- Sejak 13 abad lalu, datuk atau pemimpin Kedatuan Sriwijaya sudah menyebutkan jenis tanaman yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup, seperti kelapa, pinang, aren, sagu, dan beragam jenis bambu.
- Beragam jenis tanaman tersebut bukan hanya sebagai sumber pangan dan papan, juga ekonomi.
- Saat ini, pohon sagu dan aren semakin sulit ditemukan di Sumatera Selatan.
- Perlu dilakukan penanaman kembali beragam jenis tanaman tersebut. Tapi bukan semata demi kepentingan ekonomi, tapi sebagai sumber pangan dan menjaga ekosistem lingkungan.
Sejak 13 abad lalu, datuk atau pemimpin di Kedatuan Sriwijaya, telah menyatakan sejumlah tanaman yang memiliki manfaat bagi semua makhluk hidup. Catatan tersebut tertuang dalam Prasasti Talang Tuwo, yang dibuat tahun 684 Masehi. Tanaman yang disebut itu antara lain kelapa [Cocos nucifera], pinang [Areca catechu], aren [Arenga pinnata], sagu [Metroxylon sagu Rottb.], dan beragam jenis bambu [Bambusoideae].
Semua tanaman tersebut dapat tumbuh di semua wilayah, baik dataran rendah maupun dataran tinggi. Bagi masyarakat, semua tanaman tersebut merupakan sumber pangan, papan dan ekonomi, sehingga menjadi bagian penting dalam peradaban manusia di Sumatera Selatan.
Bagaimana kondisi tanaman tersebut?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan, hanya kelapa yang masih ditanam masyarakat sebagai sumber ekonomi.
Pada 2023, perkebunan kelapa di Sumatera Selatan luasnya mencapai 69.239 hektar. Perkebunan terluas berada di Kabupaten Banyuasin yang mencapai 48.266 hektar, kemudian Kabupaten Musi Banyuasin [8.273 hektar], Kabupaten Musi Rawas [2.866 hektar], dan Kabupaten Ogan Komering Ilir [2.255 hektar].
Selain kelapa, tanaman dari masa Kedatuan Sriwijaya yang masih bertahan adalah beragam jenis bambu dan pinang.
Baca: Pohon Aren, Kolang-Kaling, dan Jasa Musang
Bambu bagi masyarakat Sumatera Selatan, bukan hanya sebagai bahan baku papan, juga pangan. Rebung, khususnya rebung bambu betung, masih ditemukan di pasaran tradisional untuk dikonsumsi sebagai sayuran.
Bambu juga masih digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti dijadikan bahan pagar, dinding rumah, serta kerajinan seperti kursi, peralatan menangkap ikan, dan berkebun.
Sementara pinang, masih ditanam masyarakat. Umumnya, buah pinang dijual untuk kebutuhan ekspor. Di masyarakat, uah pinang juga dibutuhkan sebagai bahan menyirih, yaitu tradisi menguyah buah pinang, daun sirih, dan kapur sirih.
Tidak ditemukan data luasan kebun bambu dan pinang di situs Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan. Tapi dikutip dari bisnis.com, pada 2017, luas perkebunan pinang di Sumatera Selatan mencapai 1.522 hektar. Sedangkan data luasan kebun bambu belum ditemukan dari sumber lainnya.
Saat ini, tanaman yang mendominasi adalah “tanaman pendatang” seperti karet, sawit, kopi, dan kakao. Perkebunan karet seluas 1.232.205 hektar, sawit [1.254.613 hektar], kopi [267.187 hektar], serta kakao [9.985 hektar].
Baca: Smulen, Aren Unggulan Nasional dari Bengkulu
Aren dan Sagu
Aren dan sagu merupakan tanaman yang kondisinya semakin sulit ditemukan di Sumatera Selatan. Padahal, keduanya merupakan tanaman yang melahirkan penganan khas Sumatera Selatan yakni pempek atau yang dikenal sebagai “pempek Palembang”. Tepung sagu digunakan sebagai bahan baku pempek yang dicampur daging ikan, sementara gula aren sebagai bahan cuko atau saos pempek.
Di sejumlah wilayah yang dulunya banyak didapatkan tanaman sagu dan aren, saat ini sulit didapatkan. Misalnya, di wilayah lahan basah Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
“Dulu desa ini banyak pohon aren dan sagu, sekarang sudah habis. Khususnya pohon sagu. Kalau aren masih ada di sejumlah kebun, tapi paling satu atau dua batang,” kata Eddy Saputra, warga Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sabtu [23/11/2024].
“Sagu dulu kan banyak tumbuh di hutan rawa gambut, tapi setelah hutan habis, habis pula pohonnya. Sementara, pohon aren banyak habis dikarenakan tidak ada lagi yang mengelola gula aren di sini,” jelas Eddy.
