- Pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah tentang Polusi Plastik ke-5 atau INC-5 diharapkan memprioritaskan langkah konkret seperti pengurangan produksi plastik hingga 40% pada 2040, larangan plastik bermasalah, serta penerapan prinsip polluters pay untuk menghentikan polusi plastik global.
- Mayoritas investasi global masih fokus pada solusi hilir seperti daur ulang (82%), sementara pendekatan hulu seperti sistem isi ulang hanya mendapat 4% dukungan.
- Selain daur ulang, perlu ada fokus pada upaya mengurangi produksi plastik dari sumbernya, seperti melalui sistem isi ulang dan larangan plastik sekali pakai.
- Sebagai anggota G20, Indonesia memiliki posisi strategis dalam memimpin ASEAN di INC-5, meski sebelumnya kurang proaktif dibanding negara lain seperti Filipina dan Thailand.
Aktivis lingkungan menyerukan agar solusi berbasis guna ulang dan pengurangan produksi plastik menjadi prioritas utama dalam pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah tentang Polusi Plastik ke-5 atau Intergovermental Negotiating Committee on Plastic Pollution session 5 (INC-5) yang rencananya akan digelar di Busan, Korea Selatan, pada akhir bulan November 2024 ini. Perundingan yang akan berlangsung nanti diharapkan mampu menawarkan solusi konkret untuk mengakhiri polusi plastik yang semakin mengancam ekosistem global.
Rayhan Dudayev, Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara menegaskan, bahwa perundingan ini penting untuk mengatasi plastik, dari hulu sampai hilir. Sebab, krisis plastik merupakan masalah yang sistemik. Sehingga solusinya harus mencakup keseluruhan siklus, dari produksi hingga pengolahan limbah.
Menurut Rayhan, terdapat empat langkah kunci yang harus menjadi perhatian dalam perundingan ini nanti. Pertama, menetapkan target global yang jelas untuk mengurangi produksi polimer plastik primer. Target global untuk mengurangi produksi plastik ini, yaitu dengan mengadvokasi pengurangan sebesar 40 persen pada tahun 2040, atau setidaknya target yang selaras dengan 1,5 derajat.
Kedua, menghentikan ekspansi industri petrokimia dengan bahan baku plastik. Ketiga, menerapkan target plastik guna ulang disertai larangan terhadap jenis plastik bermasalah. Terakhir, mengadopsi prinsip polluters pays, yaitu memastikan pihak yang mencemari lingkungan menanggung biaya pemulihannya.
“Salah satu sumber pendanaannya adalah melalui produsen. Kenapa? Supaya disinsentif adanya plastik-plastik baru. Sebab, dari data plastik yang sudah ada itu sebenarnya sudah oversupply,” jelasnya dalam diskusi Global Plastics Treaty, Pentingnya Komitmen Global dalam Pengurangan Produksi Plastik, pekan lalu di Jakarta.
Menurut laporan terbaru Plastic Investment Tracker, mayoritas dana investasi swasta dalam sirkulasi plastik global, yaitu sekitar 82 persen, atau setara dengan US$155 miliar, masih terkonsentrasi pada solusi hilir seperti pengelolaan limbah dan daur ulang.
Disisi lain, investasi pada pendekatan inovatif yang lebih berorientasi ke hulu, seperti sistem isi ulang dan penggunaan ulang, hanya mendapatkan alokasi sebesar US$8 miliar atau sekitar 4 persen. Hal ini menunjukkan masih rendahnya dukungan terhadap solusi yang bertujuan langsung mengurangi konsumsi plastik sejak awal.
Baca : Indonesia Perlu Aktif dalam Negosiasi Perjanjian Internasional soal Plastik
Indonesia Diharapkan Proaktif
Sebagai anggota forum G20 dan forum konsultasi MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia), Rayhan menilai posisi Indonesia sangat strategis untuk memimpin diplomasi plastik mewakili ASEAN. Namun, pada pertemuan INC-4 di Otawa, Kanada, April lalu, Indonesia dinilai kurang proaktif.
Sebaliknya, Filipina yang menjadi negara yang lebih vokal dalam mendorong untuk pengurangan produksi plastik. Sedangkan Thailand sangat mendukung kebijakan berbasis solusi hulu. “Statement mereka jelas bahwa produksi plastik ini akan memperburuk kondisi iklim dan juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat,” imbuhnya. Untuk itu, Indonesia diharapkan lebih proaktif dalam INC-5 untuk melindungi publik.
Rahyang Nusantara, Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, menyerukan agar negara-negara peserta, termasuk Indonesia, menjadikan perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan sebagai inti dari kesepakatan global yang dihasilkan.
Ia berharap, INC-5 yang merupakan pertemuan lanjutan untuk menyusun perjanjian plastik global yang mengikat secara hukum ini mampu menjawab tantangan besar dengan menjadikan life cycle pricing sebagai prioritas.
“Ini berarti mengurangi produksi plastik secara tegas sekaligus mempromosikan solusi nyata, seperti sistem isi ulang dan penggunaan ulang,” ujar Rahyang.
Ditambahkannya, bahwa sesi side events dan pameran di INC-5 akan menjadi momen penting untuk memperkuat posisi negara-negara peserta, termasuk Indonesia, dalam memperjuangkan perdagangan plastik yang lebih adil dan berkelanjutan.
