- Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL), di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, mengagas kemah bersama anak-anak muda untuk mengajak mereka punya kesadaran dan peduli penyelamatan orangutan Sumatera dan orangutan Tapanuli sejak dini.
- Nandri Deni Cantika, Pelajar kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMA) asal Tapsel, awalnya, tidak tahu sama sekali tentang orangutan merupakan satwa liar dilindungi, dan ternyata populasinya terancam. Setelah mengikuti Orangutan Festival, dia mendapatkan berbagai informasi mengenai orangutan, terutama orangutan Sumatera dan orangutan Tapanuli.
- Peningkatan kebutuhan lahan, seperti konversi menjadi perkebunan sawit yang merupakan ancaman besar bagi konservasi, terutama di Sumatera Utara. Kondisi ini, jelas akan memberi tekanan pada lingkungan dan mempengaruhi satwa liar.
- Syafrizaldi Jpang, Executive Director YOSL-OIC, menekankan peranan penting generasi milenial dan Gen Z dalam upaya konservasi lingkungan. Harapannya, mereka bisa melanjutkan estafet konservasi.
Kerumunan remaja memenuhi kemah alam terbuka Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL), di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, Agustus lalu. Antusias terpancar dari kelompok muda mudi usia 15-20 tahun yang datang dari berbagai latar belakang ini.
Kala itu, YOSL menghelat Orangutan Festival, acara tahunan yang menyasar penyadartahuan pada generasi muda akan pentingnya orangutan Sumatera dan orangutan Tapanuli.
Beberapa di antara remaja itu mengabadikan momen dengan berfoto bersama sosok yang mengenakan kostum orangutan.
Nandri Deni Cantika, Pelajar kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMA) asal Tapsel, baru sekali ikut Orangutan Festival. Awalnya, dia tidak tahu sama sekali tentang orangutan merupakan satwa liar dilindungi, dan ternyata populasinya terancam.
“Di sekolah pernah diajarin tentang orangutan dan di Tapsel juga ada hidup satwa itu yang katanya jumlahnya nggak banyak,” kata Nandri kepada Mongabay.
Dia menyebut, akan aktif di kegiatan berbagai alam ketika dewasa. Rencananya, dia akan mempelajari lebih banyak tentang deforestasi, satwa dan lain-lain.
Nandri berniat menularkan ilmu yang dia dapat selama workshop Orangutan Festival ke orang lain.
“Orangutan adalah satwa khas daerah sini. Saya tertarik untuk jadi warrior,” katanya.
Wahyu Pane, mahasiswa dari Padangsidimpuan, rasa penasarannya terjawab saat mengikuti Orangutan Festival. Dia jadi tahu jika satwa liar dilindungi ini baru melahirkan kembali setelah delapan tahun.
““Banyak manusia beranggapan orangutan adalah ancaman, justru manusia itu sendirilah yang menjadi ancaman terbesar bagi mereka,” katanya.
Wahyu berencana aktif memberikan edukasi ke orang lain dan melakukan kampanye lewat media sosial.
Zahra, siswi di Medan mengatakan, pelajar salah satu agen perubahan. “Kami punya peranan penting dalam membawa misi-misi positif untuk kelestarian hutan, melindungi satwa dan kegiatan positif lainnya,” ucapnya.
Syafrizaldi Jpang, Executive Director YOSL-OIC, menekankan peranan penting generasi milenial dan Gen Z dalam upaya konservasi lingkungan. Harapannya, mereka bisa melanjutkan estafet konservasi.
“Karena (mereka) akan menjadi pemimpin di berbagai bidang di masa depan. Jika konservasi sudah tertanam dalam diri mereka, diharapkan mereka akan terus membawanya sepanjang hidup mereka,” katanya, seraya bilang fokus pada generasi muda adalah target penting.
Meskipun demikian, lonjakan pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan sumber daya menjadi masalah tersendiri. Pasalnya, populasi akan berkembang pesat sementara sumber daya tidak.
“Ada perubahan pola konsumsi, mengakibatkan orang berlomba-lomba mencari uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak selalu mendasar, yang pada gilirannya mengancam upaya konservasi.”
Dia juga menggarisbawahi konsekuensi dari peningkatan kebutuhan lahan, seperti konversi lahan menjadi perkebunan sawit yang merupakan ancaman besar bagi konservasi, terutama di Sumatera Utara. Kondisi ini, jelas akan memberi tekanan pada lingkungan dan mempengaruhi satwa liar.
Jpang mengingatkan, pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi tantangan ini. Salah satunya adalah bagaimana mengatasi perburuan.
“Perubahan regulasi dan penegakan hukum harus serius memberikan efek jera. Peran masyarakat sipil, termasuk mereka yang terdampak langsung oleh kegiatan konservasi sangat diperlukan,” katanya.
Bupati Tapanuli Selatan, Dolly Pasaribu yang hadir di sana menyatakan, kekhawatiran konflik antara primata dan masyarakat, terutama ketika musim buah.
Pemerintah daerah, katanya, terus penyadartahuan dan mengedukasi masyarakat untuk memberikan ruang bagi primata mencari makan tanpa mengganggu mereka.
******
Anak Orangutan Tapanuli Ditemukan Mati di Batang Toru, Penyebabnya?