- Tak hanya mampu mengurangi pencemaran perairan akibat limbah cair maupun padat di tempat pendaratan, penerapan konsep pelabuhan ramah lingkungan atau ecofishingport juga bisa meningkatkan kepercayaan pasar global.
- Setiap tahunnya ada lebih dari 8 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Mirisnya, pelabuhan perikanan yang seharusnya bisa menjadi salah satu percontohan ternyata masih banyak yang belum mampu mengelola sampahnya sendiri.
- Sesuai regulasi, pelabuhan perikanan berdasarkan Permen KP Nomor 08 Tahun 2012 tentang Kepelabuhan Perikanan diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu PPS, PPN, PPP, dan PPI.
- Perlu penanganan serius untuk menuju pelabuhan yang berwawasan lingkungan dengan parameter yaitu aspek lingkungan fisik, aspek sosial ekonomi, serta aspek kelembagaan dan pengawasan.
Konsep pelabuhan perikanan berwawasan ramah lingkungan dinilai belum banyak diterapkan di Indonesia. Padahal, tak hanya mampu mengurangi pencemaran perairan akibat limbah cair maupun padat di tempat pendaratan ikan itu sendiri.
Namun, penerapan konsep yang dikenal dengan ecofishingport ini juga bisa meningkatkan kepercayaan pasar global terhadap hasil produksi perikanan tangkap di Indonesia yang menghendaki keamanan pangan yang tinggi.
Hal ini diungkapkan Retno Muninggar, Dosen Pusat Studi Teknologi Perikanan Laut, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), saat dihubungi Mongabay baru-baru ini.
Menurut Enno, sapaan akrabnya, pasar global menginginkan itu karena warganya sudah banyak yang sadar perihal jaminan mutu produk perikanan tangkap.
Jaminan mutu ini menjadi penting, lanjutnya, karena mereka juga menyadari bahwa kondisi perairan laut saat ini memang sedang tidak baik-baik saja, alias sudah tercemar oleh berbagai limbah, termasuk sampah plastik.
Mengacu dari berbagai sumber, setiap tahunnya ada lebih dari 8 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Mirisnya, pelabuhan perikanan yang seharusnya bisa menjadi salah satu percontohan ternyata masih banyak yang belum mampu mengelola sampahnya sendiri. Akhirnya pelabuhan perikanan ini juga turut berkontribusi terhadap pencemaran laut.
“Mestinya pelabuhan perikanan ikut serta melakukan pencegahan, bahkan melakukan perbaikan lingkungan dengan cara menerapkan konsep pelabuhan perikanan berwawasan lingkungan,” kata dia.
Baca : KKP Kembangkan Pelabuhan Perikanan Ramah Lingkungan dan Perubahan Iklim
Enno contohkan, di Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman (PPSNZ) Jakarta misalnya, sebagai salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia yang mestinya bisa menjadi percontohan konsep ecofishingport.
Namun, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa nilai skor untuk aspek lingkungan pelabuhan perikanan yang ada di Jakarta Utara itu skornya masih 0,63. Sedangkan skor aspek sosial ekonomi 0,27, skor aspek hasil tangkapan 0,40, skor aspek kelembagaan dan pengawasan yaitu 0,50.
“Nilai indeks ecofishingport Nizam Zachman yaitu 1,77 yang artinya perlu ditingkatkan lagi,” ujar dia, yang dalam pengumpulan data penelitiannya menggunakan metode purposive dan accidental sampling ini.
Belum Terkelola Maksimal
Selain sampah plastik, ia juga mendapati adanya limbah cair dari berbagai aktivitas yang dilakukan di kolam pelabuhan seperti pembuangan air ballast, sampah dan minyak dari mesin kapal, aktivitas pembersihan kapal, maupun dari IPAL yang tidak terkelola maksimal.
Dihubungi terpisah, Kukuh Eko Prihantoko, dosen pengampu mata kuliah Pelabuhan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro menyampaikan, mengacu pada regulasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 08 Tahun 2012 tentang Kepelabuhan Perikanan itu diklasifikan menjadi empat kelas.
Diantaranya adalah kelas A untuk Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), kelas B untuk Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), kelas C untuk Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan kelas D untuk Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).
Baca juga : Pencemaran Limbah Padat Ancam Pelabuhan Perikanan
Pada level PPS dan PPN, jelas Kukuh, keberadaan IPAL dalam aturan ini sudah sangat ditekankan atau sudah menjadi hal wajib sebagai fasilitas fungsional. Selain itu, fasilitas tempat pembuangan sampah diberbagai tipe pelabuhan ini sebenarnya juga sudah disediakan.
