- Rencana pemerintah bangun megaproyek pembangkit listrik tenaga air di Kayan, Kalimantan Utara, sepintas bak kabar baik bagi peningkatan energi terbarukan. Kalau menilik lebih jauh lagi, hampir 200.000 hektar kawasan hutan yang menjadi rumah bagi masyarakat adat dan keragaman hayati termasuk satwa endemik Kalimantan, bakal terdampak. Berbagai kalangan pun khawatir risiko kerusakan ekosistem dan ruang hidup masyarakat adat terampas oleh proyek energi ‘hijau’ ini.
- PLTA Kayan merupakan proyek yang digagas pemerintah sejak 2012, sebelumnya masuk dalam proyek strategis nasional. Dengan kapasitas terpasang mencapai 9.000 MW, proyek ini digadang terbesar di Asia Tenggara. PLTA Kayan akan dibangun dengan membendung aliran Sungai Kayan sepanjang 576 kilometer dan bermuara di Selat Sulawesi. Konstruksi bendungan di lima titik dengan tinggi bendungan 85-125 meter, nyaris setara Monas di Jakarta.
- Yohanes, Ketua Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltara, mengatakan, sedkitnya ada lima desa terdampak langsung proyek ini karena tepat berada di area genangan bendungan. Kelima desa itu adalah Long Pelbab, Muara Pangean, Long Yin, Long Lian, dan Long Buang. Jumlah itu belum termasuk desa di hilir yang juga turut terdampak tidak langsung.
- Proyek ini, makin tak adil dengan rencana relokasi warga dan penenggelaman desa-desa tempat masyarakat adat tinggal. Selama bertahun-tahun mereka tak teraliri listrik, kini mereka malah ‘dipaksa’ pergi untuk pembangunan PLTA yang listrik akan dipakai memasok kawasan industri.
Rencana pemerintah bangun megaproyek pembangkit listrik tenaga air di Kayan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, sepintas bak kabar baik bagi peningkatan energi terbarukan. Kalau menilik lebih jauh lagi, hampir 200.000 hektar kawasan hutan yang menjadi rumah bagi masyarakat adat dan keragaman hayati termasuk satwa endemik Kalimantan, bakal terdampak. Berbagai kalangan pun khawatir risiko kerusakan ekosistem dan ruang hidup masyarakat adat terampas oleh proyek energi ‘hijau’ ini.
PT Kayan Hydro Energy (KHE), selaku pelaksana proyek sedang mencari investor baru pasca Sumitomo hengkang dari proyek ini. “Kalau sebelumnya dengan Sumitomo, kami masih akan mencari (investor), setidaknya yang setara,” kata Steven Kho, Komite Eksekutif KHE, di Bulungan, Kaltara, belum lama ini, seperti dikutip dari media ini.
PLTA Kayan merupakan proyek yang digagas pemerintah sejak 2012, sebelumnya masuk dalam proyek strategis nasional. Dengan kapasitas terpasang mencapai 9.000 MW, proyek ini digadang terbesar di Asia Tenggara.
PLTA Kayan akan dibangun dengan membendung aliran Sungai Kayan sepanjang 576 kilometer dan bermuara di Selat Sulawesi.
Konstruksi bendungan di lima titik dengan tinggi bendungan 85-125 meter, nyaris setara Monas di Jakarta.
Dalam perjalanan, rencana proyek ini memicu kontroversi. Proyek ambisius dengan nilai lebih US$17 miliar atau setara Rp300 triliun ini berisiko berdampak luas baik, sosial, ekonomi dan ekologis.

Dengan luas mencapai 184.200 hektar, sebagian masuk kawasan hutan akan mengancam keanekaragaman hayati seperti spesies endemik orangutan, monyet ekor panjang, dan lain-lain. Belum lagi, kawasan itu juga ruang hidup masyarakat adat.
Laporan Nugal Institute dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menyebutkan, proyek ini akan menenggelamkan enam kampung di hulu Sungai Kayan. Opsi relokasi masyarakat tanpa musyawarah.
“Proyek ini sebagai bentuk penghancuran terhadap tradisi, budaya, serta sumber penghidupan masyarakat adat,” tulis laporan itu.
Yohanes, Ketua Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltara, mengatakan, sedkitnya ada lima desa terdampak langsung proyek ini karena tepat berada di area genangan bendungan. Kelima desa itu adalah Long Pelbab, Muara Pangean, Long Yin, Long Lian, dan Long Buang.
Jumlah itu belum termasuk desa di hilir yang juga turut terdampak tidak langsung. “Di wilayah ini terdapat makam leluhur dari Kesultanan Bulungan yang dikeramatkan warga, yakni Lahai Bara,” katanya.
Selama ini, listrik di lima desa itu belum masuk. Diesel-diesel bertenaga solar kelolaan masyarakat menjadi sumber penerangan saat malam hari. Kini, warga di lima desa itu harus membayar mahal demi memasok listrik ke kawasan industri hijau. Padahal, sebelumnya, mereka juga sempat mengajukan pengakuan hutan adat, kendati tak kunjung terkabul.
Yohanes mempertanyakan alasan pemerintah yang tidak menggunakan energI surya sebagai sumber. Opsi ini, dia nilai lebih adil karena tidak membawa dampak signifikan di masyarakat. “Kawasan industri itu kan sangat luas, sampai ke pantai. Artinya, itu bisa untuk tenaga surya, dampak ke masyarakat juga minim.”
Melihat kengototan pemerintah, dia mencurigai ada agenda lain dari rencana pembangunan PLTA ini. Apalagi, kawasan PLTA itu merupakan pegunungan karst yang bisa jadi bahan baku industri semen.

