- Tiga tahun memimpin sektor kelautan dan perikanan (KP) di Indonesia, Sakti Wahyu Trenggono kembali dipercaya memimpin dengan menjadi Menteri KP untuk periode 2024-2029. Lanjutan kepemimpinan itu, diharapkan bisa semakin memperbaiki sektor KP, baik dari ekonomi maupun ekologi
- Berada di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto, sektor KP menjadi bagian dari misi Presiden melalui Asta Cita. Tepatnya, Presiden menjadikan ekonomi biru sebagai bagian dari misi selama lima tahun mendatang
- Salah satu rencana yang terang-terangan diungkap Sakti Wahyu Trenggono untuk periode lanjutan, adalah mengaktifkan kembali tambak udang yang sudah 35 tahun mati di kawasan Pantai Utara (Pantura pulau Jawa
- Komoditas udang menjadi target utama, adalah karena komoditas tersebut bernilai ekonomi sangat tinggi dan selalu memimpin kinerja ekspor untuk produk perikanan dari Indonesia. Nilai yang besar, membuat udang mengalami diversifikasi pasar internasional
Terpilih kembali untuk menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2024-2029, Sakti Wahyu Trenggono langsung mengorbitkan janjinya untuk bisa diwujudkan segera. Janji itu, adalah menghidupkan kembali tambak udang yang sudah lama mati.
Saat bertemu media di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sehari setelah Presiden RI Prabowo Subianto mengumumkan dirinya kembali menempati posisi Menteri yang sama, Sakti Wahyu Trenggono mengucapkan janji di atas dengan lantang.
Dia menyebutkan, ada tambak udang seluas 78 ribu hektare yang sudah lama mati selama 35 tahun di kawasan Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa. Menurutnya, seluruh area tambak tersebut sangat layak untuk dihidupkan dengan mengadopsi teknologi baru untuk penerapan budi daya perikanan.
“Itu kalau kita ubah, saya sudah buatkan modelnya di Karawang (dengan luas) 80 hektare dan hasilnya bagus,” ungkapnya menyebut lokasi tambak udang di Provinsi Jawa Barat.
Jika berhasil dihidupkan kembali, dia yakin kalau tambak udang di Pantura itu akan bisa menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Seperti tambak udang dengan konsep pemodelan sebelumnya, tenaga kerja akan memprioritaskan untuk warga sekitar.
Ketertarikan Trenggono terhadap tambak mati di Pantura itu, muncul karena dia paham kalau nilai tambak tersebut cukup besar dan skalanya masuk industri. Kalau rencana menghidupkan itu berhasil, maka masyarakat juga akan terbantu secara ekonomi.
Baca : Mimpi Produksi Udang 2 Juta Ton Dimulai dari Kebumen

Dia mengungkapkan kalau sejak lama masyarakat di sekitar tambak Pantura yang mati sudah tidak memiliki harapan lagi terhadap kelanjutan usaha tambak udang windu yang sebelumnya ada. Namun, dia yakin nantinya warga akan kembali menggantungkan pendapatannya pada usaha tambak.
Melalui kepemimpinan baru selama lima tahun ke depan, dia yakin kalau rencana itu akan berhasil diwujudkan. Terlebih, periode ini dirinya akan memimpin ditemani Wakil Menteri KP Didit Herdiawan Ashaf.
“Kalau dulu mandornya satu, saya sendirian. Sekarang mandornya ada dua jadi lebih enak,” tuturnya.
Selain ingin menghidupkan tambak udang yang mati, Trenggono juga ingin melanjutkan penerapan ekonomi biru dengan lebih baik lagi. Dia yakin, pada lima tahun ke depan usahanya akan semakin mudah, karena fondasi ekonomi biru sudah dibangun.
“Kalau kita umpamakan mau balapan, kita ini sudah start engine. Sekarang tinggal melaju untuk mencapai yang dicita-citakan,” ucapnya.
Membumikan ekonomi biru lebih luas lagi, bukan sekedar kelanjutan dari rencana kerja yang sudah dijalankan beberapa tahun terakhir. Namun juga, karena ekonomi biru sudah menjadi bagian dari misi Asta Cita Pemerintah Indonesia lima tahun ke depan.
Asta Cita yang memuat delapan misi, salah satunya berisi misi nomor dua, “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru”.
Baca juga : Bagaimana Cara Manfaatkan Tambak Udang Non Aktif?

