- Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan vonis bebas dari gugatan hukum oleh Pengadilan Tinggi Medan, 17 Oktober lalu. Majelis hakim tingkat banding Pengadilan Tinggi Medan, dengan ketua Samsul Bahri, meminta Jaksa Penuntut Umum melepaskan Siallagan dari segala tuntutan. Dia kena jerat hukum atas perkara tuduhan perusakan lahan yang diklaim konsesi perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL).
- Majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan berpendapat, perbuatan Siallagan bukanlah pelanggaran tindak pidana namun masuk kategori perdata. Majelis hakim juga memerintahkan, JPU membebaskan Siallagan dari tahanan dan memulihkan hak dalam pengakuan, kedudukan serta harkat dan martabatnya.
- Hendra Sinurat, dari Bantuan Hukum Bakumsu sekaligus kuasa hukum Sorbatua Siallagan mengapresiasi putusan majelis hakim tingkat banding ini. Majelis hakim jernih melihat kasus ini seperti terlihat dalam nota pembelaan mereka bahwa persoalan tumpang tindih lahan antara tanah adat dan konsesi perusahaan bubur kertas itu, seharusnya secara perdata, bukan pidana.
- Dalam lima tahun terakhir, setidaknya 49 masyarakat adat di Tano Batak menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan wilayah adat mereka.
Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menangis haru usai mendengar putusan Pengadilan Tinggi Medan, yang memutus bebas dirinya. “Terima kasih telah berjuang untuk kebebasan saya,” katanya, sembari memeluki mereka satu per satu orang yang menantinya pulang di kediamannya di Huta Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Simalungun, Sumatera Utara, 19 Oktober lalu.
Pada 17 Oktober lalu, majelis hakim tingkat banding Pengadilan Tinggi Medan di Sumatera Utara, dengan ketua Samsul Bahri, memutus bebas dan meminta Jaksa Penuntut Umum melepaskan Siallagan dari segala tuntutan. Dia kena jerat hukum atas perkara tuduhan perusakan lahan yang diklaim konsesi perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Majelis hakim berpendapat, perbuatan Siallagan bukanlah pelanggaran tindak pidana namun masuk kategori perdata. Majelis hakim juga memerintahkan, JPU membebaskan Siallagan dari tahanan dan memulihkan hak dalam pengakuan, kedudukan serta harkat dan martabatnya.
“Perbuatan terbukti ada tetapi perbuatan itu bukan pidana melainkan perbuatan perdata, Karena itu terdakwa harus segera dibebaskan dari tahanan negara,” kata majelis hakim dalam amar putusannya.
Hendra Sinurat, dari Bantuan Hukum Bakumsu sekaligus kuasa hukum Sorbatua Siallagan mengapresiasi putusan majelis hakim tingkat banding ini. Dia bilang, akan terus mengawal kasus ini termasuk mengantisipasi kalau JPU kasasi ke Mahkamah Agung.
Majelis hakim jernih melihat kasus ini seperti terlihat dalam nota pembelaan mereka bahwa persoalan tumpang tindih lahan antara tanah adat dan konsesi perusahaan bubur kertas itu, seharusnya secara perdata, bukan pidana. Jadi, kalaupun ada perbuatan menduduki, itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
“Kedepan calon-calon hakim harus mendapatkan pelatihan tentang perspektif masyarakat adat agar jika menangani perkara masyarakat adat dapat melihat dan mengelaborasikan perspektif-perspektif lain dalam kasus yang akan diputuskan. Tidak hanya melulu mengejar kepastian hukum, namun harus juga melihat aspek kemanfaatan dan keadilan,” kata Hendra kepada Mongabay.
Pada tingkat pengadilan pertama, katanya, ada kekeliruan majelis hakim hingga menjadi alasan mereka banding ke pengadilan tinggi.
Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Menolak Kriminalisasi Masyarakat Adat, 9 Oktober lalu adakan pertemuan. Antara lain, ada Walhi Sumut, Bakumsu, Aman Tano Batak, Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Sorbatua Siallagan, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan dan Kelompok Masyarakat Adat Ompu Mamontang Laut Ambarita, Sihaporas. Ada juga Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN).
