- Rencana penambangan disusul kebijakan buka keran ekspor pasir laut membuat masyarakat pesisir di nusantara ini was-was. Di beberapa daerah—yang pernah ada tambang pasir laut—dampak masih masyarakat rasakan hingga kini.
- Jihan, perwakilan dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) DPD Surabaya tegas menolak tambang pasir laut yang dikemas dengan bahasa ‘pengelolaan sedimentasi’ itu. Di Surabaya, kebijakan itu terbukti menurunkan pendapatan nelayan. Ruang tangkap berkurang, pendapatan turun. Hasil melaut tak cukup untuk menutup biaya operasional.
- Tambang pasir laut lebih parah dari tambang darat. Di laut, tambang pasir akan memicu erosi lebih besar. Menambang di satu titik, dampak akan terasa di titik lain. Selain itu, tambang pasir laut juga akan membuat ekosistem rusak yang akhirnya mengganggu biota laut.
- Bangka Belitung (Babel) menjadi salah satu paling terdampak atas pembukaan kebijakan ekspor pasir laut ini. Ahmad Subhan Hafid, Direktur Walhi Babel menyebut, kebijakan ini seolah tidak memberi jeda provinsi ini dari industri ekstraktif, korupsi sumber daya, maupun konflik sumber daya.
Tri Ismuyati, perempuan pesisir Jepara, Jawa Tengah ini pernah terdampak kala perusahaan tambang mengeruk pasir laut di perairan tempat tinggalnya. Kendati tambang pasir laut sudah lama berhenti, masyarakat masih rasakan dampak sampai sekarang. Hingga kini, mereka masih sulit tangkap ikan.
“Terus terang saya masih trauma, apalagi makin ke sini laut makin mendekat ke pantai,” katanya.
Begitu mendengar kabar pemerintah kembali membuka ekspor pasir laut, dia pun was-was. Bagi Tri, kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor laut ibarat luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Perairan di sekitar Desa Bandungharjo, Jepara, Jawa satu lokasi yang dulu kena tambang untuk diambil pasirnya. Gara-gara itu, ikan-ikan sulit mereka dapat karena dasar laut rusak karena penambangan. Buntutnya, para nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan.
“Sebulan lalu saya mencoba mencatat pendapatan nelayan. Selama sebulan mereka libur lima kali. Sisanya, dari 25 hari melaut, tercatat hanya enam kali mereka mendapatkan ikan,” kata Tri dalam dikusi daring tengah bulan lalu.
Dia pun tidak bisa membayangkan dampak turunan kalau pemerintah buka lagi ekspor pasir. laut.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan membuka kembali ekspor pasir laut setelah lebih dari 20 tahun dilarang. Kebijakan itu tertuang dalam Permendag Nomor 21/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Protes atas kebijakan kontroversial ini juga datang dari warga Pulau Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan. Pada 2018, wilayah perairan itu pernah menjadi lokasi tambang pasir laut untuk proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) hingga memantik protes ribuan warga.
Muhammad Al Amin, Direktur Wahli Sulawesi Selatan (Sulsel) menyebut, penambangan pasir laut hanya mendatangkan mudarat lebih besar. Di negara tujuan, pasir laut untuk memperluas daratan baru, sedang di Indonesia, tak hanya ekosistem terdampak, juga masyarakat luas.
Tambang pasir laut lebih parah dari tambang darat. Di laut, tambang pasir akan memicu erosi lebih besar. Menambang di satu titik, dampak akan terasa di titik lain. Selain itu, tambang pasir laut juga akan membuat ekosistem rusak yang akhirnya mengganggu biota laut.
“Bayangkan saja, kalau pasir dikeruk, biota laut juga pasti hilang, kondisi dasar laut juga pasti berubah. Ketika pasir laut dikeruk, pasir di darat pasti akan cepat terkikis, bergeser untuk menutupi sediman yang dikeruk tadi.”
