- Akibat penutupan TPA Piyungan sejak Maret 2024, sampah di depo Kotabaru, Yogyakarta menggunung. Ini berdampak juga pada penurunan pendapatan pedagang bunga yang ada di sekitarnya. Pemerintah daerah dianggap lamban dalam menangani masalah ini, meskipun Menteri Lingkungan Hidup telah mendesak penyelesaian dan mengancam langkah hukum bagi pihak yang terbukti lalai.
- Para pasangan calon walikota Kota Yogyakarta dalam Pilkada 2024 menawarkan solusi berbeda dalam menanggapi isu ini. Heroe-Supena mengusulkan pengelolaan mandiri dengan teknologi dan bekerja sama dengan kelurahan, Hasto-Wawan akan melakukan pembangunan TPS di Kulonprogo meski banyak penolakan dari warga, Afnan-Singgih akan mengadaptasi teknologi RDF dan memberikan hibah dana untuk RW.
- Anggaran Dinas Lingkungan Hidup Yogyakarta sangat kecil dibanding dinas lainnya. Jumlahnya mencapai Rp 24 Miliar, hanya 0,78% dana untuk pengelolaan di tingkat tapak, seperti pendampingan bank sampah. Wiratni Budhijanto dari UGM menyoroti pentingnya keterlibatan bisnis besar dalam pengelolaan sampah melalui CSR dan kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk solusi yang berkelanjutan.
- Joko Sularno dan Siti Nur Jannah merintis Bank Sampah Lintas Winongo tanpa bantuan pemerintah. Ini membuktikan bahwa solusi komunal bisa efektif. Pemerintah Kota Yogyakarta kurang serius mendukung keberlanjutan bank sampah, terbukti dari alokasi dana yang minim dan kurangnya monitoring program seperti biopori.
Harum wangi bunga kios Melati Florist tak lagi sedap. Jejeran kios bunga di Jalan Merbabu, Kotabaru, Kota Yogyakarta gelisah lantaran gunungan sampah di depo Kotabaru menimbulkan bau tak sedap. Kejadian ini sudah terjadi berulang dan berbulan-bulan karena TPA Piyungan tutup sejak Maret 2024. Pedagang kios bunga pun pasrah mengalami penurunan pendapatan.
Hujan mengguyur deras Kota Yogyakarta. Suaranya riuh menghantam atap seng yang menaungi kios bunga Melati Florist yang berada di Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Kios milik Agus tepat bersebalahan tembok dengan depo Kotabaru. Tempias air lindi mengalir deras melewati kaki-kaki meja–tempat dia menjajakan bunganya.
“Pelanggan banyak yang nggak betah sama baunya,” keluh Agus. “Kalo diitung-itung nih ya, pemasukan toko turun lima puluh persen.”
Meski aroma sampah mencekat penciuman Agus, tetapi dia tak berhenti bekerja. Kios Melati Florist masih tertata rapi. Tangannya cekatan merangkai dua tangkai mawar jambon dan putih, lalu melapisinya dengan plastik bening. Bunga-bunga beragam warna terangkum dalam ember plastik yang berjajar di muka kios.
Sudah enam bulan lamanya sampah di Depo Kotabaru tak diangkut. Semenjak Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta menutup TPA Piyungan, sampah dibiarkan menggunung dan luber ke jalanan. Para pelanggan Melati Florist harus berdesakan dengan tumpukan sampah demi mendapatkan tempat parkir.
“Pemerintah harusnya beneran gerak buat beresin sampah ini. Segera, gak cuma sebatas omdo,” tandasnya.
Baca juga: Ruwatan Sampah di Malioboro, Yogyakarta
Pada 18 November lalu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq melakukan inspeksi dadakan di depo Mandala Krida, Kota Yogyakarta dan TPA Piyungan. Dia mendesak agar pemerintah daerah, baik tingkat kota/kabupaten maupun provinsi segera mencari jalan keluar yang konkret.
“Harus ada yang bertanggung jawab atas kondisi ini. Jika terbukti ada pelanggaran, saya akan menyeret pihak yang bersalah ke jalur hukum sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008,” ujarnya.
Hanif bilang akan menurunkan tim penyidik dan pengawas lingkungan hidup untuk menyelidiki masalah sampah di Kota Jogja. Jika ada yang terbukti lalai, pihaknya bakal menempuh langkah hukum.
Baca juga: Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk
Calon Pilkada Serukan Darurat Sampah
Isu darurat sampah di Yogyakarta turut menjadi perhatian dalam jelang pilkada serentak 2024. Ketiga pasangan calon walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi dan Sri Widya Supena, Hasto Wardoyo dan Wawan Hermawan, serta Afnan Hadikusumo dan Singgih Raharjo memaparkan rencana pengelolaan sampah.