Akan tetapi, menurutnya kesadaran masyarakat pengguna seperti nelayan, pedagang ikan, maupun warga pengguna lainnya ini yang masih rendah dalam menjaga kebersihan. Sehingga tak hanya merusak pemandangan, rendahnya kesadaran akan kebersihan ini juga dapat menimbulkan bau yang tidak sedap di pelabuhan.
“Di Pelabuhan Perikanan Rembang misalnya, kapal-kapal pengguna cantrang itu kan menyimpan ikan hasil tangkapannya dalam plastik-plastik. Begitu bongkar umumnya plastiknya ini dibuang ke perairan. Nah ini menimbulkan problem,” katanya.
Kukuh melanjutkan, kasus serupa juga ia temukan ketika melakukan kajian di PPN Pekalongan.
Selain sampah plastik yang digunakan untuk pembungkus ikan, sampah bekas pakai alat tangkap atau sisa-sisa material untuk perbaikan alat tangkap ikan banyak juga yang dibuang tidak pada tempatnya.
Dari kajian yang pernah dilakukan itu ia mendapati kurang ketatnya pengawasan pelabuhan terhadap nelayan yang berpotensi membuang sampah yang dihasilkan dari perbekalannya ke laut.
“Terkait limbah sampah yang dihasilkan di kapal perikanan ini masih perlu penanganan lebih maksimal. Karena faktanya, ketika nelayan pulang tidak ada monitoring lagi terkait potensi sampah dari perbekalannya ini. Bisa jadi mereka buang ke laut,” jelasnya.
Digagas 10 Tahun lalu
Proses untuk melaksanakan pembangunan pelabuhan berwawasan lingkungan sebenarnya sudah dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak 2014 atau sepuluh tahun lalu.
Sejak saat itu, pembuatan konsep yang tepat terus dilakukan, bersama The Agence Francaise de Development (AFD), KKP memilih empat pelabuhan sebagai percontohan, diantaranya adalah PPS Belawan di Medan, PPS Cilacap, PPS Kendari, dan PPS Bitung.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP saat itu, Muhammad Zaini menjelaskan dengan konsep eco fishing port, fasilitas di pelabuhan perikanan diharapkan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat perikanan. Selain itu juga menerapkan standar ketertelusuran hasil tangkapan ikan, dan mutu yang berdampak pada kegiatan ekspor produk perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya juga menyebut, pelabuhan perikanan mendapatkan perhatian khusus dalam program kerja KKP 2021-2024.
Selain aspek higienitas dan aspek esensial lainnya yang dinilai mampu mendorong upaya peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap, aspek manajemen kepelabuhan yang mencakup alur, lalu lintas, serta keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga mendapat perhatian khusus.
Hendra Wiguna, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) menilai, selain masih banyak dijumpai pelabuhan perikanan baik sekala kecil maupun besar yang masih belum higienis, fungsi pelayanan administrasi untuk nelayan juga kurang. Akibatnya nelayan, khususnya nelayan skala kecil masih kesulitan mengakses Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, kasusnya seperti di Semarang.
Tak hanya itu, Hendra juga menyoroti bagaimana kondisi pelabuhan perikanan yang minim akses air bersih. Selain itu, sanitasinya juga kurang memadai. Disisi lain, adanya penurunan tanah dan kenaikan air laut menurut dia juga menjadi tantangan tersendiri.
“Untuk itu, perlu adanya sabuk pengaman hijau atau mangrove yang bisa memperkuat kondisi pelabuhan perikanan dari ancaman tersebut,” tuturnya.
Dengan adanya mangrove fungsinya tidak hanya sebagai perlindungan, namun juga bisa menjadi sarana pendukung konsep pengelolaan pelabuhan perikanan yang berwawasan lingkungan.
Sebagaimana tercantum dalam Kepmen KP Nomor 109 Tahun 2021 tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional dijelaskan bahwa pelabuhan perikanan yang telah menyediakan fasilitas dasar, pengembangan diarahkan pada penerapan prinsip ecofishingport.
Parameter standarnya terdiri aspek lingkungan fisik, aspek sosial ekonomi, dan aspek kelembagaan dan pengawasan. Disamping itu, upaya pengendalian lingkungan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam pasal 41 ayat (1). (***)
Apakah Mungkin Pelabuhan di Indonesia Bisa Ramah Lingkungan?