Kecelakaan di tambang emas ilegal di Sumatera Barat kembali merenggut korban jiwa. Kali ini, insiden terjadi di Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, pada Kamis, 26 September 2024.
Setidaknya, 13 pekerja meninggal dunia, sementara puluhan lainnya terluka.
Peristiwa ini bukanlah yang pertama, melainkan hanya satu dari rangkaian kecelakaan yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir di Sumatera Barat.
Pada 10 Mei 2021, puluhan petambang tertimbun longsor di Kecamatan Sangir Batanghari, Solok Selatan. Kecelakaan itu menarik perhatian Menteri Sosial, Tri Rismaharini (kala itu), yang langsung mendatangi lokasi kejadian.
Namun, meskipun mendapat perhatian dari pejabat tinggi, insiden serupa terus berulang. Seolah-olah tragedi itu hanya menjadi headline sesaat. Ironisnya, jumlah korban pada insiden kali ini bahkan melebihi kecelakaan serupa sebelumnya.
Sebelum insiden 2021, pada April 2020, sembilan orang tewas akibat longsor di lokasi tambang emas ilegal di Solok Selatan. Di tempat yang sama, pada 11 Januari 2021, kecelakaan kembali terjadi, merenggut nyawa empat pekerja.
Dari rangkaian peristiwa tersebut, jelas bahwa pertaruhan nyawa terus berlangsung dalam praktik tambang ilegal ini, yang seringkali luput dari perhatian serius pemerintah maupun aparat penegak hukum.
Setiap kali kecelakaan terjadi, perhatian publik dan pemerintah meningkat, namun tindakan konkret untuk mencegah kejadian serupa di masa depan tidak pernah benar-benar terjadi.

Adanya Relasi Kuasa
Tambang emas ilegal di Sumatera Barat telah menjadi momok yang seakan-akan dipelihara. Meskipun korban jiwa terus berjatuhan, penertiban tambang ilegal masih menjadi pemandangan yang jarang terjadi.
Keberulangan kecelakaan ini mengungkap masalah serius dalam penegakan hukum di wilayah tambang, di mana razia yang dilakukan oleh aparat kerap kali tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Pertanyaannya. Apakah ini hanya persoalan penegakan hukum yang lemah, atau ada faktor lain yang lebih mendasar?
Salah satu masalah penegakkan hukum setidaknya terkonfirmasi dari pernyataan Kepala Polres Solok, Ajun Komisaris Besar Muari.
Dia mengakui bahwa razia yang dilakukan sering kali bocor sehingga hanya segelintir pelaku yang tertangkap. Ini tentu bukan sekadar masalah kebocoran informasi, melainkan cerminan dari lemahnya sistem penegakan hukum itu sendiri.
Bocornya razia menunjukkan bahwa ada aktor-aktor yang berperan ganda, mereka yang seharusnya menegakkan hukum justru diduga ikut melindungi praktik tambang ilegal ini.
Indikasi kebocoran ini memperkuat dugaan bahwa sebagian aparat keamanan terlibat dalam memfasilitasi operasi tambang ilegal. Ini bukan sekadar asumsi belaka, tapi telah muncul dalam berbagai temuan sebelumnya, bahwa ada pihak-pihak di dalam tubuh kepolisian yang memanfaatkan celah ini untuk keuntungan pribadi.