Asta Cita
Ekonomi biru sendiri menjadi bagian dari pengembangan ekonomi pada sektor kelautan dan perikanan yang potensial menjadi penopang ekonomi nasional. Selama tiga tahun terakhir, KKP menerjemahkan ekonomi biru ke dalam lima program utama.
Di antaranya, adalah perluasan kawasan konservasi laut; penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT); pembangunan budi daya berkelanjutan di pesisir, laut, dan darat; pengawasan dan pengendalian pesisir dan pulau-pulau kecil; serta penanganan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan Bulan Cinta Laut (BCL).
Sebagian program ekonomi biru tersebut, sudah dijalankan selama tiga tahun memimpin KKP. Sebut saja, pemodelan PIT, budi daya udang, rumput laut, dan lobster; penataan hasil sedimentasi; program BCL; dan penyusunan Ocean Big Data sebagai instrumen digital yang berfungsi mengawasi, serta mengukur dampak dan manfaat semua kegiatan di ruang laut.
Dia berjanji, akan memastikan program kerja yang sudah berjalan bisa diperkuat dengan program lainnya. Misalnya, pembangunan tambak udang modern seluas 2.000 ha di Waingapu, Nusa Tenggara Timu; pengembangan budi daya tuna di Papua; hilirisasi rumput laut; peningkatan kualitas mutu hasil perikanan; serta program-program yang berkaitan dengan pemeliharan kawasan konservasi laut.
Pada momen sama, Wakil Menteri KP Didit Herdiawan Ashaf menyatakan bahwa dia bersama Sakti Wahyu Trenggono akan bekerja cepat dan membentuk tim untuk mengakselerasi pelaksanaan program kerja ekonomi biru.
Penguatan sinergi dengan kementerian/lembaga (K/L) lain juga menjadi konsentrasinya, sehingga penataan maupun pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan menjadi lebih optimal. Begitu juga dengan upaya peningkatan asupan protein ikan di tengah masyarakat.
“Saya akan turun langsung ke lapangan. Kami akan bekerja cepat, kerja ikhlas dan mudah-mudahan barokah,” janjinya.
Baca juga : Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budi daya

Penguatan Perikanan Budi daya
Ketertarikan Trenggono untuk menghidupkan kembali tambak udang mati di Pantura, ternyata memang bukan tanpa alasan. Penyebutan skala industri oleh dia, menjadi alasan kuat karena udang adalah bernilai ekonomi tinggi di pasar dunia.
Menurutnya, lima tahun ke depan atau sekitar 2029-2030, Indonesia sudah harus kuat di subsektor perikanan budi daya. Penguatan itu, dengan cara Indonesia harus sudah bisa menguasai beberapa rantai pasok komoditas global seperti udang, lobster, kepiting, rumput laut, dan tilapia.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo mengatakan, Indonesia sedang menyiapkan diversifikasi pasar udang Indonesia agar tidak banyak bergantung kepada pasar internasional seperti Amerika Serikat.
“Kita perlu optimalkan pasar potensial di mana pangsa pasar udang Indonesianya masih kecil,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.
Merujuk pada data Pusat Perdagangan Internasional tentang Komoditas Potensi Ekspor, udang mentah beku Indonesia dengan kode HS 030617 masih memiliki peluang di pasar Tiongkok dan Jepang. Kode tersebut merujuk pada udang dan udang besar lain seperti windu dan vanamei.
Sementara, udang matang beku dengan kode HS 160521 disebutkan potensial untuk pasar Jepang, Australia, dan Korea Selatan. Potensi peluang pasar ke keempat negara tersebut mencapai USD800 juta atau setara dengan volume 121 ribu ton udang beku.
Menurut Budi, pemaparan tersebut mengartikan bahwa masih ada peluang pasar alternatif yang bisa dioptimalkan oleh Indonesia. Pemanfaatan itu harus maksimal, karena kualitas udang dari Indonesia sama bagusnya seperti dari negara lain.
“Upaya diversifikasi pasar udang Indonesia tentunya perlu didukung peningkatan efisiensi usaha di budi daya, pengolahan dan logistik, sehingga harga udang Indonesia lebih kompetitif, tambahnya,” jelasnya.
Baca juga : KKP Kembangkan Budi Daya Udang Berwawasan Lingkungan, Ini Pesan Pakar Kelautan

