Dalam situs resmi Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pemerintah menjelaskan, bahwa IKN untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju, sesuai Visi Indonesia 2045. Pemerintah mengklaim, IKN dirancang sebagai simbol identitas nasional. Sekaligus katalisator untuk mengubah orientasi pembangunan menjadi lebih Indonesia-sentris. Melalui integrasi teknologi, green economy, dan smart city, IKN diproyeksikan jadi episentrum baru pertumbuhan ekonomi yang merata, tidak lagi terpusat di Pulau Jawa.
Narasi megah yang dikembangkan pemerintah berhasil menggugah perasaan publik untuk mendukung IKN. Kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya, pembangunan IKN merampas tanah dan sumber penghidupan rakyat, terutama masyarakat adat dan komunitas lokal. Perubahan fungsi lahan adat menjadi IKN membuat masyarakat kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang selama ini penopang hidup mereka, seperti hutan, ladang, sungai dan laut.
Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur yang menghadiri beberapa pertemuan di Cambridge dan London untuk mengkampanyekan “Dampak IKN terhadap masyarakat adat dan keanekaragaman hayati di Teluk Balikpapan” pada 19-24 September, menyebut, pembangunan IKN sebagai ilusi kemegahan yang hanya mengutamakan infrastruktur tanpa mempertimbangkan dampak lebih luas.
Menurut dia, semangat nasionalisme terjebak dalam citra kemegahan IKN, sementara berbagai masalah seperti konflik agraria, kerusakan ekologis, dan kriminalisasi terabaikan, bahkan disembunyikan.

Hancurnya ekosistem Teluk Balikpapan
Berdasarkan analisis spasial Walhi Kalimantan Timur, lanskap Teluk Balikpapan terdiri tiga daerah aliran sungan (DAS ) besar yakni, Riko-Manggar, Tunan dan Klandasan Ulu, dengan luas 211.456 hektar. Terdapat 54 Sub-DAS, yang bermuara di teluk ini. Sementara perairan teluk mencapai 16.000 hektar dengan 31 pulau-pulau kecil menghiasi wajah teluk.
Dari sudut konservasi, lanskap Teluk Balikpapan memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Ada hutan hujan tropis primer, regenerasi hutan hujan tropis sekunder, hutan mangrove, rawa, lahan bebatuan, terumbu karang, rumput laut, dan laut dangkal. Hutan sekunder yang menghubungkan sekat hutan ini dengan hutan penting lain adalah kawasna konservasi hutan Bukit Soeharto ke timur laut dan Gunung Meratus ke barat daya. Ekosistem perairan menghubungkan Selat Makassar ke timur.
Wilayah ini jadi rumah bagi lebih dari 100 spesies mamalia, sekitar 300 jenis burung, dan lebih 1.000 jenis pohon. Hutan mangrove di Teluk Balikpapan memiliki peran strategis sebagai habitat bagi 5% populasi bekantan di dunia.
Berdasarkan survei terbaru kelompok ilmuwan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat ini populasi bekantan 3.907 individu, tinggal dalam wilayah pengembangan IKN. Kekayaan biodiversitas itu menjadikan lanskap Teluk Balikpapan sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati di Kalimantan Timur.
Teluk Balikpapan juga habitat penting bagi satwa langka seperti pesut pesisir dan duyung. Pesut pesisir, menghadapi ancaman serius dengan populasi tersisa diperkirakan antara 60-140 ekor. Pesut tersebar dari hilir sampai hulu Teluk Balikpapan. Beberapa tempat favorit pesut seperti Sungai Tempadung, Sungai Riko, dan Sungai Sepaku, wilayah ini berfungsi sebagai area vital untuk pencarian makanan dan migrasi mereka.

