- Dua periode kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, rupanya tidak hanya menghasilkan kebijakan perikanan yang protektif. Melalui kendali dia, sektor kelautan dan perikanan (KP) juga menghadapi tantangan yang tidak mudah
- Bahkan, periode kedua kepemimpinan Joko Widodo, sektor KP dinilai menjadi sektor yang menganakemaskan pelaku usaha dengan modal besar. Mereka seolah diberikan karpet merah untuk terus melebarkan sayap bisnisnya di laut dan pesisir
- Perubahan pada periode kedua, terlihat karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuka pasar perikanan tangkap dengan diperbolehkannya investasi di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia
- Sayangnya, perhatian pada spesies kritis masih belum dilakukan dengan serius oleh Pemerintah Indonesia. Padahal, saat spesies laut dinyatakan hilang atau punah, maka akan muncul dampak yang lebih luas dan serius
Tata kelola perikanan menjadi salah satu fokus yang berjalan selama sepuluh tahun Pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Periode yang berjalan selama 2014-2024 itu, dinilai sudah menghasilkan kebijakan perikanan yang protektif.
Demikian diungkapkan Manajer Hak Asasi Manusia Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Miftachul Choir kepada Mongabay. Dia menyebutkan, kebijakan seperti moratorium kapal eks asing dan alih muat kapal (transhipment) menjadi contoh yang patut untuk diapresiasi oleh semua pihak.
Selain itu, ada juga kebijakan tentang daftar negatif investasi (DNI), dan pelarangan kapal ikan asing (KIA) masuk ke wilayah perairan Indonesia dengan melaksanakan pengawasan yang ketat. Menurutnya, itu menjadi upaya nyata untuk memperbaiki perikanan dan ekologi laut.
“Semua itu terjadi pada periode pertama kepemimpinan Joko Widodo dari 2014 sampai 2019,” ucapnya.
Namun pada periode kedua, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kemudian berubah haluan dengan membuka pasar perikanan tangkap yang dibuktikan dengan diperbolehkannya investasi di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Pengelolaan investasi pada ZEE Indonesia itu kemudian dijabarkan melalaui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan penerapan pungutan hasil perikanan pascaproduksi.
Perubahan haluan sejak lima tahun terakhir itu, dinilai menjadi pemicu semakin banyaknya kapal ikan berukuran besar yang beroperasi di laut Indonesia dan berhasil mengumpulkan tangkapan ikan dengan jumlah yang banyak.
Sayangnya, peningkatan jumlah kapal ikan berukuran besar tersebut diduga kuat diikuti dengan penerapan praktik kerja paksa kepada awak kapal perikanan (AKP). Fakta tersebut bertolak belakang dengan janji pemerintah untuk mengedepankan nelayan kecil dan kapal tradisional.
Baca : Penangkapan Ikan Terukur Dijanjikan Mulai Beroperasi Per 1 Januari 2025

Penangkapan Ikan Terukur
Miftachul menjelaskan, pemerintah selalu menggaungkan janji untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan pada praktik bisnis. Salah satunya, melalui kebijakan PIT yang akan dimulai pada 1 Januari 2025 mendatang.
Kebijakan tersebut dengan nyata memberi karpet merah kepada pelaku usaha bermodal besar yang bisa mengoperasikan kapal ikan berukuran besar di laut. Melalui PIT, wilayah laut ditutup dan konsensinya diberikan kepada korporasi atau menjalankan privatisasi.
“Pemerintah menganggap laut dipenuhi oleh kapal-kapal tradisional dan lokal sehingga bertanggungjawab dalam merusak lingkungan laut, sehingga lebih baik diberikan kepada mereka yang memiliki alat produksi lebih efektif, yaitu pengusaha,” terangnya.
Jadi, walau ada klaim dari KKP bahwa PIT akan menjadi bentuk upaya perwujudan perikanan berkelanjutan, dia menilai kalau itu masih abu-abu. Keberhasilan bisa dicapai, dengan syarat ada keterlibatan substansial dan bermakna dari nelayan tradisional.