Jaka Kelana, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut mengatakan, kriminalisasi terhadap masyarakat adat oleh korporasi seperti dengan TPL terus terjadi hingga kini. Modusnya, dengan memenjarakan masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat mereka.
“Masyarakat adat di tanah ulayatnya akan dipolisikan karena dianggap mencaplok lahan diklaim konsesi mereka dari pemerintah. Saat aparat kepolisian mendapatkan laporan, sejumlah oknum bergerak cepat menindak masyarakat adat, mulai dari ancaman hingga dugaan penganiayaan terjadi,” kata Jaka.
Salah satu menimpa Siallagan. Ketua Adat Keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan ini ditangkap Polda Sumut tanpa prosedur hukum jelas, menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut dia, dalam lima tahun terakhir, setidaknya 49 masyarakat adat di Tano Batak menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan wilayah adat mereka.
Ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan
Kriminalisasi bertubi yang menimpa Masyarakat Adat Tano Batak, mendorong Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengadu ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan, belum lama ini.
Ketika suara-suara protes di daerah tak ada respon dari pemerintah maupun aparat, masyarakat berupaya mencari keadilan ke Jakarta akhir Agustus lalu.
AMAN bersama jaringan masyarakat sipil serta warga dari Komunitas Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan audiensi dengan Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Mereka meminta, kedua lembaga ini bisa memberikan perlindungan bagi mereka dari kriminalisasi dan kekerasan aparat dan TPL.
“Kami minta Komnas (Perempuan dan HAM) supaya lakukan langkah lebih konkret dan nyata. Supaya tidak ada lagi penangkapan, penyiksaan, atau Brimob yang monda-mandir di kampung kami. Itu mengintimidasi,” kata Jhontoni Tarihoran, Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Tano Batak.
Kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan, empat perwakilan masyarakat adat menyampaikan keluh kesah mereka. Salah satunya terkait represi aparat dan TPL pada Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan, hingga penangkapan Ketua Adat Oppu Umbak Sialagan, Sorbatua Siallagan, yang vonis dua tahun penjara, denda Rp1 miliar di Pengadilan Sumut.
Mangitua Ambarita, Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihamporas (Lamporas) mengatakan, awalnya di sana lahan pertanian yang diberikan Belanda. Kawasan itu hendak Belanda bikin kebun jati, namun gagal karena Indonesia keburu merdeka dan merampas hutan dari mereka.
Pada 1993, pemerintah berikan izin pada TPL, awalnya bernama Inti Indorayon Utama. Lanskap lahan sudah ditanami nangka, durian, hingga jengkol itu ditebang oleh perusahaan taipan Sukanto Tanoto ini.
“Kami selalu direpresi TPL dan aparat. Sekalipun kami sudah hidup lama di sana,” kata Mangitua.
Mereka sudah mendaftarkan wilayah adat dan hutan adat ke Badan Registrasi Wilayah Adat pada 2018. Hasil verifikasi BRWA menunjukkan kalau kawasan mereka sudah memenuhi syarat sebagai wilayah adat.
Atas dasar itu mereka bersurat ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk surat penetapan. “Sampai sekarang janji menteri tidak pernah direalisasi.”
Bahkan, Sorbatua Siallagan yang sudah mengantongi surat keterangan sebagai pembela HAM dari Komnas HAM pun masih bisa ditangkap. Upaya praperadilan pun tidak membuahkan hasil.
Hari Kurniawan, Komisioner Pengaduan Komnas HAM, menyebut sudah banyak rekomendasi dari Komnas HAM untuk kasus agraria yang melibatkan TPL dan masyarakat adat. Sayangnya, tidak pernah ada penyelesaian karena tak ada komitmen dari pemerintah maupun perusahaan.
“Kami jadi bingung sendiri. Ngapain kami di Komnas HAM kalau polisi tidak pernah dengerin kita?” kata Hari.
“Kasus ini tidak bisa selesai kalau tidak ada komitmen dari pemerintah atau korporasinya.”
******
Pertahankan Tanah Adat, Sorbatua Siallagan Malah Dihukum 2 Tahun Penjara