Dalam catatannya, ada sekitar 27 rumah di Galesong hancur karena tanah terus tergerus. “Ini fakta di daerah yang tidak pernah dilihat oleh orang Jakarta,” katanya.
Dampak lain yang tak kasat mata adalah potensi konflik. Bukan hanya antara warga pro dan kontra, juga dengan pemerintah atau pengusaha.
Alih-alih mengevaluasi, dalam banyak kasus, protes warga malah dijawab dengan mengkriminalisasi mereka.
Di Makassar, hampir semua wilayah perairan menjadi zona tangkap nelayan. Pemerintah sepertinya tidak mau belajar dan melihat situasi di lapangan. Itu terbukti dengan izin reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Makassar diikuti penambangan pasir oleh 15 perusahaan di Sulawesi Selatan.
“Pemerintah hanya melihat sebagai komoditas, tidak betul-betul mempertimbangkan dampaknya”.
Amin mengatakan, pasir laut bukanlah milik segelitir orang. Material itu adalah kompenen penting bagi ekosistem dan rumah bagi biota. Sebab itu, menjadikan sebagai komoditas dagang jelas sebagai bentuk pengingkaran peranan yang esensial.
“Hilangnya bioata akan menjadikan nelayan kehilangan mata pencaharian. Itulah mengapa banyak pemuda yang meningalkan pulau bekerja di luar. Karena laut tak lagi menjanjikan.”
Kecaman atas kebijakan kontriversial ini juga datang dari Lampung. Edy Santoso, Direktur Walhi Lampung bilang, saat sosialisasi 6 Juli 2023, dia dan masyarakat di pesisir menolak rencana tambang pasir laut, tetapi nihil.
“Mengapa kita tolak, karena itu tempat berlindung dan berkembang biaknya biota laut,” ujar Edy.
Terlebih, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1/2018 juga tidak memberi ruang bagi tambang pasir laut.
Ekonomi masyarakat pun, katanya, akan terdampak tambang pasir laut. Selama ini, beberapa wilayah Lampung terkenal sebagai penghasil rajungan terbesar di Indonesia, seperti Lampung Timur, Lampung Selatan, hingga Tulang Bawang.
Pada 2019-2020, Lampung bahkan berkontribusi 10-12% dari ekspor rajungan terbesar ketiga dengan nilai lebih Rp500 miliar.
“Seharusnya pemerintah bisa memaksimalkan potensi ini melalui pengelolaan wilayah pesisir berbasis potensi lokal, bukan sebaliknya. Pengerukan hanya akan berdampak pada perekonomian warga,” kata Edy.
Ada sekitar 4.000 warga rajungan dan 2.000 lainnya di industri pengolahan. Karena itu, kerusakan ekosistem laut karena tambang, akan membawa dampak turunan pada kehidupan mereka.
“Pembukaan ekspor pasir laut ini jelas merugikan mereka,” kata Edy.
Paling terdampak
Bicara wilayah, Bangka Belitung (Babel) menjadi salah satu paling terdampak atas pembukaan kebijakan ekspor pasir laut ini. Ahmad Subhan Hafid, Direktur Walhi Babel menyebut, kebijakan ini seolah tidak memberi jeda provinsi ini dari industri ekstraktif, korupsi sumber daya, maupun konflik sumber daya.
“Ada korupsi timah dengan kerugian Rp300 triliun lebih, hingga konflik perampasan ruang hidup, seperti di Rempang. Sekarang, ditambah lagi dengan kebijakan ekspor pasir laut, yang itu membuka lagi peluang baru korupsi di Babel,” terang Hafidz.
Hal lain, katanya, konsentrasi pasir laut di Babel dengan pasir laut di tempat lain. Pasir laut di Babel banyak mengandung timah, bahkan logam tanah jarang yang sangat dibutuhkan industri.
Sebab itu, mengekspor pasir adalah kecerobohan besar pemerintah.