Saat mengisi podcast bersama Masjid Jogokariyan TV, pasangan Heroe dan Supena berencana mendorong masyarakat Kota Yogyakarta untuk mengelola sampah secara mandiri dengan menggunakan teknologi. Dari 350 ton sampah per hari, katanya, pemerintah akan mengelola 150 ton dengan mesin dan sisanya dikelola oleh masyarakat. Sekitar, 20-30 ton per hari.
Heroe menginginkan adanya kerjasama dengan kelurahan-kelurahan untuk menuntaskan permasalahan sampah. “Beberapa warga Jogja membuang sampah melalui pihak ketiga di beberapa kelurahan di Bantul yang memiliki mesin pengolah sampah. Pemerintah tidak perlu cari tanah lagi. Kita akan bekerja sama dengan kelurahan-kelurahan untuk membeli mesin.”
Tak seperti Heroe-Pena, paslon Hasto-Wawan punya kebijakan berbeda untuk mengatasi sampah Yogyakarta jika mereka terpilih. Pada 1 Oktober 2024 lalu, Hasto Wardoyo meninjau lahan di Ngentakrejo, Kulonprogo yang rencananya akan dibangun menjadi TPS.
Dia menyiapkan program kerjasama antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Kulonprogo. Nantinya, TPS di Ngentakrejo akan memanfaatkan lahan bekas aliran Sungai Progo. Bersama dengan PT Sinergi Bumilangit Seraya (SBS), pemerintah nantinya akan mengelola sampah organik dan anorganik.
Sayangnya, warga Kulonprogo sendiri justru tak merestui rencana tersebut. Mereka tidak mau bila sampah dari kota Yogyakarta dibuang di lahan Kulonprogo.
Pada debat publik Pilkada Yogyakarta, Afnan-Singgih memiliki program nol sampah yang rencananya akan terwujud dari tata kelola sampah berkelanjutan dengan teknologi ramah lingkungan.
Afnan berjanji mengatasi permasalahan sampah selama 100 bekerja. Jika mereka terpilih, mereka berencana memusnahkan seluruh sampah di Yogyakarta dengan teknologi Refused Derived Full (RDF). “Setelahnya, akan kita tangani dengan cara normal, reduce, reuse, recycle,” ungkap Afnan.
Dia berniat mendorong keterlibatan warga, salah satunya rencana pelatihan biopori dan pemilahan sampah bagi warga. “300an ton sampah itu 50%-nya adalah sampah organik dan termasuk di dalamnya adalah sampah sisa makanan,” kata Singgih.
Di samping mengandalkan RDF, ada pula program hibah dana sebesar 100 juta per tahun untuk tiap RW. Program ini diharapkan mampu menjadi solusi pamungkas untuk keterbatasan dana operasional bank sampah. Singgih menjelaskan, “Nanti persentasi berapa yang akan digunakan buat bank sampah diserahkan ke warga di setiap RW.”
Selain Afnan-Singgih, Mongabay sudah berusaha menghubungi dua paslon lainnya. Namun, hingga hari ini, mereka tidak menanggapi undangan wawancara yang telah dikirimkan.
Wiratni Budhijanto, dosen Teknik Kimia UGM yang berfokus pada pengolahan limbah mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab menanggulangi darurat sampah Yogyakarta. Dia mempertanyakan keterlibatan bisnis-bisnis besar dalam penanggulangan sampah.
“Selama ini, kehebohan soal sampah belum melibatkan bisnis-bisnis gede,” cetusnya. “Padahal mereka ini sumber sampah yang gede banget di Jogja.”
Kata Wiratni, para pebisnis bisa menggunakan dana CSR untuk pembiayaan pengolahan sampah berbasis komunal. Serta terlibat bersama turut pemerintah dalam program edukasi pemilahan sampah bagi masyarakat.
Sebagai contoh, Wiratni menyebut hotel-hotel besar di pinggir Kali Code. “Hotel-hotel ini bisa nggak berkontribusi aktif dalam bentuk CSR atau apapun untuk pengelolaan sampah?” tanyanya.
Di akhir penjelasannya, Wiratni mengingatkan pemerintah atas perlunya kolaborasi dengan perguruan tinggi demi mewujudkan Yogyakarta yang bersih dari sampah. “Kita ini tuh harusnya dipandang sebagai mitra oleh pemerinta. Bukan sebagai oponenn, bukan sebagai pihak yang cuman bisa mengkritik,” harapnya.
“Karena sampah ini juga masalah kita bersama,” pungkas Wiratni.