Sebagaimana yang dikutip dari Harian Kompas (27/11/2019) dan Mongabay (2/01/2020), investigasi yang dilakukan oleh gabungan Tim BNPB dan pemerhati lingkungan hidup menemukan bahwa praktik tambang emas ilegal di Solok Selatan bukan hanya soal keserakahan individu-individu tertentu, tetapi juga terjalinnya relasi antara para petambang, pejabat politik, dan oknum penegak hukum.
Salah satu warga pemilik lahan tambang mengungkap bahwa Syafril, anggota DPRD Solok Selatan, dan Zul, pensiunan polisi, adalah pemilik masing-masing ekskavator yang digunakan dalam kegiatan tambang tersebut.
Bahkan, Khairunas, yang kini menjabat sebagai Bupati Solok Selatan, disebut-sebut sebagai pihak yang menghubungkan para penambang dengan aparat kepolisian.
Temuan ini seharusnya memicu langkah tegas dari pihak berwenang, namun nyatanya, hingga saat ini, tidak ada tindak lanjut yang signifikan.
Fakta-fakta yang terungkap dalam investigasi hanya bertahan sejenak dalam sorotan media, kemudian hilang ditelan waktu. Kasus-kasus tersebut seolah hanya berakhir sebagai berita investigasi yang memudar tanpa ada kelanjutan proses hukum yang serius.
Relasi kuasa dalam tambang emas ilegal ini menunjukkan bahwa ada jalinan kepentingan yang lebih besar dari sekadar eksploitasi sumber daya alam. Penegakan hukum menjadi lumpuh ketika oknum aparat, pejabat publik, dan elite politik terlibat dalam bisnis tambang ilegal yang menguntungkan.
Selama para pelaku utama di balik layar ini terus mendapat perlindungan, penindakan hukum terhadap tambang ilegal hanyalah formalitas yang tidak efektif, meskipun sudah jelas bahwa aktivitas mereka merugikan lingkungan, mengancam keselamatan warga, dan melanggar hukum.

Perlu Evaluasi Penegakkan Hukum
Beragam klaim dan temuan terkait aktivitas tambang emas ilegal di Sumatera Barat menunjukkan bahwa masalah ini tidak akan selesai dengan penanganan biasa.
Keterlibatan oknum pejabat, aparat, dan elite politik dalam bisnis tambang ilegal, sebagaimana diuraikan sebelumnya, memperlihatkan satu hal: tambang emas ilegal bukanlah masalah hukum atau ekonomi semata, melainkan juga persoalan moralitas.
Tanpa evaluasi serius terhadap integritas aparat penegak hukum dan pengawasan ketat terhadap aktivitas tambang, tragedi yang sama akan terus berulang. Nyawa masyarakat petambang akan terus melayang, sementara para pelaku utama tetap menikmati keuntungan dari kejahatan mereka.
Alasan ekonomi yang sering disuarakan, bahwa tambang ilegal memberi penghidupan bagi masyarakat sekitar, sejatinya hanyalah tameng untuk melindungi kepentingan segelintir orang.
Mafia tambang menggunakan alasan ini sebagai alat untuk membenarkan aktivitas mereka yang merusak dan berbahaya.
Dalam kenyataannya, saat terjadi kecelakaan, yang menjadi korban adalah mereka yang berada di lapangan, para pekerja tambang yang menjalani hidup di bawah bayang-bayang tambang ilegal.
Para penambang ini menanggung risiko tinggi setiap harinya, namun ketika kecelakaan terjadi, pelaku utama dan pemilik modal tetap hidup nyaman tanpa tersentuh hukum.
Mereka adalah pihak yang menikmati keuntungan besar dari emas yang digali, namun jarang, bahkan tidak pernah tersentuh hukum.
Penggunaan alat berat seperti eskavator juga menunjukkan bahwa para penambang bukanlah orang-orang yang tidak memiliki alternatif pekerjaan selain menambang. Harga satu unit eskavator yang tidak murah menjadi indikasi bahwa mereka yang terlibat dalam bisnis tambang ini memiliki modal besar.
Jika uang yang dihabiskan untuk membeli alat berat ini dialihkan untuk usaha lain, mereka sebenarnya mampu membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih aman dan legal.
Ini membuktikan bahwa alasan “ekonomi” hanyalah alibi yang digunakan untuk menutupi keserakahan.
Masalah tambang emas ilegal bukan sekadar tentang kepentingan ekonomi bagi masyarakat setempat. Ini adalah kejahatan yang terus dipelihara karena adanya relasi kuasa yang melibatkan elite politik dan aparat hukum.
Jika tambang ilegal tidak segera ditertibkan dan aktor-aktor utamanya tidak diseret ke meja hijau, maka kita hanya akan terus menyaksikan rangkaian tragedi yang sama berulang kali.
Selama keadilan tidak ditegakkan, tambang ilegal akan tetap menjadi luka bagi Sumatera Barat, dan masyarakat kecil akan selalu menjadi korban.
*Antoni Putra, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Artikel ini adalah opini penulis
Tambang Emas Ilegal Bertebaran di Aceh, Belum Tersentuh Hukum?