“Jika tidak ada, maka sulit dibayangkan dapat terjadi,” tambahnya.
Menurutnya, mewujudkan praktik dan tata kelola perikanan berkelanjutan di Indonesia memang menjadi tugas dari pemerintah dengan merangkul para pihak yang berkepentingan. Tetapi, kewajiban tersebut harus menghadapi tantangan yang sangat besar.
Termasuk, tantangan bias darat dalam menyelesaikan permasalahan di laut, yang jelas kondisinya sangat berbeda. Cara pandang tersebut memicu ketiadaan anggaran, program, sumber daya manusia, dan institusi kelembagaan yang memadai untuk menyelesaikan masalah kelautan.
Khusus tentang SDM, dia menilai kalau sampai saat ini juga masih sangat terbatas. Penilaian itu merujuk pada fakta bahwa isu kelautan dan perikanan masih dianggap sangat sektorial dan hanya kelompok yang bergerak di isu ini yang berani berbicara.
Hal itu yang membuat isu kelautan jarang dibahas dalam gerakan pro-demokrasi dan HAM. Meskipun, isu kelautan dapat dibingkai dalam kerangka perampasan sumber daya yang terjadi akibat keterbukaan pasar di Indonesia, khususnya pasca UU Cipta Kerja (UUCK) berjalan.
Walau ada potensi yang dinilai masih abu-abu, namun Miftachul tetap melihat upaya dari pemerintah untuk memaksimalkan potensi perikanan melalui PIT. Upaya itu salah satunya agar sektor KP bisa berkontribusi maksimal untuk mewujudkan visi Indonesia Emas pada 2045 mendatang.
Dia menilai, upaya tersebut berjalan saat tren global di dunia saat ini memperlihatkan penurunan stok ikan yang diakibatkan oleh praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, melanggar aturan (IUUF), dan industrialisasi.
“Hal ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, terutama apabila industri perikanan digenjot produksi dan pertumbuhannya serta dikuasai oleh segelintir orang,” jelasnya.
Baca juga : Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur

Secara bisnis, perikanan berkelanjutan ini juga akan berdampak pada peningkatan biaya operasional, yang pada akhirnya akan membuat pelaku usaha menekan biaya pekerja, dan mengurangi biaya untuk perlindungan lingkungan.
“Perlu mengedepankan recovery sumber daya dan ekologi kelautan, serta melibatkan secara penuh masyarakat terdampak, yakni masyarakat pesisir, dan pekerja perikanan,” pungkasnya menyebut catatan yang harus diperhatikan oleh Pemerintah.
Spesies Kritis
Terpisah, Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia Victor Nikijuluw mengungkapkan bahwa ada hal kritis yang sampai sekarang belum dilakukan di Indonesia. Dia menyadari bahwa upaya konservasi spesies yang bergantung pada habitat laut masih belum mendapat perhatian yang serius.
Demikian pula, konservasi sumber daya genetik masih belum berjalan optimal, karena pemetaan, identifikasi, dan studi terkait masih terbatas. Itu harus menjadi perhatian, karena setiap kali sebuah spesies hilang, akan muncul dampak lebih luas.
Jadi, tidak hanya sekedar kehilangan makhluk hidup saja, tetapi juga akan kehilangan sumber daya genetik, plasma nutfah, dan jutaan senyawa bioaktif yang belum sepenuhnya diketahui manfaatnya. Itu harus bisa menjadi perhatian pemerintah dan semua pihak terkait.
“Potensi besar yang terkandung dalam setiap spesies laut, baik dari segi farmasi, bioteknologi, hingga pemanfaatan ekosistem, belum sepenuhnya terungkap,” jelasnya.
Menurut dia, ketidaktahuan tersebut bisa mengakibatkan kerugian besar di masa depan, mengingat ada banyak peluang pemanfaatan yang mungkin dapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia.
