- Konflik nelayan tradisional Batam di perbatasan Singapura kembali terjadi. Kali ini kejadian diduga dilakukan kapal patroli perairan Singapura kepada nelayan lokal di Batam yang sedang melaut.
- Kapal patroli Singapura itu bermanuver di tengah laut menimbulkan ombak besar sehingga membuat kapal nelayan Batam oleng. Seorang nelayan dalam video yang viral tersebut terekam masuk ke laut.
- Kapal patroli Singapura berusaha mengusir nelayan Batam karena diangap masuk zona larangan Singapura. Padahal nelayan Batam berada di perairan internasional, bukan perairan Singapura.
- Sampai saat ini pihak pemerintah Singapura diminta untuk mengklarifikasi tindakan kapal patroli mereka yang membahayakan nyawa nelayan lokal di Batam.
Nelayan tradisional Batam, Kepulauan Riau kembali mengalami konflik di perairan perbatasan Singapura yang diduga dilakukan oleh kapal polisi perairan Singapura (Police Marine Singapura).
Konflik dialami Mahadir bersama lima kapal nelayan lainya yang hendak memancing di perairan Pulau Nipah, Kota Batam, Selasa (24/12/2024) lalu. Tiba-tiba ombak besar dari belakang menerjang kapalnya. Tidak biasa ombak datang dari belakang kapal seperti itu.
“Ternyata ada kapal patroli Singapura yang datang, saya terpelanting (terjebur ke laut) akibat ombak itu,” kata Mahadir saat ditemui di depan Hotel Panbil Best Western, Jumat (27/12/2024) sore.
Saat terjebur ke laut Mahadir langsung berenang dan kembali ke kapalnya. Sedangkan di kapal lain, Hang Tuah bersama anaknya yang masih berumur 14 tahun merekam kejadian itu. “(Kapal patroli Singapura) itu datang langsung memutari kita. Dia halau kita. Dia bilang itu laut Singapura,” kata Hang Tuah.
Dia mengatakan, kejadian seperti itu sering terjadi. Menurutnya kalau tidak diviralkan permasalahan ini akan terus berulang. “Setiap memancing disitu, kita dihalau. Padahal dari dulu nenek moyang kita memancing di sana,” katanya.
Dia menegaskan dan memastikan dirinya bersama nelayan lain tidak masuk ke perairan Singapura. “Kami sekitar dua mil dari Pulau Nipa ke arah utara, jadi masih perairan internasional,” jelasnya.
Video pendek rekaman Hang Tuah itu viral di media sosial. Dalam video berdurasi 3 menit 12 detik itu terekam jelas aksi manuver kapal patroli perbatasan Singapura mengusir nelayan dengan cara menciptakan ombak yang membuat Mahadir terjebur ke laut.
Aksi membahayakan nyawa nelayan itu sempat diteriaki Hang Tuah. Namun, teriakan itu tidak membuat kapal patroli Singapura menghentikan tindakan mereka, kapal berwarna putih dan biru gelap itu tetap melakukan manuver dengan cara memutarkan kapal patroli dengan kencang, sehingga menciptakan ombak besar.
Baca : Giliran Nelayan Batam Ditangkap Singapura, Pemerintah Didesak Lindungi Wilayah Perbatasan
Nelayan Temui Konjen Singapura
Kehadiran Mahadir, Hang Tuah dan beberapa nelayan lainnya di Hotel Panbil Best Western kemarin sore itu hendak bertemu dengan Konjen Singapura memprotes tindakan kapal patroli Singapura. Pertemuan diwakili Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau Distrawandi.
Usai pertemuan, kepada awak media, Distrawandi mengatakan, sudah bertemu dengan Konjen Singapura Gavin Ang. Ia juga sudah menyerahkan video utuh bukti tindakan kapal patroli Singapura yang membahayakan nelayan Batam.
“Kami bertemu Gavin mewakili nelayan yang mengalami insiden tersebut, tetapi belum ada keputusan dari Gavin. Alasannya otoritas mereka terbatas,” katanya.
Dia juga mempertanyakan tindakan manuver kapal patroli Singapura yang membahayakan nelayan Batam. “Mereka harus koordinasi dengan Marine Singapura. Jadi hari Senin (30/12/2024) kita akan datang lagi (ke kantor Konsulat Singapura) dengan membawa surat somasi,” katanya.
Distrawandi menerangkan kondisi nelayan saat ini masih dalam keadaan trauma. “Kalau mereka (kapal patroli Singapura) arogan, kami juga bisa. Kita punya 8.000 nelayan di Batam,” katanya.
Pihaknya tidak mempermasalahkan tindakan pengusiran kapal nelayan kecil yang masuk ke Singapura, tetapi cara patroli yang membahayakan nyawa nelayan tersebut itu tidak dibenarkan.
“Kemungkinan nelayan itu masuk zona larangan Singapura, tetapi bagi nelayan tradisional itu lokasi mereka memancing sejak dulu,” katanya.
Para nelayan itu, lanjutnya, akan melaporkan ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI.
