Mereka terpaksa mengikuti permintaan polisi karena bila menolak, proses hukum lanjut dan pembangunan pun lanjut.
“Dari awal itu kami sepakat, masyarakat sepakat menolak. Dalam perjalanan makin berkurang, bahkan bentuk forum tandingan, forum penerima.”
Masyarakat di sana, sebagian besar petani. “Setelah lahan-lahan mereka sudah tidak ada, apakah mereka tetap bertani?”
Dia berharap, pemerintah memerhatikan nasib warga. Tidak akan mudah bagi mereka menghadapi perubahan ruang hidup begitu cepat.
Andrey Valentino, Kepala Polisi Resor (Kapolres) Nagekeo, yang ditanya soal kasus itu mengatakan, baru bertugas di Nagekeo tujuh bulan hingga tidak banyak mengetahui konflik-konflik sebelumnya. Selama menjabat di sana, dia tidak menemui intimidasi dari polisi.
Dia meyakinkan, akan gunakan pendekatan lebih baik dengan mengajak dialog langsung tokoh-tokoh terkait di masa depan.
Tanpa kejelasan
Miris lagi, belum ada kejelasan penyediaan tempat relokasi bagi warga terdampak pembangunan bendungan. Mereka hanya janji tanpa realisasi.
Di tengah ketidakpastian itu, pemerintah Desa Rendubutowe dan tokoh-tokoh masyarakat adat berinisiatif membuat tempat relokasi. Lahan di Kampung Malapoma mereka sepakati sebagai tempat pindah.
Ada 111 orang mendapatkan jatah relokasi dengan luas lahan 20×40 meter per orang. Lokasi ini masih berada di sekitar bendungan namun berada di tempat lebih tinggi. Dengan begitu, lebih aman dari genangan bila nanti bendungan itu beroperasi.
“Betul mereka menyampaikan kita di sini segelintir, tapi ini adalah masyarakat. Sampai hari ini, belum ada kepastian bahwa kami harus ke mana,” kata Hermina Mawa, tokoh perempuan adat Rendubutowe.
Mama Mince, panggilan akrabnya, mengatakan, warga di sana tak menolak pembangunan, tetapi menolak penetapan lokasi yang harus menggusur rumah-rumah dan kebun warga. Setidaknya, ada 30 rumah terdampak langsung pembangunan itu di Rendubutowe.
Warga mengusulkan pembangunan bendungan di Malawaka dan Lowo Pebhu. Bahkan, sebagian warga suka rela memberikan tanah kalau pemerintah mau membangun di lokasi itu.
“Tapi mereka mengatakan lokasi yang diusulkan warga itu tidak cocok,” kata Mince.
Saat sosialisasi, pemerintah mengatakan akan turut membangun instalasi pembangkit listrik dan pariwisata selain buat irigasi. Dia juga tak tahu, irigasi menjangkau daerah mana saja.
“Jawaban pemerintah selalu mengambang. Padahal sudah ada Bendung Sutami untuk kebutuhan irigasi,” katanya.
Terkait pariwisata, lanjut Mince, lebih baik bila pemerintah memfungsikan wisata alam seperti air terjun di sekitar situ. Untuk listrik, di Nagekeo, lebih dari cukup.
“Ketika kita membangun waduk di sini, air terjun di sana akan hilang karena air sudah dibendung. Tidak mungkin air terjun itu terjadi lagi.” (Bersambung)
******
Mengapa Pembangunan Waduk Lambo Ditolak Masyarakat di Tiga Desa Adat. Apa Masalahnya?