Perluasan Pasar
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal PDSPKP KKP Erwin Dwiyana menambahkan bahwa udang Indonesia di pasar Tiongkok masih terbuka, ditunjukkan dengan peluang lebar ekspor sampai 2028 yang diperkirakan senilai USD544 juta.
“Khusus pasar Tiongkok, harga udang kita masih dapat bersaing dengan Ekuador,” ucapnya.
Selain itu, peluang besar ekspor udang juga ada di pasar Jepang hingga 2028 dengan nilai diperkirakan mencapai USD214 juta. Dia menilai, Jepang merupakan pasar optimis bagi udang beku dan udang olahan Indonesia.
Menurutnya, Indonesia saat ini menduduki urutan ketiga di dunia sebagai negara penyuplai udang terbesar ke pasar Jepang dengan pangsa pasar 16,5 persen. Persentase tersebut menjadikan Indonesia bersaing dengan Vietnam dan Thailand di pasar Jepang.
Pasar berikutnya bagi Indonesia yang memiliki peluang besar hingga 2028 adalah Korea Selatan. Udang dari Indonesia di negara tersebut potensial bisa mendulang nilai sebesar USD26 juta hingga 2028 dan menjadi pesaing besar bagi Vietnam dan Thailand.
Selain Jepang dan Korea Selatan, peluang besar untuk pemasaran udang juga ada di pasar Australia yang bisa bernilai USD30 juta hingga 2028. Sampai sekarang, Indonesia baru berkontribusi 1,32 persen terhadap pasar udang di negeri Kanguru itu.
Walau dilakukan diversifikasi pasar udang ke negara lain, namun pasar AS tetap menjadi bidikan utama ekspor dari Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan, adalah dengan membentuk kerja sama untuk mempertahankan posisi pembagian pasar, sekaligus meningkatkan akses pasar udang Indonesia di AS.
Menurut Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP) KKP Ishartini, kerja sama itu dalam bentuk pengakuan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil kelautan dan perikanan dengan AS dalam kerangka Regulatory Partnership Agreement atau RPA.
Salah satu komponen kerja sama yang ditawarkan AS adalah peningkatan kapasitas terkait whole genome sequence (WGS) atau pengurutan keseluruhan genom atau pengurutan genom lengkap. Peningkatan itu dilakukan, karena surveilans wabah akibat makanan saat ini mulai menggunakan platform WGS dalam pengujian laboratorium.
Baca juga : Peran Sistem Logistik Ikan Nasional untuk Pengembangan Produksi Udang

Selain Indonesia, platform WGS dalam pengujian laboratorium juga telah ditawarkan AS ke India dan Ekuador, yang juga eksportir udang terbesar ke AS. Kedua negara tersebut telah menyatakan mengikuti skema WGS untuk memudahkan ekspor udang ke pasar AS.
Pengadopsian WGS dalam pengujian di laboratorium menjadi pilihan yang harus diikuti Indonesia, karena akan ada dampak yang lebih buruk lagi dan menghancurkan industri udang nasional. Jika tak adopsi, maka udang Indonesia akan terkena pemeriksaan yang ketat saat melintasi wilayah perbatasan AS.
“Tentu ini bisa merugikan kita,” tegasnya.
Berkaitan dengan kerja sama, Indonesia merancang formula teknis bersama University of Maryland, Baltimore (UMB) dan the United States Food and Drug Administration (US FDA). Salah satu cakupannya, adalah surveilans wabah akibat makanan pada kawasan budi daya udang berbasis platform WGS.
Ishartini berharap, kerja sama tersebut bisa mewujudkan transfer teknologi dan transfer pengetahuan dari para ahli di UMB dan FDA. Kemudian, kerja sama tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai anggota jejaring lab penguji WGS wabah akibat makanan dunia yang berbasis di AS.
Komoditas Andalan
Diketahui, udang selalu menjadi komoditas andalan bagi Indonesia untuk mendulang devisa berlimpah di pasar internasional. Hewan air yang masuk kelompok krustasea itu, diketahui memimpin pasar ekspor produk perikanan bagi Indonesia dengan dominasi hingga lebih dari 30 persen.
Potensi ekonomi yang terus mengembung itu, menjadikan udang satu-satunya komoditas perikanan yang konsisten ada di urutan teratas produk ekspor perikanan dari dalam negeri. Pasar internasional yang selalu jadi langganan, adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, ASEAN, dan Uni Eropa.
Namun, besarnya potensi ekonomi dari udang, dikhawatirkan suatu hari nanti bisa berubah, bahkan mengalami penurunan produksi. Untuk itu, diperlukan suatu perencanaan yang mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dengan sistem transportasi yang baik.
Sistem yang bisa mendukung itu, tidak lain adalah sistem logistik ikan nasional (SLIN) yang akan berdampak positif pada rantai pasok udang dari hulu hingga ke hilir. Jika SLIN diterapkan, akan tercipta efisiensi dan tata kelola yang efektif, serta meningkatkan daya saing produk perikanan.
Untuk itu, peningkatan produktivitas dan perbaikan tata kelola logistik udang di Indonesia akan terus dilakukan setiap waktu. Saat ini, SLIN sudah berjalan di Indonesia dan diharapkan bisa berdampak signifikan pada tata kelola udang secara nasional.
Dengan demikian, pasokan udang akan selalu tersedia dengan mutu yang selalu terjaga dengan baik dan tentu saja akan memicu kestabilan harga di pasaran. SLIN diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri udang secara nasional, sekaligus menjadi tulang punggung untuk menjaga mutu udang melalui penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. (***)
Komoditas Udang Nasional, Dikejar Target dengan Konflik Tak Berujung