Di wilayah pesisir Jakarta, angka pernikahan anak terus meningkat seiring dengan kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga nelayan. Siti dan Azizah, dua kakak beradik yang menikah saat remaja. Mereka menjadi dua dari sekian banyak tren yang berkembang di mana orang tua melihat pernikahan dini sebagai cara untuk meringankan beban keuangan di tengah menurunnya hasil tangkapan ikan dan meningkatnya biaya hidup.
Baca juga: Perubahan Iklim Picu Fenomena Pernikahan Anak di Pesisir Jakarta
Pernikahan di bawah usia 18 tahun, yang diklasifikasikan sebagai kekerasan berbasis gender oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masih umum terjadi di daerah berpenghasilan rendah di mana keluarga-keluarga tidak memiliki pilihan ekonomi.
Penelitian terbaru, seperti yang dilakukan oleh Ohio State University, menunjukkan bahwa perubahan iklim memperparah masalah ini. Peristiwa cuaca ekstrem telah dikaitkan dengan tingkat pernikahan anak yang lebih tinggi, seperti yang terlihat di negara-negara seperti Bangladesh, di mana gelombang panas yang berkepanjangan meningkatkan pernikahan dini hingga 50% di kalangan anak perempuan.
Bagi keluarga pesisir Jakarta, penurunan stok ikan karena iklim dan pencemaran menyebabkan ketidakpastian ekonomi, dan pernikahan dini dianggap sebagai strategi untuk bertahan hidup. Untuk mengatasi masalah yang kompleks ini, diperlukan solusi yang berfokus pada mata pencaharian yang berkelanjutan, pendidikan, dan ketahanan iklim.
Perubahan Iklim Picu Fenomena Pernikahan Anak di Pesisir Utara Jakarta
Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.