- Bagi masyarakat Mbaham Matta, Fakfak, Papua Barat, burung memiliki arti penting dalam kehidupan mereka. Masyarakat menjadikan suara burung sebagai pertanda cuaca, aktivitas sosial, maupun simbol-simbol tertentu.
- Burung kasuari gelambir ganda [Casuarius casuarius], misalnya, dapat menjadi penunjuk jalan ketika tersesat di hutan.
- Masyarakat juga menjadikan bubut pini [Ivory-billed coucal] sebagai penanda untuk melubangi alat musik tradisional tifa tumour.
- Selain penandaan aktivitas sosial, masyarakat adat Mbaham Matta menjadikan beberapa burung sebagai simbol tertentu. Contoh, cenderawasih dan kasuari sebagai lambang keindahan dan kepemimpinan.
Bagi masyarakat Mbaham Matta, Fakfak, Papua Barat, burung memiliki arti penting dalam kehidupan mereka. Masyarakat menjadikan suara burung sebagai pertanda cuaca, aktivitas sosial, maupun simbol-simbol tertentu.
Burung kasuari gelambir ganda [Casuarius casuarius], misalnya, dapat menjadi penunjuk jalan ketika tersesat di hutan. Masyarakat juga menjadikan bubut pini [Ivory-billed coucal] sebagai penanda untuk melubangi alat musik tradisional tifa tumour.
Proses melubangi tifa dengan alunan suara burung bubut pini, akan membuat bunyi alat musik semakin nyaring.
“Burung itu kan suaranya ‘buk, buk, buk’ dalam bahasa Lha, kami artikan ‘otak-otak terbukalah’. Jadi detik-detik dia berkicau itu tifa dilubangi, diyakini bunyinya akan nyaring,” ujar Fredrikus Warpopor, tokoh budaya Fakfak, saat peluncuran buku “Burung-burung dalam Tinjauan Budaya Mbaham Matta, Fakfak”, di Jakarta, Jumat [11/10/2024].
Buku yang melibatkan 15 fotografer Fakfak Birding ini, berhasil mendokumentasikan lebih dari 70 jenis burung di Cagar Alam Fakfak, Papua Barat, sejak tahun 2020. Buku ini dinarasikan dalam empat bahasa yakni Inggris, Indonesia, dan dua bahasa adat.
Baca: Tarian Memikat Cendrawasih Botak Menaklukkan Pasangan
Menurut Fredrikus, selain penandaan aktivitas sosial, masyarakat adat Mbaham Matta menjadikan beberapa burung sebagai simbol tertentu. Contoh, cenderawasih dan kasuari sebagai lambang keindahan dan kepemimpinan.
Sementara, burung dengan nama lokal wakiong [kakatua raja] menjadi simbol kebijaksanaan. Oleh masyarakat setempat, mahkotanya disebut syong, yang dalam bahasa Lha berarti menimba.
“Syong dimaknai sebagai upaya menimba ilmu dan pengetahuan.”
Buku ini diharapkan dapat mempertegas pengetahuan budaya masyarakat setempat. Sebab, selama ini, sejumlah jenis burung yang terdapat pada nyanyian maupun cerita rakyat, belum banyak disaksikan secara langsung.
“Dalam nyanyian, anak-anak bahkan saya, tidak tahu jenis burungnya,” jelasnya.
Baca: Menikmati Ragam Pangan Fakfak
Edukasi perlindungan ekosistem
Meizani Irmadhiany, Senior Vice President & Executive Chair Yayasan Konservasi Indonesia, mengatakan Kabupaten Fakfak memiliki ekosistem penting sebaran burung, mulai dari pegungungan hingga pesisir.
Di kabupaten ini terdapat sekitar 138 spesies burung dengan beberapa spesies ikonik seperti kasuari, rangkong dan cenderawasih. Burung-burung tersebut, kpunya peran melestarikan ekosistem hutan, dengan cara mengendalikan hama dan menebar benih.
“Fungsi-fungsi ekosistem tersebut berkaitan langsung dengan tutur budaya di Fakfak. Dari lagu, cerita turun-temurun tentang alam, binatang, juga spesifik tentang burung,” terangnya.
Buku dapat menjadi alat untuk merawat ingatan kolektif masyarakat, serta membuat kearifan lokal jadi lebih relevan dengan zaman.
“Dengan begitu, masyarakat dapat memahami keterancaman populasi burung yang tentunya berdampak pada keberlanjutan budaya dan kehidupan mereka.”
Baca juga: Kasuari, Burung Purba Penjaga Hutan Papua
Ady Kristanto, fotografer alam liar menilai, publikasi buku dapat memperkaya referensi tentang burung yang diproduksi masyarakat lokal. Sebab, selama ini, penerbitan buku banyak dilakukan fotografer luar negeri.
“Pelibatan fotografer dalam program konservasi, juga dipercaya akan meningkatkan minat dan partisipasi mereka dalam topik-topik keanekargaman hayati.”
Praktik-praktik itu, menurutnya, sebagai bentuk partisipasi pehobi foto dalam menyebarkan informasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Serta, menunjukkan pemahaman bahwa degradasi lingkungan dan kepunahan spesies, akan memberangus objek fotografi.