- Sumatera Selatan [Sumsel] adalah produsen kopi terbesar di Indonesia. Pada 2023 dihasilkan 198 ribu ton kopi dari Sumsel. Kopi tersebut salah satunya berasal dari Semende.
- Bagi masyarakat Semende, kopi bukan hanya sebagai sumber ekonomi, juga sebagai bagian dari identitas. Kebun kopi melalui hukum adat Tunggu Tubang dikelola oleh perempuan.
- Kopi kali pertama ditanam di Semende sejak awal abad ke-20. Dulu, kopi terkenal dari Semende bernama ‘kopi gerudag”.
- Perkebunan kopi di Semende diselamatkan skema Pehutanan Sosial [PS], sebab hampir semua perkebunan kopi milik masyarakat berada di hutan milik negara.
Sumatera Selatan [Sumsel] adalah produsen kopi terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] Tahun 2023, Sumsel menghasilkan 198 ribu ton dari total produksi nasional sekitar760 ribu ton. Produksi ini berasal dari kebun kopi seluas 267.187 hektar.
Semende, yang berada di Kabupaten Muaraenim, merupakan sentra kopi di Sumsel. Luas perkebunannya mencapai 15.640 hektar. Yakni, di Kecamatan Semernde Darat Laut seluas 10.504 hektar, Kecamatan Semende Darat Ulu seluas 2.766 hektar, serta Kecamatan Semende Darat Tengah seluas 2.370 hektar.
Meskipun perkebunan kopi di Semende bukan yang terluas di Sumsel, tapi kopi memiliki hubungan erat dengan masyarakat Semende. Bahkan, kopi menjadi bagian identitas masyarakat atau Suku Semende.
“Jika kita tidak memiliki kebun kopi atau sawah saat menetap di Semende, kita dinilai sebagai orang luar atau pendatang, meskipun kita memiliki darah keturunan orang Semende. Kita baru diterima sebagai orang Semende jika memiliki sawah atau kebun kopi,” kata Ikral Sawabi, seorang warga di Kecamatan Semende Darat Tengah, Rabu [16/10/2024].
Baca: Bisakah Indonesia Kuasai Pasar Kopi Dunia?
Hampir semua perkebunan kopi di wilayah Semende dikelola perempuan. Berdasarkan sistem adat Tunggu Tubang semua kekayaan sebuah keluarga dipegang anak perempuan tertua. Mulai dari rumah, sawah, dan kebun.
“Rumah, sawah dan kebun kopi ini diwariskan kepada kami. Tapi kami tidak boleh menjualnya. Dalam mengelolanya kami tetap melibatkan laki-laki [bapak, suami, anak dan saudara]. Semua hasil dari warisan tersebut seperti beras sebagai sumber pangan, tidak boleh diperjualbelikan. Sementara hasil jual dari kopi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga besar. Bukan hanya untuk keluarga saya,” kata Hairiah, warga Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu.
Hairiah adalah salah satu Tunggu Tubang di Desa Cahaya Alam, yang kini mengembangkan perkebunan kopi arabika.
Baca: Kopi Arabika dan Kelestarian Hutan Batang Toru
Kopi Semende
Sejak kapan dan di mana kopi pertama kali ditanam di Sumatera Selatan? Sampai saat ini belum ada sumber yang mengisahkan hal tersebut.
Tapi, ada kemungkinan kopi di Sumsel pertama kali ditanam di Semende pada awal abad ke-20. Asumsi ini, pertama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kopi yang terkenal dari Sumatera Selatan adalah “kopi gerudag”.
Bubuk atau biji kopi robusta ini berasal Desa Segamit, Semende. Disebut “gerudag” untuk menyatakan jalan berliku dan mendaki. Lokasi perkebunannya sudah tidak ada, menjadi bagian dari kawasan Hutan Lindung [HL] Bukit Jambul di Desa Segamit.
Kopi robusta masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20, setelah jenis kopi ini ditemukan di Kongo, Afrika, pada 1870.
Kedua, sampai saat ini para petani kopi yang berkebun di sekitar wilayah dataran tinggi Bukit Barisan Selatan, baik di Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu, umumnya berasal dari Semende.