Komitmen ini dianggap penting sebab tidak hanya untuk lingkungan, namun juga untuk menyelamatkan kesehatan manusia, mengingat zat berbahaya dalam plastik telah ditemukan di tubuh manusia dan lingkungan. INC-5 diharapkan menjadi momen historis bagi dunia, termasuk Indonesia, untuk menetapkan langkah ambisius yang berdampak pada generasi mendatang.
Baca juga : Penelitian: Indonesia Urutan Ketiga di Dunia Penghasil Polusi Plastik
Meski demikian, Rahyang juga menyoroti minimnya alokasi pendanaan untuk pengurangan sampah di Indonesia. Dia bilang, anggaran pengurangan sampah di sebagian besar wilayah Indonesia hanya berkisar 0,5 hingga 1 persen. Hanya di kota besar seperti Bandung, anggarannya mencapai 3 persen, namun ini juga dinilai masih jauh dari cukup.
Menurutnya, untuk membangun solusi nyata, perlu pendanaan yang kuat, termasuk revisi terhadap kebijakan yang membebani masyarakat, seperti pajak tambahan.
Rahyang juga mendorong regulasi untuk mendukung konsep tanpa kemasan dan penggunaan kemasan aman buat guna ulang. “Jadi, Institut Pertanian Bogor sedang meriset juga beberapa kemasan plastik yang memang ada potensi bisa guna ulang. Tetapi punya lepasan senyawa kimia berbahaya yang lebih rendah,” katanya.
Pihaknya juga tengah menunggu hasil riset tersebut untuk mendukung studi pendahuluan yang dilakukan untuk memperjelas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Lewat aturan ini, produsen diminta untuk mengurangi sampah yang dihasilkan, dengan target pengurangan 30 persen pada tahun 2029.
Tantangan dan Potensi Regulasi
Darina Maulana, Indonesia Program Lead Zero Waste Living Lab, menyoroti peran krusial regulasi dalam menggerakkan perubahan nyata dan keberlanjutan. Dia bilang, regulasi merupakan kunci utama. Masyarakat Indonesia sudah memulai banyak inisiatif baik dari komunitas, namun untuk melangkah lebih jauh, dibutuhkan regulasi yang resmi dan mengikat.
Sebab, regulasi ini dinilai yang akan membuka jalan bagi pembiayaan, pembangunan infrastruktur, hingga penguatan kolaborasi lintas sektor.
Darina menambahkan, Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah target lingkungan yang ambisius, seperti pengurangan 70 persen sampah plastik di laut pada 2025, sesuai dengan National Action Plan on Marine Debris.
Baca juga : Mengapa Urgen Tekan Bahkan Hapus Sampah Plastik?
Namun, pencapaian target ini membutuhkan dukungan yang lebih kuat dalam bentuk kebijakan yang dapat menggerakkan seluruh elemen masyarakat, termasuk sektor swasta, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah.
Dalam konteks perjanjian plastik global, international legally binding instrument (ILBI) yang akan dirundingkan di INC-5 menjadi momen penting. ILBI diharapkan tidak hanya menetapkan standar global untuk pengurangan produksi plastik, tetapi juga memastikan implementasi solusi ditingkat nasional.
“Harapannya, ILBI ini dapat memperkuat komitmen Indonesia, tidak hanya pada level kebijakan tetapi juga dalam implementasi nyata. Jadi, kolaborasi dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memastikan perubahan ini berdampak luas,” katanya.
Selain itu, sambung Darina, perjanjian plastik global ke-5 nantinya diharapkan bisa menjadi titik balik dalam upaya global menangani polusi plastik, dengan regulasi yang tidak hanya ambisius namun juga dapat dijalankan secara efektif di lapangan.
Rizka Adriana, Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut menegaskan, pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk produsen, dan pemerintah dalam mensukseskan implementasi solusi untuk mengurangi polusi plastik.
Menurut Rizka, salah satu inisiatif yang tengah didorong pemerintah yaitu implementasi kebijakan P75, sebuah mekanisme yang mencakup insentif dan regulasi untuk produsen dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
“Saat ini pemerintah sudah memberikan apresiasi kepada 20 produsen yang dinilai berhasil menerapkan kebijakan pengurangan plastik. Harapannya, langkah ini dapat menjadi contoh bagi produsen lain untuk mengikuti jejak mereka,” pungkasnya.
Baca juga : Pemimpin ASEAN Didesak Bersikap Tegas dalam Perundingan Plastik Global
Diketahui, hingga Oktober 2024 pemerintah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak untuk naskah Perjanjian Plastik Global. Naskah itu diharapkan jadi bahan diplomasi anggota delegasi Indonesia pada forum INC-5 yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, TKNPSL dan pihak terkait lain. (H-2)
INC merupakan pertemuan dari negara anggota PBB yang membahas tentang perjanjian plastik global atau Global Plastic Treaty (GPT) yang diselenggarakan oleh Program Lingkungan PBB (UNEP). INC merupakan tindak lanjut dari resolusi yang dihasilkan dalam sesi kelima Majelis Lingkungan Hidup PBB (UNEA-5.2), sebuah resolusi bersejarah diadopsi untuk mengembangkan instrumen yang mengikat secara hukum internasional mengenai polusi plastik, termasuk di lingkungan laut.
INC diharapkan dapat menghasilkan draft perjanjian plastik global yang mengikat secara hukum pada akhir 2024 dengan pendekatan komprehensif yang mencakup seluruh siklus plastik, termasuk produksi, desain, dan pembuangannya. (***)
Di Tengah Minimnya Data, Hentikan Polusi Mikroplastik di Laut jadi Tantangan Global