Hafidz katakan, harus melihat Babel harus secara utuh sebagai kesatuan darat dan air. Luas Babel sekitar 8,1 juta hektar, dengan 6,7 juta hektar adalah wilayah perairan. Babel memiliki deretan pulau yang diperkirakan sudah muncul sejak 250 juta tahun lalu dan dikenal sebagai sabuk timah Asia Tenggara.
Limpahan sumber daya ini akhirnya justru menjadi beban berat bagi Babel. Sejak tiga abad silam, eksploitasi sumber daya alam mulai marak di Babel hingga menyebabkan kerusakan ekosistem darat dan laut Babel.
“Jutaan ton sisa limbah tailing sejak ratusan tahun lalu itu akhirnya mengendap di dasar pulau,” kata Hafidz.
Selama ini, katanya, tambang di perairan Babel menyebabkan berbagai kerusakan. Tercatat ada sekitar 485.000 warga dengan pendapatan menurun karena pencemaran.
Situasi itu, akhirnya memicu konflik antara masyarakat dengan penambang lokal.
Selain mencemari perairan, tambang masif di peraritan Babel juga menyebabkan terumbu karang rusak. Catatannya, ada 12.000 hektar terumbu karang rusak parah, 5.700 hektar mati. Padahal, selama ini, kawasan itu rumah bagi biota laut di Babel, seperti pesut dan dugong.
Kondisi itu juga diperparah dengan kerusakan hutan mangrove di Babel. Saat ini, katanya, luasan hutan mangrove di Babel tinggal 33.000 hektar. Angka itu turun drastis dari tahun 1993 yang tercatat seluas 273.000 hektar.
Senada dengan Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur. Dia meminta, pemerintah membatalkan keputusan membuka kembali ekspor pasir laut. Selain merusak ekosistem, juga berisiko memicu konflik di masyarakat.
Tambang pasir laut pernah ada di Surabaya 2010-2012 oleh PT. Gora Gahana. Kegiatan itu pada setop menyusul gelombang protes warga.
Wahyu menilai, pembukaan kembali ekspor pasir laut akan menghancurkan ruang hidup dan bencana bagi masyarakat pesisir. “Ini hanya akan menambah beban para nelayan dan kiamat kecil bagi masyarakat pesisir,” katanya.
Jihan, perwakilan dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) DPD Surabaya tegas menolak tambang pasir laut yang dikemas dengan bahasa ‘pengelolaan sedimentasi’ itu.
Di Surabaya, kebijakan itu terbukti menurunkan pendapatan nelayan. “Ruang tangkap berkurang, pendapatan turun. Hasil tak cukup untuk menutup biaya operasional.”
Muhammad Karim, peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi, mengatakan, pembukaan ekspor pasir laut melahirkan dua model perampasan oleh negara. Pertama, perampasan ruang laut. Kedua, perampasan sumber daya.
Karim mengatakan, perampasan ruang karena lokasi pasir laut berada di pesisir, perairan serta pulau-pulau kecil. “Kalau pasir disedot, tentu ruang akan berubah hingga geomorfologi juga berubah. Arus, gelombang, dinamika oceanografi juga berubah.”
Sedangkan perampasan sumber daya, karena habitat dan ekosistem rusak.
Karim pun menyangsikan, narasi bahwa kebijakan ekspor pasir laut akan mensejahterakan nelayan.
Dia contohkan, kerusakan ekosistem di Riau sebagai dampak tambang pasir laut masa lalu jadi bukti. “Setelah 20 tahun, nelayan di Riau belum pulih sampai sekarang. Mereka hanya dapat kompensasi Rp300.000 dan sembako. Apa itu cukup?”
Karim bilang, ada dua proses sedimentasi di perairan, yakni, alami dan akibat ekstravisme di daerah hulu. Untuk itu, membuka tambang di laut bukan solusi. Apalagi, katanya, menjualnya ke luar negeri. “Yang harus pemerintah lakukan, kata Karim, memperbaiki tata kelola di hulu.”
******
Kabar Rencana Penambangan Pasir Laut Khawatirkan Warga Pesisir Demak