Bahkan, para petani kopi asal Semende tersebut membangun sejumlah wilayah pemukiman yang cukup dikenal seperti Padang Guci, Kedurang, Segimin, Semende Pesisir, Semende Abung, Marga Kasui, Bukit Kemuning, Sumber Jaya [Way Tenung], Marga Sekampung Talang Padang, Air Sepanas, dan lainnya.
Ketiga, banyak kebun kopi di Semende sudah menjadi hak kelola [warisan] oleh Tunggu Tubang dalam 7-10 generasi.
Baca juga: Krisis Iklim dalam Secangkir Kopi
“Sebelum kopi, ada kemungkinan masyarakat Semende berkebun aren [Arenga pinata Merr]. Sebab, hingga saat ini masyarakat Semende harus menanam pohon aren, dikarenakan setiap digelar sedekah harus ada umbut pohon aren sebagai bahan masakan,” kata Buyung, warga Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Ulu.
Meskipun masyarakat Semende dikenal sebagai pembuka hutan di wilayah Bukit Barisan untuk dijadikan perkebunan kopi, tapi tidak pernah terdengar atau tercatat konflik antara orang Semende dengan harimau maupun gajah sumatera.
“Setiap kali masuk hutan, kami wajib permisi dengan dua penguasa hutan tersebut [harimau dan gajah]. Kami tidak akan membuka hutan yang menjadi koridor atau tempat mereka menetap,” kata Sapri, warga Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu.
“Alhamdulillah kami selalu terhindar konflik dengan harimau dan gajah,” lanjutnya.
Diselamatkan Perhutanan Sosial
Hampir semua perkebunan kopi di Semende masuk ke kawasan hutan milik negara, baik hutan lindung [HL] maupun hutan produksi [HP].
Deddy Permana, Direktur Eksekutif HaKI [Hutan Kita Institute], menjelaskan hampir semua Hutan Desa [HD] dan HKm [Hutan Kemasyarakatan] di Semendo adalah perkebunan kopi. “HD luasnya sekitar 17.878 hektar, sementara HKm luasnya mencapai 3.258 hektar.”
“Jika tidak ada skema perhutanan sosial [PS] mungkin perkebunan kopi di Semende tinggal cerita saja. Sebab, perkebunan kopi yang sudah dikelola sejak masa kolonial Belanda dimasukkan dalam kawasan lindung,” katanya.
Bahkan, kata Deddy, sebelum adanya skema PS, salah satu hal yang mendorong masyarakat Semende mencari lokasi jauh ke wilayah pedalaman hutan di Bukit Barisan Selatan, dikarenakan perkebunan kopi di Semende masuk kawasan lindung, yang selalu diawasi petugas kehutanan.
Nopianus, pendamping PS di Desa Cahaya Alam dari HaKI, menjelaskan sebelumnya petani kopi Semende dikenal sebagai petani tradisional yang sangat tertutup.
“Tapi kini sudah lebih terbuka, sehingga banyak lembaga-lembaga baik dari pemerhati lingkungan maupun para pegiat kopi yang datang dan memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Khususnya, di sekitar kawasan hutan, dalam meningkatkan produksi kopi dan melestarikan hutan.”
Saat ini, kata Nopianus, jenis kopi yang dibudidayakan bukan hanya robusta, tapi juga jenis arabika, khususnya di wilayah dengan ketinggian di atas 1200 m dpl [meter dari permukaan laut].
“Ini dikarenakan, pasar jenis kopi arabika sangat menjanjikan, apalagi kualitas cita rasa kopi arabika Semende tidak kalah dari daerah lain di Indonesia.
Salah satu varietas kopi lokal semende yang saat ini hampir hilang adalah “Kawe Padang”, yakni varietas kopi jenis arabika typica yang merupakan varietas terbaik dari arabika.
“Saat ini, para petani dan pegiat kopi di Semende mencoba untuk mengembangkan lagi,” jelasnya.
* Muhammad Tohir, fotografer dan memimpin Ghompok Art Kolektif, sebuah komunitas fotografer di Palembang.