Oleh karena itu, memperkuat konservasi spesies laut serta perlindungan terhadap keanekaragaman hayati tidak hanya penting untuk ekosistem, tetapi juga demi masa depan yang berkelanjutan dan inovasi yang belum terpikirkan saat ini.
Perlu dibaca : Konservasi di Sektor Kelautan dan Perikanan Berjalan Baik Sepuluh Tahun Ini?

Victor mengatakan, peran masyarakat dalam upaya konservasi melalui Tindakan Konservasi Berbasis Area yang Efektif Lainnya (OECM) juga sangat krusial. Mengutip koran Washinton Post terbitan 2023, dia menyebut kalau konservasi yang inklusif terbukti lebih efektif dalam melindungi ekosistem dan sumber daya alam (SDA).
“Namun, keterlibatan masyarakat harus diperkuat dan diatur dalam kebijakan pemerintah agar memiliki landasan yang jelas dan terstruktur,” ucapnya.
Sumber Daya Ikan
Menurut dia, banyak inisiatif konservasi masyarakat di Indonesia yang berbasis adat, kebiasaan, dan aturan formal sudah berjalan, namun dukungan dari Pemerintah masih sangat diperlukan. Tujuannya, untuk memastikan keberlanjutan upaya konservasi laut yang sudah ada, melindungi keanekaragaman hayati dan habitatnya, dan mengintegrasikan pengelolaan konservasi laut dengan sumber daya ikan (SDI) yang berkelanjutan
Tentang SDI, Pemerintah dinilai perlu memiliki pemahaman yang mendalam dan akurat mengenai potensi SDI, bahkan hingga tingkat spesies, karena setiap spesies memiliki nilai komersial yang berbeda. Kemudian, penting juga untuk menetapkan berapa banyak SDI yang dapat ditangkap secara berkelanjutan setiap tahunnya.
“Baik dari segi jumlah maupun kualitas ukuran yang konsisten, untuk menjaga keberlangsungan stok ikan tersebut,” tuturnya.
Selain itu, perlu ada juga pengkajian yang lebih dalam untuk menentukan dan membuktikan pentingnya konektivitas antara kawasan konservasi dan keberlanjutan SDI. Konektivitas itu memainkan peran penting dalam mendukung regenerasi sumber daya ikan dan menjaga keanekaragaman hayati laut.
Oleh karena itu, dia mengungkapkan bahwa penting untuk merumuskan kebijakan yang mengintegrasikan retribusi SDI untuk mendukung pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi. Langkah tersebut harus diawali dengan edukasi dan penyadaran kepada pemangku kepentingan.
“Tujuannya, agar mereka tahu dan paham bahwa SDI akan terus menurun dan bahkan habis jika kawasan konservasi tidak ada atau tidak berfungsi dengan baik,” jelasnya.
Baca juga : Sukses Lindungi 8 Spesies Langka, Program Konservasi Wallacea Sejahterakan Masyarakat Pesisir

Victor melanjutkan, dalam rancangan spasial perluasan kawasan konservasi 30 persen pada 2045, Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan kawasan-kawasan konservasi perairan yang ditujuan untuk perlindungan stok ikan yang utamanya berada pada kawasan perairan lepas pantai (offshore).
Ukuran kawasan yang dialokasikan cukup besar, bahkan bisa dikategorikan sebagai Large Scale MPA (LSMPA). LSMPA adalah kawasan konservasi laut yang memiliki ukuran sangat besar, mencakup ribuan kilometer persegi, yang memungkinkan perlindungan ekosistem laut secara menyeluruh.
Mengingat ukurannya yang sangat luas, LSMPAs dapat melindungi berbagai habitat kritis sekaligus, seperti terumbu karang, lamun, dan tempat pemijahan ikan. Selain itu, juga akan membantu proses migrasi spesies yang membutuhkan ruang besar.
