- Nelayan tradisional di perbatasan semakin tersudutkan. Mereka terpaksa melaut ke perbatasan, hingga ditangkap negara tetangga.
- Setidaknya satu tahun ini sudah lima kasus penangkapan nelayan tradisional. Ada yang dihukum sampai 6 bulan atau denda 1 juta ringgit Malaysia.
- Nelayan terpaksa melaut jauh ke perbatasan karena ruang laut pesisir mereka rusak akibat pembangunan.
- Ditambah lagi, di ujung kekuasaannya Jokowi melegalkan tambang pasir laut bernama pemanfaatan sedimentasi laut. Padahal sudah lama dilarang karena merusak lingkungan laut.
Enam orang nelayan asal Bengkalis, Provinsi Riau akhirnya menghirup udara segar setelah dibebaskan otoritas Malaysia. Nelayan tradisional ini dituduh mencuri ikan di laut Malaysia, kemudian ditahan sejak Juni 2024 lalu.
Pemulangan mereka ke Indonesia difasilitasi oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru, Rabu 16 Oktober 2024. Dalam keterangan tertulis KJRI Johor Bahru, disebutkan keenam nelayan ditangkap pada Kamis, 6 Juni 2024, oleh Aparat Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) Zona Maritim Batu Pahat.
Pada Kamis, 19 September 2024 Hakim Majistret Batu Pahat Malaysia menjatuhkan vonis 4 bulan penjara dari tanggal penangkapan, karena terbukti melanggar Akta Imigresen 1959/1963.
Sementara terkait aturan perikanan 1985, hakim memutuskan tidak ada pelanggaran. Proses pemulangan nelayan menggunakan feri dari Pelabuhan Muar, Johor Malaysia menuju pelabuhan Bengkalis Riau.
Kejadian ditangkapnya nelayan perbatasan sudah kesekian kalinya sepanjang tahun 2024 ini. Dalam catatan Mongabay Indonesia, setidaknya terdapat empat kasus dengan jumlah korban nelayan sekitar 20 orang nelayan tradisional perbatasan.
Pertama, penangkapan satu kapal nelayan pesisir Pulau Batam, Provinsi Kepri oleh Police Marine Singapura baru-baru ini, Kamis (3/10/2024). Kapal kecil berisi empat orang nelayan itu digiring ke Singapura setelah dituduh mencuri ikan. Namun, keesokan harinya mereka dibebaskan dan dikembalikan ke Indonesia.
Kedua, pada Agustus 2024 lalu, 8 orang nelayan Kepri ditangkap di perairan perbatasan Natuna dan Malaysia. Setelah tidak ada kabar selama hampir 2 bulan, 8 nelayan tersebut tiba-tiba sudah diputuskan bersalah. Mereka harus mendekam di penjara 6 bulan kedepan atau denda 1 juta ringgit Malaysia.
Ketiga, pada 10 Agustus 2024, Malaysia baru memulangkan delapan orang nelayan Natuna yang ditangkap pada pertengahan tahun lalu. Mirisnya, setelah menjalani proses hukum selama 5 bulan di Malaysia, nelayan tradisional ini diputuskan tidak bersalah.
“Karena tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat,” kata Raden Sigit Witjaksono, Konsul Jenderal RI di Kuching dalam siaran pers yang diterima Mongabay, Rabu (17/07/ 24).
Kasus ke empat yaitu, 16 nelayan di Kepulauan Riau ditangkap Malaysia pertengahan tahun 2024 lalu. Mereka dituduh mencuri ikan di perairan Malaysia. Setelah dilakukan sidang, sebagian dibebaskan Malaysia. Sedangkan nahkoda kapal menjalani hukuman penjara.
Baca : Nelayan Kepri yang Ditangkap Malaysia Dihukum Penjara 6 Bulan, Denda Miliaran Rupiah
Laut Rusak, Nelayan Melaut ke Perbatasan
Aktivitas nelayan Kepulauan Riau (Kepri) yang melaut ke perbatasan bukan tanpa alasan. Sebagian besar dari mereka, baik nelayan Natuna yang melaut di perbatasan Malaysia, atau nelayan Batam yang melaut di perbatasan Singapura, terpaksa ke perbatasan karena laut di pesisir pulau mereka sudah rusak.
Seperti yang dikatakan Lisa, nelayan tradisional di Pulau Tanjung Sauh, Kota Batam. Ia melaut ke perbatasan karena pesisir Pulau Batam sudah rusak karena pembangunan industri.
Begitu juga, ketika dirinya hendak melaut ke Bintan, tidak hanya bertemu dengan laut yang rusak. Tetapi nelayan juga terpinggirkan karena aktivitas pariwisata. “Kalau kita melintas di pesisir kawasan resort disana, kita disuruh pergi, padahal dulu nenek moyang kita melaut disitu,” kata Lisa, belum lama ini.
Senada dengan Ahad, nelayan suku laut di Pulau Dare, Belakang Padang. Katanya, sebagian nelayan beralih profesi berkebun di darat, pasalnya laut tak lagi menjanjikan. “Itu kan dulu mangrove semua, sekarang sudah jadi kawasan industri galangan, mana ada lagi ikan disini,” katanya sambil menunjuk pesisir Tanjung Uncang, Kota Batam yang berada di seberang pulau tempat dirinya dan ratusan keluarga nelayan lainnya menetap.
Sedangkan nelayan Natuna harus berhadapan dengan kapal asing illegal fishing. Seperti yang dikatakan Dedi. Nelayan Natuna yang biasa melaut di Laut Natuna Utara, kata Dedi, terpaksa mencari peruntukan lain ke perbatasan Natuna dan Malaysia. Pasalnya Laut Natuna Utara sudah dipenuhi oleh kapal ikan asing (KIA), baik Vietnam maupun China. Sesampai di Malaysia mereka ditangkap.
