- Kesejahteraan ekonomi selalu menjadi simbol keberhasilan pembangunan pada suatu wilayah, di manapun berada. Termasuk, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang pemangku kepentingan utamanya didominasi oleh nelayan skala kecil dan tradisional
- Sebagai simbol utama dari industri perikanan tangkap, nelayan menjadi kontributor penting untuk rantai pasok dingin di Indonesia. Namun sayangnya, nelayan tradisional dan skala kecil selalu identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan secara ekonomi
- Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan nelayan, adalah melalui nilai tukar nelayan (NTN) yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). NTN ditetapkan dengan besaran angka yang menjadi skor akhir
- Sayangnya, NTN 2023 mengalami perlambatan dibandingkan 2022. Penyebabnya, disebabkan indeks yang diterima nelayan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan indeks yang harus dibayar keluarga nelayan
Pemangku kepentingan utama pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selalu identik dengan nelayan, orang yang berprofesi sebagai penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan (API) sederhana dan perahu dengan ukuran kecil.
Sebagai simbol utama dari industri perikanan tangkap, nelayan menjadi kontributor penting untuk rantai pasok dingin di Indonesia. Namun sayangnya, nelayan tradisional dan skala kecil selalu identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan secara ekonomi.
Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan nelayan, adalah melalui nilai tukar nelayan (NTN) yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). NTN ditetapkan dengan besaran angka yang menjadi skor akhir.
Biasanya, skor NTN akan muncul setelah dilakukan perbandingan besaran harga yang diterima (IT) dengan harga yang dibayarkan (IB) oleh nelayan terhadap produk perikanan. Skor NTN harus minimal 100 untuk menu menjelaskan standar kesejahteraan.
Jika lebih dari 100, maka itu menjelaskan kalau harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsi. Itu berarti, pendapatan nelayan lebih besar dari pengeluaran atau dengan kata lain terjadi surplus.
Sebaliknya, jika angka kurang dari 100, maka harga produksi lebih dari rendah dari kenaikan harga konsumsi. Itu berarti, pendapatan nelayan turun lebih kecil dari pengeluaran, atau dengan kata lain nelayan mengalami defisit.
Pengajar Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana menjabarkan kalau NTN 2023 mengalami perlambatan dibandingkan 2022. Penyebab keterlambatan, disebabkan indeks yang diterima nelayan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan indeks yang harus dibayar keluarga nelayan.
“Indeks yang harus dibayar keluarga nelayan sangat didorong oleh peningkatan biaya konsumsi rumah tangga dan biaya melaut,” jelasnya belum lama ini di Jakarta.
Baca : Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif
Selain NTN, kesejahteraan nelayan juga bisa dilihat dari skor Nilai Tukar Pembudi daya ikan (NTPi). Namun seperti halnya NTN, pada 2023 NTPi juga tidak memperlihatkan kenaikan signifikan dibandingkan 2022. Peningkatannya hanya mencapai 0,28 persen saja.
Menurutnya, penyebab NTPi naik sangat sedikit, adalah karena indeks harga yang dibayar pembudidaya ikan mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan 2022. Sementara indeks harga yang diterima para pembudidaya peningkatannya di bawah 2022.
Agar NTN dan NTPi bisa naik, perlu dijalankan strategi yang tepat, di antaranya dengan melakukan diversifikasi produk perikanan melalui hilirisasi; pengembangan produk turunan seperti susu ikan; akses pasar yang lebih luas; kualitas hasil tangkapan; dan minawisata.
Kemudian, menekan biaya pengeluaran keluarga nelayan dan pembudidaya ikan melalui efisiensi biaya operasional dan pengendalian harga kebutuhan pokok; pengendalian harga input perikanan; dan menjaga keberlanjutan sumber daya ikan.
“Serta meningkatkan perlindungan bagi keluarga nelayan dan pembudidaya ikan, dan meningkatkan fasilitas akses infrastruktur seperti pelabuhan, pasar, dan transportasi,” sambungnya.
Ekonomi Perikanan Melambat
Meningkatkan NTN dan NTPi juga menjadi tantangan, karena Suhana menerangkan kalau pertumbuhan ekonomi perikanan pada triwulan 3 2024 hanya mencapai 1,86 persen dan jauh berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Capaian tersebut menjelaskan bahwa sampai triwulan 3, rerata pertumbuhan ekonomi perikanan 2024 hanya mencapai 0,77 persen. Itu artinya, jika pertumbuhan ekonomi perikanan 2024 di atas 5 persen, maka pertumbuhan ekonomi perikanan pada triwulan 4 2024 harus berada di atas 9 persen.