Baca: Menanam Pohon, Membangun Peradaban Manusia
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan pada 2018, luasan kebun aren sekitar 1.095 hektar dengan produksi gula aren sekitar 297 ton.
Perkebunan ini ditemukan di Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu [OKU], Ogan Komering Ilir [OKI], Muara Enim, dan Prabumulih.
“Menurut cerita para tetua, Semende ini dulunya sentra produksi gula aren selain kopi. Sekarang tidak lagi, hanya tersisa puluhan atau ratusan pohon,” kata Buyung, warga Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, beberapa waktu lalu.
Bertahannya tanaman aren, kata Buyung, dikarenakan dalam adat Suku Semende, setiap kali dilakukan pesta atau hajatan, masakan wajibnya adalah sayuran rebung aren.
“Kalau tidak ada, hajatan tidak sah,” jelasnya.
Di Tanah Abang, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], tanaman aren juga mulai berkurang.
“Tanah Abang dulunya sentra gula aren, selain karet dan beras. Tapi karena permintaan gula aren menurun meskipun harganya tinggi, banyak masyarakat tidak lagi menanam dan mengelola gulanya,” kata Syamsul, warga Tanah Abang.
Sedangkan sagu yang dulunya banyak tumbuh juga tidak ada lagi.
“Banyak ditebang karena pembukaan lahan, sementara yang menanam tidak ada lagi.”
Selain habisnya hutan, kritisnya tanaman sagu dan aren, juga karena hadirnya komoditas gula pasir, gula batok kelapa, dan tepung tapioka. Saat ini, masyarakat yang membuat pempek menggunakan tepung tapioka yang persediaannya lebih banyak dan harganya lebih murah dibandingkan tepung sagu. Sedangkan gula aren, digantikan gula batok kelapa dan gula pasir.
Baca: Sagu, Sumber Pangan Nasional yang Belum Dimaksimalkan
Ditanam Kembali
Hendra Setyawan dari Jejak Bumi Indonesia [JBI], sebuah organisasi lingkungan yang banyak bekerja di wilayah Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan dan Ogan Komering Ulu [OKU], berharap pemerintah di Sumatera Selatan melakukan penanaman kembali aren dan sagu. Serta, mempertahankan kelapa, pinang dan bambu.
Dijelaskan Hendra, berbagai tanaman tersebut terbukti memberikan manfaat untuk lingkungan dan semua makhluk hidup.
“Tanaman itu bukan hanya menjadi sumber pangan, papan, dan ekonomi, juga berdampak baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Semua tanaman itu memiliki fungsi penting menjaga tata kelola air dan lahan,” katanya, Minggu [24/11/2024].
Dijelaskan Hendra, di permukiman dan perkebunan rakyat di perbukitan Gunung Patah, bagian [penyangga] Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], selama ratusan tahun mereka memproduksi gula aren, kelapa, sagu, dan bambu.
“Tapi, dalam 30 tahun terakhir, pohon aren dan sagu sulit ditemukan. Sementara perkebunan bambu dan pinang mulai berkurang. Itu semua akibat pembukaan hutan dan ekspansi perkebunan komoditas lainnya, seperti sawit dan kopi.”
Dalam menanam kembali sagu, aren, dan pinang, jangan semata karena faktor ekonomi. Tapi lebih pada pemenuhan kebutuhan pangan, obat-obatan, dan menjaga ekosistem lingkungan.
“Kalau semata kepentingan ekonomi, akan tetap kalah dibandingkan karet, sawit, atau komoditas lainnya, sehingga orang malas menanamnya,” tuturnya.
Dikutip dari lindungihutan.com, manfaat pohon aren bagi kesehatan manusia antara lain, dari buahnya untuk melancarkan pembuangan air besar, penyakit jantung koroner, kanker usus, dan kencing manis. Nira aren segar bermanfaat untuk mengobati TBC, sariawan, disentri, wasir, dan memperlancar buang air besar.
Sementara tepung sagu memberikan manfaat bagi kesehatan jantung, sistem pencernaan, kesehatan tulang, dan sendi.
Buah pinang memberikan manfaat kesehatan bagi manusia, seperti menurunkan tekanan darah, menjaga kesehatan mulut, mengatasi anemia, menambah energi, dan melancarkan pencernaan.
Buah kelapa dikenal dapat mengatasi penyakit gigi, meningkatkan kekebalan tubuh, mengontrol kadar gula, menurunkan berat badan, menjaga kesehatan jantung dan tekanan darah.
Beragam jenis bambu, baik dari daun maupun rebungnya, memberikan manfaat bagi kesehatan manusia dengan meningkatkan kekebalan tubuh [antioksidan], anti-inflamasi, detoksifikasi, dan mengendalikan kolesterol.