Rampas ruang hidup masyarakat adat
Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti agraria Sayogjo Instite, mengkritik rencana yang disebut sebagai upaya sistemik mencerabut ruang masyarakat adat. Dia bilang, hubungan masyarakat adat dengan alam adalah hubungan kompleks dan berlapis.
“Tidak terbatas pada hubungan ekonomi semata. Ada hubungan sosial-budaya serta ekologi. Bahkan, hubungan religio-magic, hubungan-hubungan yang bersifat spiritual,” kata Eko ketika dihubungi 17 September lalu.
Dia contohkan, hubungan Masyarakat Adat Papua yang menganggap tanah adalah “ibu”. Lantas, ketika hubungan itu hilang dan terputus, permasalahan bukan hanya soal satu tegakan kayu atau pohon yang hilang, juga ritual atau budayanya.
“Hutan itu, juga apotek hidup, pengetahuan tentang obat juga hilang ketika hutan hilang. Sistem mereka hilang, ritual-ritual hilang,” katanya.
Jadi, klaim ganti rugi jelas bukan skema adil bagi mereka. Apalagi, dipindah dari kampung.
Secara etnografi, masyarakat adat memiliki wilayah turun menurun dari leluhur. Bila harus memindahkan mereka, seyogyanya sesuai siklus perpindahan yang berlaku turun temurun.
Seny Ahmad, dari Nugal Institute, mengatakan, sejak awal, PLTA Kayan untuk memasok energi kawasan industri di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Secara ekologis, proyek ini akan berdampak terhadap keseimbangan ekosistem di Sungai Kayan.
Seny mengatakan, ekosistem Kayan bagian dari identitas masyarakat adat di sana. Sungai ini juga habitat bagi spesies ikan yang oleh masyarakat sebagai ikan dewa. Habitatnya, tepat di jiram-jiram Sungai Kayan. Jiram adalah bahasa lokal Masyarakat Kayan untuk jeram.
Jadi, katanya, rencana relokasi warga sebagaimana terungkap dalam dokumen perusahaan bukanlah solusi.
Proyek ini, makin terasa tak adil dengan rencana relokasi warga dan penenggelaman desa-desa tempat masyarakat adat tinggal. Pasalnya, selama bertahun-tahun mereka tak dialiri listrik, kini mereka ‘dipaksa’ pergi untuk pembangunan PLTA yang listrik akan dipakai memasok kawasan industri.
“Kalau itu ditenggelamkan, ya tamat-lah. Sama saja (seperti) memutus dia (masyarakat), dengan ruang produksinya,” katanya.
Eko mengatakan, keterancaman masyarakat di sekitar Sungai Kayan adalah potret bagaimana lemahnya perlindungan warga atas proyek-proyek pemerintah bahkan berlabel hijau sekalipun. Atas nama proyek strategis nasional (PSN), pemerintah dengan mudah merampas hak dasar masyarakat adat.
Situasi itu, tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Ibu Kota Nusantara (IKN), sekitar 650 kilometer dari kawasan industri ini.
Masyarakat harus menanggung beban lebih berat sejak ada proyek ini.
Klaim pemerintah, pembangunan untuk kepentingan masyarakat, yang terjadi justru sarat ketidakadilan. “Pertanyaan besarnya, untuk siapa proyek-proyek itu, termasuk IKN?”
Dia bilang, ada cara sederhana mengukur apakah proyek untuk masyarakat atau tidak. “Orang yang paling dekat dengan pembangunan itu makin sejahtera, makin aman, makin nyaman atau tidak? Jangan yang lain-lain dulu….”

Bagi Eko, penting memastikan pelaksanaan proyek berlangsung secara adil berdasarkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini, katanya, termasuk di dalamnya penghormatan terhadap dimensi hak asasi manusia (HAM), keberlanjutan, kelestarian, serta dimensi pemenuhan-pemenuhan hak dasar lainnya
“Kehati-hatian itu sebenarnya diatur di dalam banyak kebijakan pembangunan, misal, ada yang namanya pembangunan ramah HAM, pembangunan sensitif konflik, pembangunan hormat manusia, ada yang hormat masyarakat lokal. Diatur itu, banyak cara,” katanya.
Ada juga aspek pemenuhan human security yang tercermin dari lima syarat, yakni, politik, ekonomi, environment (lingkungan), health (kesehatan), dan food (pangan). “Itu mekanisme yang harusnya ditaati dalam pembangunan, kaidah-kaidah pembangunan yang hormat HAM.”
Eko bilang, seringkali pembangunan hanya menggunakan pendekatan materialistik. Indikator lain, kebahagiaan tidak masuk sebagai tolok ukur. Padahal, narasi pembangunan pemerintah, justru acapkali melahirkan kesengsaraan bagi warga.
Dia pun menantang pemerintah memasukkan kebahagaiaan sebagai indikator pembangunan.
“Mau nggak, pembangunan kita, apapun itu, juga memasukkan dimensi happiness (kebahagiaan). Jangan-jangan, model-model pembangunan (di Indonesia), yang mengabaikan unsur-unsur HAM, unsur-unsur keberlanjutan, keadilan, sosial, itu diabaikan.”
******
Bupati Bulungan Evaluasi Izin Megaproyek PLTA Kayan, Pemasok Listrik IKN