- Louise Kotzé, Profesor Fakultas Hukum North-West University Afrika Selatan mengatakan, hukum lingkungan perlu menempuh langkah ambisius dan radikal, serta mengubah paradigma dalam memahami kondisi bumi.
- Dia mengusulkan pendekatan hukum sistem bumi (earth system law). Pendekatan itu, katanya, merupakan upaya untuk menanggapi tantangan sistem tata kelola bumi, melalui pengembangan norma, mendorong transformasi, serta pembelajaran dan pertimbangan intra, inter dan transdisiplin.
- Mas Achmad Santosa, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menilai, perlu solidaritas komunitas ilmuwan di tingkat nasional dan global untuk membangun hukum dan kebijakan dengan paradigma baru. Menurutnya, terdapat sejumlah praktik kearifan lokal di Indonesia yang bisa jadi referensi pengembangan hukum lingkungan.
- Andri Gunawan Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia menyatakan, frasa “dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, harus disandingkan dengan sejumlah ketentuan hukum lainnya. Agar, penguasaan negara, harus diikuti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ilmu maupun kebijakan hukum lingkungan harus bergerak maju seiring perkembangan peradaban masyarakat, atau yang sering disebut era antroposen. Soalnya, eksploitasi sumber daya alam telah membawa bumi pada ancaman krisis iklim.
Louise Kotzé, Profesor Fakultas Hukum North-West University Afrika Selatan menuliskan, istilah antroposen tidak lagi menunjukkan bahwa lingkungan merupakan sesuatu yang terpisah dari manusia. Sebaliknya, dalam “Governing Prometheans in the Anthropocene: Three Proposals to Reform International Environmental Law”, dia menyebut, antroposen menunjukan hubungan sebab-akibat dan keterkaitan antara manusia dengan alam semesta.
Namun, bukannya ikut menahan laju kerusakan, manusia justru mengukuhkan penghancuran bumi atas nama pembangunan dan ekonomi. Kata Kotzé, sebagai ilmu dan perangkat kebijakan, hukum lingkungan turut terlibat menciptakan situasi krisis ini.
Ketika menjadi pembicara dalam seminar “Tantangan Hukum Atasi Krisis Bumi di Era Antroposen”, dia mengatakan, selama ini hukum lingkungan terjebak dalam pola pikir menyangkut hak mengeksploitasi sumber daya manusia dan non manusia, atas nama pembangunan dan ekonomi. Serta, tidak mampu memberikan solusi berkelanjutan dan adil untuk mengatasi krisis iklim.
Menurut Kotzé, umat manusia telah sangat cepat keluar dari zona aman. Sebab, saat ini enam dari sembilan batas aman planet telah terlampaui, yang berdampak terganggunya sistem sosial, ekonomi dan politik. Hal itu, lanjutnya, dapat dilihat dengan meningkatnya konflik geopolitik di seluruh dunia. Bukan hanya dalam lingkup keamanan, tetapi juga konflik yang terkait erat dengan aspek lingkungan, misalnya energi.
“Butuh kesadaran yang sangat besar. Bukti-buktinya ada. Kita tahu itu. Jadi pertanyaan saya adalah, mengapa kita tidak melakukan apa-apa tentang hal ini?” ujarnya ketika ceramah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jumat (4/10/2024).
Baca : ‘Kado’ Tutup Tahun: KUHP Baru, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Makin Suram?
Karena itu, Kotzé mengajak praktisi dan pakar hukum lingkungan untuk memfokuskan tujuan pada pengelolaan planet, mengatasi kondisi negatif dan memprioritaskan integrasi dan ketahanan planet. Dia berharap, hukum lingkungan menempuh langkah ambisius dan radikal, serta mengubah paradigma dalam memahami kondisi bumi.
Kotzé menawarkan pendekatan yang disebutnyaa hukum sistem bumi (earth system law). Pendekatan itu, katanya, merupakan upaya untuk menanggapi tantangan sistem tata kelola bumi, melalui pengembangan norma, mendorong transformasi, serta pembelajaran dan pertimbangan intra, inter dan transdisiplin.