Suhana menjelaskan, faktor penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi perikanan di antaranya adalah terjadi pelemahan permintaan akhir domestik yang diduga kuat sebagai dampak dari penurunan daya beli ikan di masyarakat.
“Hal ini pun tercermin dari NTN dan NTPi yang cenderung terus melemah sejak akhir tahun 2022,” ucapnya.
Baca juga : Perlunya Peta Jalan Perikanan Tangkap untuk Kesejahteraan Nelayan
Dia berharap, pelemahan tersebut bisa pulih melalui program makan bergizi gratis yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan berbasis komoditas ikan. Selain itu, harapan juga dibebankan kepada ekspor produk perikanan agar bisa mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi perikanan.
Berdasarkan data yang diolah dari KKP yang diterbitkan 2024, produksi ikan tangkap di laut sepanjang 2023 mencapai total 7,71 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dengan prosentase 74,53 persen adalah ikan yang didaratkan bukan di pelabuhan (non-pelabuhan).
“Itu artinya, hanya 25,47 persen saja ikan hasil tangkapan di laut yang didaratkan di pelabuhan,” terangnya.
Merujuk data yang diterbitkan KKP pada 2023 tersebut, nelayan kecil tetap menjadi kontributor utama sebagai penangkap ikan di laut. Sepanjang tahun tersebut, produksi ikan tangkap di laut yang diproduksi nelayan kecil mencapai 69,52 persen.
Walau persentasenya tetap mendominasi, namun Suhana mengatakan kalau dibandingkan dengan produksi yang sama pada 2022, terjadi penurunan sebesar 4,30 persen karena produksi ikan di laut pada 2022 mencapai 73,82 persen.
Nelayan kecil, menurut Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (GT).
Kemudian, merujuk pada UU No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, nelayan kecil adalah yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 GT.
Sementara, Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut mendefinisikan nelayan kecil sebagai orang yang melakukan penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan penangkap ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 GT.
Terakhir, berdasarkan PP No 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.
Baca juga : 10 Tahun Jokowi : Kondisi Nelayan Tradisional Perbatasan yang Kian Tersudutkan
Kapal Perikanan
Selain nelayan, produksi ikan tangkap di laut juga melibatkan kapal perikanan dengan beragam ukuran yang mencakup kurang dari 10 GT, 10-30 GT, dan lebih dari 30 GT. Di antara ketiganya, kelompok kapal di bawah 10 GT tetap mendominasi dengan total hasil tangkapan 5.357.565.330 kilogram sepanjang 2023.
Kapal dengan ukuran 10-30 GT juga berkontribusi besar, karena memproduksi ikan tangkap di laut sebanyak 1.440.525.724 kg sepanjang 2023. Sementara, kapal ikan berukuran 30 GT ke atas sukses memproduksi sebanyak 908.132.035 kg sepanjang 2023.
Walau volumenya jauh dari kapal ikan di bawah 10 GT, namun ternyata kapal berukuran di atas 30 GT berhasil membukukan kinerja positif karena persentase produksi 2023 lebih baik dibanding 2022. Atau, dengan kata lain ada kenaikan 4,43 persen pada 2023 dibanding 2022 sebesar 7,32 persen.
Berdasarkan peta sebaran produksi ikan tangkap di laut pada 2023, Suhana menjabarkan kalau Jawa Tengah tercatat menjadi provinsi dengan produksi terbanyak di Indonesia. Jateng sepanjang 2023 berhasil mendominasi produksi dengan capaian 707 ribu ton atau 9,18 persen dari total produksi nasional.
Selain Jateng, provinsi lain dengan produksi ikan tangkap di laut yang tinggi adalah Jawa Timur dengan 569 ribu ton atau 7,38 persen, Maluku dengan 506 ribu ton atau 6,57 persen, Sulawesi Selatan dengan 458 ribu ton atau 5,94 persen, dan Sumatera Utara dengan 372 ribu ton atau 4,82 persen.
Lebih jauh, Suhana kemudian menjabarkan tentang studi kasus lokasi pendaratan ikan hasil tangkapan nelayan di Maluku pada 2022. Sepanjang tahun tersebut, produksi ikan berhasil mencapai 518.615 ton, dimana 91,20 persen didaratkan di luar pelabuhan dan 8,80 persen di dalam Pelabuhan perikanan.
“Total produksi mencapai 518.615 ton, di mana sekitar 43,16 persen didaratkan di lokasi yang tidak memiliki sarana prasarana rantai dingin,” jelasnya.