Pembangunan IKN yang mencakup bagian hulu dari DAS Riko Manggar menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Salah satu dampak langsung dari pembangunan ini adalah proyek jalan tol yang mengakibatkan jalur migrasi satwa terputus. Kondisi itu, memaksa satwa-satwa langka seperti bekantan, macan dahan, owa dan orangutan harus beradaptasi dengan lingkungan yang makin terfragmentasi.
Pada gilirannya meningkatkan risiko konflik dengan manusia dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Pembangunan bendungan di bagian hulu, juga menyebabkan perubahan besar dalam pola hidrologi. Kawasan pertanian yang selama ini bergantung pada aliran air dari sejumlah anak sungai kini mengalami kekeringan. Bendungan menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Untuk pertama kali dalam ingatan warga, perkampungan Sepaku Lama terendam banjir kerena air bendungan meluap. Kondisi ini menunjukkan bagaimana infrastruktur untuk mendukung IKN menyebabkan kerusakan luas pada ekosistem dan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung.
Proyek IKN menunjukkan ironi besar, kemegahan dan kebanggaan pembangunan nasional mengabaikan ekosistem, habitat biodevirsitas unik dan endemik serta penting bagi kehidupan. Masyarakat adat dan komunitas nelayan di pesisir yang bergantung pada ekosistem Teluk Balikpapan juga makin tersingkir dan terpinggirkan.

Narasi bohong keberlanjutan pembangunan IKN
Ancaman serius bagi keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat lokal yang jadi bagian integral dari keseimbangan ekosistem alami menunjukkan gagalnya pemerintah dan pihak-pihak lain yang mendukung pembangunan IKN, termasuk Tony Blair Institute for Global Change yang menandatangani MoU Otorita IKIN pada 2023.
Kerja sama itu diklaim mencakup empat aspek utama, peningkatan sektor pendidikan melalui kolaborasi antar perguruan tinggi, pengembangan sektor kesehatan terkait uji klinis, pengembangan potensi investasi dan rencana bisnis strategis, serta pembangunan kota melalui studi banding ke kota-kota masa depan di dunia. Hal itu terus teramplifikasi oleh pemerintah untuk memperkuat narasi kemegahan dan kota modern. Kenyataannya, setahun berlalu tanpa hasil nyata. IKN tetap dalam jalur pembangunan yang merusak lingkungan dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat.
Walhi beranggapan kolaborasi dengan Tony Blair Institute tak lebih dari sekadar upaya membangun citra palsu IKN sebagai kota modern yang berkelanjutan. Di baliknya, dampak destruktif pembangunan IKN terus bertambah. Hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan habitat penting lain terus tergerus oleh pembangunan yang tidak memperhatikan dampak ekologis.

Populasi satwa langka seperti bekantan, pesut, dan duyung makin terancam, dan ruang hidup masyarakat lokal kian sempit. Pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa mempertimbangkan keberlanjutan menyebabkan kerusakan ekologis tak terhitung dan memaksa warga meninggalkan tanah mereka.
Proyek ini menghadirkan risiko finansial, lingkungan, dan sosial yang sangat tinggi. Pembangunan IKN yang berbasis pada eksploitasi sumber daya alam dan pengabaian hak-hak masyarakat adat justru berpotensi memperparah krisis yang ada.
Walhi menegaskan, proyek ini bukanlah jalan menuju kesejahteraan, melainkan jalan menuju kerusakan yang akan terus membebani generasi mendatang. Labih jauh Walhi mengingatkan publik untuk tidak terjebak dalam narasi semu pembangunan IKN yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Dampak negatif yang sudah terlihat di lapangan tidak dapat terabaikan. Karena itu, investasi baik domestik maupun internasional, harus diawasi ketat. Setiap rupiah yang diinvestasikan adalah dukungan terhadap perusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.
Walhi meyakini, IKN hanya akan menambah daftar panjang kegagalan pembangunan yang mengorbankan alam dan manusia. Pembangunan yang baik adalah yang menempatkan rakyat dan lingkungan di atas segalanya, bukan ilusi keberlanjutan yang hanya melayani kepentingan elit.


******
Penulis: Adam Kurniawan, merupakan Kepala Divisi Publik Engagement, Eksekutif Nasional Walhi. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Tol Balikpapan-IKN Belah Hutan, Akan Efektifkah Koridor Satwa?