“Kami mohon laut Natuna Utara diperketat lagi (penjagaannya). Kami sudah susah cari ikan, sudah kemana-mana sekarang, bahkan kami sampai ke timur, disana kami ditangkap Marine Malaysia, kemana lagi kami cari ikan kalau kapal Vietnam sudah banyak di laut Natuna Utara,” kata Dedi saat hadir secara daring dalam konferensi pers pengungkapan kasus penangkapan KIA Vietnam illegal fishing di PSDKP Batam, 21 Agustus 2024 lalu.
Baca juga : Malaysia Bebaskan 16 Nelayan Kepri, 8 Orang Masih Ditahan
Gagal Lindungi Nelayan
Semakin terpinggirkannya nelayan perbatasan, semestinya harus menjadi perhatian pemerintah. Menurut Manajer Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin mengatakan, 10 tahun Jokowi jadi presiden itu gagal melindungi nelayan di perbatasan.
“Karena melihat data-data selalu ada nelayan yang ditangkap di perbatasan dengan alasan masuk perairan negara lain,” kata Parid kepada Mongabay, Sabtu (19/10/2024).
Padahal banyak bukti menunjukan beberapa kasus nelayan yang ditangkap belum terbukti masuk dalam perairan wilayah Malaysia. “Ini menggenapi kegagalan Jokowi melindungi nelayan dampak krisis iklim atau perampasan laut atau ocean grabbing,” katanya.
Menurut Parid, banyaknya nelayan yang ditangkap menunjukkan kerja diplomasi Jokowi di Asia Tenggara sangat lemah. Ada kekeliruan di dalam desain pembangunan pemerintah yang menempatkan Kepri sebagai wilayah bisnis atau investasi.
“Padahal sebetulnya Kepri adalah perbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Harusnya didesain pembangunan yang berorientasi pada satu upaya keamanan maritim atau maritim security,” katanya.
Dengan syarat di dalam agenda itu rakyat ditempatkan sebagai ujung tombak . Misalnya di Natuna kita berhadapan dengan kapal asing harusnya nelayan Natuna diperkuat.
“Jadi pembangunan Kepri ke depan itu tidak sama lagi dengan daerah lain, Kepri ini provinsi perbatasan langsung dengan dua negara Singapura dan Malaysia. Dia harus dijadikan garda terdepan di perbatasan keamanan maritim,” katanya.
Parid yakin kalau nelayan dilibatkan dalam menjaga perbatasan, tidak ada lagi aksi penangkapan seperti sekarang. “Kalau itu tidak dilakukan Prabowo, maka dia akan mengulang kegagalan Jokowi 10 tahun terakhir,” katanya.
Baca juga : Di Hari Kemerdekaan, Nelayan Menjerit Kapal Ikan Asing Merajalela di Laut Natuna Utara
Koreksi Kebijakan Laut
Menurut Manager Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau Ahlul Fadli, nelayan memang kiat sulit dalam menangkap ikan bahkan harus melaut ke laut lepas. “Hal ini terpaksa mereka lakukan karena tidak punya pilihan lain, ikan makin sulit dicari,” katanya.
Belum lagi saat ini nelayan harus menghadapi tantangan krisis iklim. Krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi. “Termasuk ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” katanya.
Ahlul meminta, agar pemerintah segera melakukan koreksi izin usaha di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang terbukti merugikan nelayan. Serta menghentikan berbagai upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Sedangkan, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Doli Boniara akan menjalin kerjasama antar negara agar nelayan Kepri tidak lagi ditangkap. “Sembari itu sosialisasi akan terus kita berikan,” kata Doli belum lama ini.
Ketua DPD Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Hariyanto meminta pemerintah memastikan batas teritorial laut di Kepri. Menurut Buyung, banyaknya terjadi penangkapan nelayan perbatasan oleh negara tetangga adalah bentuk kriminalisasi kepada nelayan. Pemerintah seolah-olah meninggalkan derita untuk masyarakat pesisir.
Buyung mengatakan, pemerintah harus memperhatikan aturan batas teritorial yang sebenarnya masih sengketa sampai hari ini. “Terkadang nelayan kita belum masuk (perairan negara luar) tetapi sudah ditangkap, khususnya perairan yang terdapat di karang Singa dan Batu Putih, Batam dua titik itu berada di perbatasan Malaysia, Indonesia dan Singapura, yang menjadi fishing ground nelayan kepri,”kata Buyung.
Ia berharap di pemerintahan baru nanti, Presiden Prabowo tidak hanya memperhatikan ketahanan negara, tetapi juga selamatan umat manusia melalui lingkungan yang sehat termasuk nelayan.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, watak pemerintah baru Prabowo Subianto akan sama dengan Joko Widodo. Terlihat beberapa waktu belakangan Prabowo sudah mengeluarkan statemen akan tetap melakukan reklamasi teluk Jakarta.
Makanya dibuka sedimentasi laut, yang juga ada di Kepri. “Saya melihat selama ini tidak ada itu poros maritim, yang ada hanya perampokan,” kata Susan.
Artinya kata Susan, nelayan kecil tidak dilibatkan dalam berbagai kebijakan. Malahan pemerintah memberikan karpet merah kepada industri perikanan. “Dibikin pelabuhan besar, nelayan kecil tidak bisa jual di sana, terpaksa harus ke tengkulak, jadi (kebijakan pemerintah) ini bukan untuk nelayan tetapi perusahaan-perusahaan besar,” katanya. (***)
Sudah 23 Nelayan Indonesia Ditangkap Malaysia, Dihukum Bui dan Denda Miliaran Menanti