Berdasarkan total produksi pada 2022, didapatkan data total ikan yang dilalulintaskan terhadap total produksi nelayan di Maluku sebanyak 61.232 ton atau sebesar 11,81 persen dari total produksi ikan nelayan.
“Rasio ikan yang dilalulintaskan terhadap total produksi ikan tertinggi adalah di Kota Ambon dengan 75,87 persen dan Kepulauan Aru dengan 45,33 persen,” paparnya.
Perikanan Budi daya Meningkat
Selain perikanan tangkap, perikanan budi daya juga memengaruhi capaian NTN dan NTPi pada 2023. Sepanjang tahun tersebut, total produksi budi daya perikanan pembesaran mencapai 15,36 juta ton atau naik sebesar 3,96 persen dibandingkan pada 2022.
Sementara, komoditas yang diproduksi melalui perikanan budi daya adalah mencakup lima komoditas terbesar dan sebagian menjadi andalan ekspor produk perikanan nasional, Kelimanya adalah rumput laut (63 persen), tilapia (9 persen), lele (7 persen), bandeng (5 persen) dan udang vaname (5 persen).
Provinsi dengan produksi perikanan budi daya tertinggi sepanjang 2023 adalah Sulawesi Selatan dengan capaian 4.117 ribu ton (26,80 persen), Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 1.579 ribu ton (10.28 persen), Jawa Timur dengan 1.38 ribu ton (8,77 persen), dan Jawa Barat dengan 1.309 ribu ton (8,52 persen).
Secara keseluruhan, Suhana menyebut kalau jumlah kontribusi ekspor untuk sektor kelautan dan perikanan cenderung lebih kecil dibandingkan kontribusi konsumsi dalam negeri. Perlu dilakukan upaya peningkatan permintaan konsumen dalam negeri sebagai salah satu faktor yang bisa menunjang pertumbuhan ekonomi ini.
“Tapi jika kita ingin meningkatkani ekspor dari sektor kelautan dan perikanan, ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan dari apa yang sudah kita miliki saat ini,” ungkapnya.
Menurut dia, share terbesar yang berpengaruh terhadap PDB Perikanan adalah permintaan akhir (konsumsi) domestik. Hal ini diduga kuat dampak dari penurunan daya beli ikan di masyarakat, itu tercermin dari NTN dan NTPi yang cenderung terus melemah sejak akhir 2022.
Ketua Asosiasi Tuna Indonesia Saut Hutagalung, mengingatkan bahwa saat ini banyak tantangan yang harus diperhatikan pada upaya meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan pada pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita menginginkan pertumbuhan ekonomi perikanan yang berkualitas dan berkelanjutan,” katanya.
Oleh karena itu perlu perhatian dan investasi pemerintah untuk kegiatan riset, data ilmiah, pengawasan, serta standar jaminan mutu, dan penyediaan dukungan sarana dan prasarana perikanan di sentra utama penangkapan dan pendaratan ikan.
“Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pada sisi logistik dan distribusi dan meningkatkan upaya untuk reduksi tarif bea masuk dan penambahan approval number ke Uni Eropa dan pemenuhan persyaratan pasar,” ungkapnya.
Mempertimbangkan potensi sumber daya ikan (SDI) dan produksi, masih terbuka peluang untuk meningkatkan kontribusi bagi pemenuhan pangan dan meningkatkan ekspor. Syaratnya, segera lakukan penguatan keberlanjutan pengelolaan SDI melalui riset, data, dan pengawasan.
Kemudian, meningkatkan dukungan prasarana, khususnya di sentra-sentra utama penangkapan/pendaratan; peningkatan dukungan logistik/distribusi yang dikaitkan dengan musim tangkap dan sentra pasar.
Meningkatkan upaya untuk reduksi tarif bea masuk dan penambahan ‘approval number’ di pasar Uni Eropa (UE) dan pemenuhan persyaratan pasar seperti ketentuan non-tariff, khususnya ke Amerika Serikat (AS).
Kemudian, perlunya dukungan kebijakan yang lebih kondusif bagi perkembangan usaha perikanan tangkap dan Unit Pengolahan Ikan (UPI) melalui PP Nomor 11 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023.
Kedua regulasi tersebut bertujuan agar kapal tangkap yang terpadu dengan UPI dapat mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan pangkapan. Sementara, PP 36/2023 bertujuan agar dilonggarkan masa retensi devisa hasil ekspor untuk usaha perikanan. (***)
Nelayan Indonesia Desak Keadilan di Sektor Kelautan dan Perikanan