Menurut dia, dengan memberikan ruang aman yang luas bagi ikan untuk berkembang biak dan tumbuh, LSMPAs mendukung regenerasi stok melalui spillover effect. Hal itu, akan membuat ikan bermigrasi dari kawasan konservasi ke perairan sekitarnya, serta memperkuat keberlanjutan perikanan dan kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut.
“Total luasan LSMPA atau offshore MPA yang dialokasikan dalam rancangan spasial perluasan kawasan konservasi mencapai lebih dari 60 persen,” terang dia.
Dia menjabarkan secara singkat bahwa itu adalah proses mengintegrasikan pengelolaan konservasi laut dengan SDI yang berkelanjutan, atau bisa disebut juga pendekatan proteksi-produksi (protection-production approach) yang bisa memaksimalkan target Pemerintah.
Lebih dari itu, peran lembaga riset seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan perguruan tinggi sangat penting untuk bisa memperbanyak penelitian yang menyoroti hubungan antar masing-masing kawasan konservasi dengan spesies komersialnya.
Penelitian tersebut tidak hanya akan memberikan data ilmiah yang diperlukan untuk mendukung kebijakan konservasi yang berbasis bukti, tetapi juga membantu dalam pengelolaan SDI yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Baca juga : Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen

Terus Memburuk
Senior Vice President dan Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany mengingatkan bahwa kondisi laut dan pesisir saat ini terus memburuk. Persoalan utamanya, adalah karena sampah plastik yang diakui dunia sebagai the deadliest predator of the sea.
Saat ini, hampir tidak ada pesisir yang bisa dikatakan benar-benar sehat, dan bahkan kawasan konservasi pun tak luput dari serangan bertubi-tubi oleh sampah plastik. Termasuk, ancaman pembangunan atas laut dan pesisir seperti tambang nikel atau emas, sampai mass tourism di kawasan Raja Ampat.
Begitu juga, dengan alih fungsi lahan menjadi kebun jagung di sekitar Teluk Saleh, Sumbawa, yang meningkatkan pencemaran dari run-off pestisida, yang memperburuk kondisi perairan melalui toksisitas dan eutrofikasi.
“Ini mengancam keberlanjutan ekowisata berbasis hiu paus dan kesejahteraan masyarakat lokal,” ungkapnya.
Agar tidak semakin memburuk, diperlukan penanganan masalah yang dimulai dari kebijakan yang lebih tegas dan terarah. Pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten, harus mengambil peran lebih aktif dalam membatasi penggunaan plastik.
Tanpa langkah tersebut, ekosistem laut yang coba dilestarikan akan terus terancam, dan akan semakin memengaruhi kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut. Karenanya, harus ada tindakan komprehensif yang mencakup regulasi, penguatan kampanye kesadaran publik, serta inovasi dalam penggunaan material alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Meizani optimis kalau perbaikan akan terus dilakukan, karena pemerintah sudah paham tentang pentingnya membuat inovasi dalam konservasi. Salah satunya, dengan meningkatkan pendanaan untuk kawasan konservasi, dan mengubah paradigma konservasi dari cost centre menjadi protection-production approach.
Contohnya Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Raja Ampat di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Lembaga tersebut menggunakan paradigma proteksi-produksi dalam mengelola laut, pengalihan utang untuk perlindungan alam (debt for nature swap), coral bond, blue carbon, atau coral insurance.
“Semua itu mengintegrasikan pengelolaan konservasi laut dengan sumber daya ikan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Meski demikian, dia tidak mengelak jika sampai sekarang masih ada kekurangan, bahkan ketiadaan keterlibatan sektor swasta dalam upaya konservasi. Padahal, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga internasional, mengingat isu-isu terkait laut bersifat lintas batas dan memerlukan keterlibatan multinasional.
Terakhir, dari sisi pemerintahan, dia menilai kalau konservasi sebaiknya menjadi tugas dan fungsi dari suatu eselon-1 tertentu. Jadi, sudah seharusnya KKP membentuk direktorat jenderal yang khusus mengelola konservasi perairan, agar bisa lebih fokus mengelola dan melestarikan sumber daya laut. (***)