Baca juga: Sampah di Yogyakarta yang Tak Pernah Tuntas
Upaya Komunal Selesaikan Sampah
Pada 2008, Joko Sularno selalu berjumpa dengan gundukan sampah tiap berjalan kaki dari rumah ke kantornya. Segala macam sampah tercampur, baik organik maupun anorganik. Bersama istrinya, Siti Nur Jannah, Joko merintis bank sampah—Lintas Winongo.
Mereka belajar secara otodidak dan menyalurkan ilmu pengolahan sampah kepada ibu-ibu PKK. Ketekunan mereka membuahkan hasil. Sampai hari ini, Bank Sampah Lintas Winongo aktif melayani RW 11, Kampung Bumijo, Kemantren Jetis.
“Dua minggu sekali, ada penimbangan sampah. Sekali nimbang, bisa dapat 500 sampai 600 ribu dari pengepul,” ujar Joko dengan bangga.
Selama mereka merintis pendirian Bank Sampah Lintas Winongo, Joko dan Siti sama sekali tak mendapat bantuan dari Pemkot Yogyakarta. Joko memperoleh modal untuk membiayai kegiatan bank sampah dengan cara mengajukan proposal ke LSM Sahabat.
“Pemkot baru gencar-gencarnya bangun bank sampah tahun 2010. Saya sudah duluan merintis tanpa pelatihan-pelatihan ataupun biaya dari mereka.”
Kendati demikian, setelah berhasil mendirikan 666 bank sampah pada tahun 2024, Pemkot juga masih tak serius mengurusi keberlangsungannya. Joko tak menampik bahwa pemkot memang sudah mencoba mengatakan pelatihan dan pendanaan. “Dana itu ada dari mereka, tapi nggak rutin,” keluh Joko. “Dapat dana kalo menang lomba saja.”
Pembinaan yang diselenggarakan kerap kali terabaikan. Joko menceritakan pemerintah pernah mengadakan pembinaan biopori untuk warga. Namun, mereka hanya memasang unit-unit alat biopori tanpa mengadakan monitoring.
“Biopori cuma dikasihkan, des jadi. Gitu saja, terus monitoringnya nggak ada. Padahal, biopori perlu di-monitoring.”
Di tengah segelintir kendala yang dialami bank-bank sampah Yogyakarta, Joko menyinggung anggaran dana dari pemerintah yang sangat sedikit untuk permasalahan sampah. “Walikota Jogja harusnya punya komitmen tinggi buat menuntaskan masalah sampah. Sejauh ini, belum ada ya,” sindir Joko. “Dilihat dari anggaran yang ada, dana pengelolaan sampah ini kan ada di nomor belakang.”
Pembiayaan untuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menempati urutan kesembilan dari 19 dinas di Kota Yogyakarta pada tahun 2024. Berdasarkan data Komposisi Anggaran SKPD, mereka menerima dana sebesar Rp 24 Miliar. Sedangkan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga yang berada di peringkat pertama menerima kucuran dana sebesar Rp 468 Miliar.
DLH hanya mengalokasikan biaya sebesar Rp 195.850.000 untuk pelatihan dan pendampingan bank sampah. Artinya, mereka hanya memanfaatkan 0,78% dari total dana yang diberikan.
Berbanding lurus dengan sedikitnya penyisihan dana untuk kegiatan bank sampah, usaha Yogyakarta mengurangi timbulan sampah tak menunjukkan prestasi yang baik. Sedari tahun 2021-2023, Yogyakarta hanya mampu mengurangi 18% hingga 22% dari timbulan sampah yang ada.
Melihat minimnya pendanaan untuk pengelolaan sampah, Joko teringat ketiga pasangan calon walikota dan wakil walikota yang akan dipilih warga Yogyakarta pada 27 November mendatang. “Para calon-calon ini harus punya komitmen tinggi untuk menuntaskan darurat sampah di Jogja,” tegas Joko. “Kalau kemarin-kemarin, dari pendanaan yang ada, kan belum jadi prioritas. Kedepannya tentu harus dijadikan prioritas.”
Sementara itu, Wiratni dari UGM mengatakan perlu diadakan edukasi pemilahan bagi masyarakat secara serius. Kondisi sampah di Yogyakarta, menurut Wiratni, masih belum terpilah dengan baik. Akibatnya, timbul kesulitan untuk mengolah sampah lebih lanjut.
“Pemerintah tetap harus mengeluarkan biaya karena itu bagian dari tanggung jawab,” tegas Wiratni. “Permasalahan yang dihadapi pemerintah tidak akan setinggi kalau sampahnya tidak terpilah.”
Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk di Yogyakarta
*Sidney Alvionita Saputra adalah jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan sarjana Teknik Infrastruktur Lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis tentang isu-isu lingkungan dan perempuan, fokusnya pada dampak lingkungan dan keadilan gender.