Selain itu, menurutnya, hukum lingkungan perlu meningkatkan ambisi agar tetap relevan dengan zaman. Upaya melindungi bumi, katanya, harus dilakukan bukan hanya untuk keberlanjutan manusia di masa kini dan masa depan, tetapi juga keberlanjutan hidup makhluk non manusia.
“Itu berarti, perlu adanya langkah yang inovatif dan radikal dalam pembuatan kebijakan, termasuk dalam pendidikan dan penelitian ilmu hukum yang lebih baik, demi menjaga planet di era Antroposen,” terangnya.
Konteks Hukum Lingkungan di Indonesia
Mas Achmad Santosa, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan, kelemahan hukum lingkungan telah mendorong lahirnya gagasan-gagasan baru seperti, earth system law (sistem hukum bumi), ecological law (hukum ekologi) dan berbagai konsep hukum berkelanjutan lainnya.
Karena itu, dia menilai, perlu solidaritas komunitas ilmuwan di tingkat nasional dan global untuk membangun hukum dan kebijakan dengan paradigma baru. “Saya meminjam istilah Profesor Kotzé, ekologizing the law, mengekologikan hukum. Ini bukan hal mudah dan tidak dapat diselesaikan oleh hukum lingkungan semata,” ungkapnya.
Meski demikian, menurutnya, terdapat sejumlah praktik kearifan lokal di Indonesia yang bisa jadi referensi pengembangan hukum lingkungan. Santosa menyebut, masyarakat hukum adat Salena, Sulawesi Tengah, memiliki filosofi indoku dunia umaku langi. Filosofi ini mencerminkan hubungan erat antara manusia, tanah dan langit.
Kemudian, masyarakat adat Kasepuhan Cicurug, Banten, dengan filosofi Leuwung Titipan yang mensakralkan hutan dan harus dilindungi dari kerusakan. Serta, masyarakat adat Haruku, Maluku, yang menerapkan sasi untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.
“Pertanyaannya, bagaimana praktik kearifan tradisional masyarakat adat yang mengakui ecological integrity (intigritas ekologi) kemudian diterapkan ke level nasional, bahkan internasional,” ujarnya.
Baca juga : Begini Potret Penegakan Hukum Lingkungan Di Jabar
Dari sisi kebijakan negara, lanjutnya, sejak amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, Indonesia telah mengakui bahwa pembangunan ekonomi harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkeadilan.
Santosa menyebut, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan pasal 33 ayat 4 UUD 1945 sebagai dasar hukum pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat (strong sustainability).
Memaknai Ulang Penguasaan Negara
Dinamika persoalan lingkungan hidup di Indonesia, perlu diikuti dengan perbaikan sistem hukum yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Andri Gunawan Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia menyatakan, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memaknai ulang penguasaan sumber daya alam oleh negara, seturut pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Penguasaan negara, dalam tafsir MK, meliputi 5 kewenangan yakni, membuat kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. “Artinya (selama ini) kita hanya bicara mengenai kewenangan, bukan soal kewajiban,” kata Andri. “Efeknya, di beberapa kasus putusan di MK, pembahasannya hanya tentang hak apa.”
Karena itu, dia menilai, tafsir MK perlu dipertegas dengan sejumlah ketentuan hukum lainnya. Agar, frasa “dikuasai oleh negara” tidak dimaknai sebatas hak memiliki negara atas sumber daya alam tanpa disertai kewajiban.
Andri mencontohkan, UUD 1945 pasal 33 ayat 4 menyebut perekonomian nasional diselenggarakan dengan prinsip, efisiensi berkeadilan, keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Selain itu, pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyatakan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia.
Kewajiban lainnya, dia menambahkan, juga tertulis dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 3 UU itu, mewajibkan pemerintah untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Andri percaya, pasal-pasal tersebut, secara implisit menyiratkan kewajiban negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak warga negara. Juga, tanggung jawab untuk menjamin keberlanjutan dan kesehatan lingkungan hidup.
“Saya ingin dorong bahwa pasal 33 ayat 3, pasal 33 ayat 4, dan pasal 28 H itu melahirkan tanggung jawab negara, yang kalau di negara lain itu (disebut) public trust,” katanya ketika diwawancarai Mongabay. (***)
Menyoal Pemulihan Ekosistem dalam Hukum Lingkungan di Indonesia