Baca juga : Pesisir Batam Terancam, Nelayan Tradisional di Ujung Tanduk
Langkah Lembaga Pemerintah
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Doli Boniara mengatakan, sudah menindaklanjuti kejadian kepada Konsulat Singapura di Batam yang akan diteruskan ke Singapura.
“Saya juga sudah tanyakan perihal kejadian itu ke DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Provinsi Kepri perwakilan di Batam. Dari DKP mengatakan memang mereka nelayan tradisional, namun ada informasi mereka tidak menggunakan GPS (global positioning system),” jelasnya.
Doli juga mendapatkan informasi bahwa Bakamla (Badan Keamanan Laut) sudah meneruskan informasi kejadian tersebut kepada atase pertahanan RI di Singapura. “Supaya pihak pemerintah disana (Singapura) mencari informasi yang jelas terkait kronologis kejadian itu,” katanya.
Dia mengatakan, informasi awal kejadian terjadi di Pulau Nipah. Memang diseberang Pulau Nipah merupakan kawasan strategis Singapura yang melarang kegiatan kapal apapun di perairan tersebut.
Doli juga akan mencari tahu alasan tindakan maneuver kapal patroli Singapura yang membahayakan nelayan itu. “Makanya kita ingin tahu apakah SOP (standard operating procedure) pengusiran mereka seperti itu. Kenapa tidak pakai toa (untuk memberitahu) agar nelayan itu keluar dari perairan Singapura. Ini yang ingin kita klarifikasi (dari pemerintah Singapura),” katanya.
Sampai berita ini dinaikan belum ada keterangan resmi dari pihak Konsulat Singapura yang berada di Batam. Begitu juga dari pemerintahan Singapura.
Baca juga : Reklamasi Bermasalah di Batam: Nelayan Kehilangan Ruang Laut, Beralih Kerja Serabutan
Panggil Dubes Singapura
Analis Kelautan dan Perikanan Parid Ridwanuddin meminta Pemerintah Indonesia memanggil Duta Besar Singapura terkait peristiwa tersebut. Pasalnya tindakan kapal patroli Singapura itu sudah membahayakan dan mengancam nyawa warga negara Indonesia.
“Apalagi ini nelayan tradisional yang menggunakan perahu kecil untuk mencari nafkah, dan mereka bukanlah pelaku kejahatan,” katanya kepada Mongabay, Jumat (27/12/2024).
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, seharusnya posisinya lebih tinggi dari pemerintah Singapura, karena Singapura itu mendapat banyak keuntungan besar dari keberadaan Kepri, salah satunya memanfaatkan pasir laut di Kepri untuk reklamasi di Singapura. “Singapura juga harus evaluasi tindakan petugas patroli mereka yang membahayakan nelayan Batam tersebut,” katanya.
Permasalahan nelayan perbatasan di Kota Batam maupun Kepri tak kunjung selesai. Selain terjadi perseteruan seperti beberapa hari lalu, nelayan tradisional di Batam juga ditangkap oleh kapal patroli Singapura pada, Kamis (3/10/2024).
Namun, akhirnya empat orang nelayan yang ditangkap itu dipulangkan ke Indonesia, Jumat (4/10/2024). Sebelum dipulangkan mereka diberikan surat peringatan oleh otoritas Singapura.
Menurut Ketua Umum Lembaga Swadaya Tempatan Nelayan Perikanan Kepri (Lestari) Eko Fitriandi pemerintah baru harus membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Singapura terkait aturan nelayan kecil di perbatasan. Sedangkan dengan Malaysia sudah ada MoU, meskipun beberapa kali Malaysia tetap melanggar dengan menangkap kapal nelayan tradisional.
“Kita berharap kerjasama itu juga dilakukan dengan Singapura, dimana di dalamnya nanti diatur juga, bahwa nelayan kecil kalau memang melaut masuk perairan Singapura, jangan ditangkap, tetapi diingatkan mereka sudah lewat batas. Kecuali nelayan tersebut pelaku kriminalitas,” katanya.
Eko juga meminta pemerintah daerah baik itu Provinsi Kepulauan Riau ataupun Kota Batam memberikan bantuan radar atau GPS kepada nelayan yang melaut di perbatasan. Rata-rata nelayan tidak memiliki radar atau GPS di atas kapal mereka. “Kalau sudah punya alat itu tidak ada lagi alasan melanggar (perbatasan negara). Kami berharap pemerintah hadir terhadap nelayan,” katanya.
Baca juga : Proyek PDN Kominfo di Batam Cemari Laut, Pendapatan Nelayan Turun
Krisis Ekologis yang Mengancam Nelayan
Parid Ridwanuddin juga menyinggung, terkait fenomena nelayan di Batam melaut sampai ke perbatasan karena laut di pesisir Pulau Batam sudah rusak akibat pembangunan. Bahkan juga terjadi di perairan Kepri lainnya.
Pasalnya banyaknya proyek merusak lingkungan yang terdapat disekitar pulau di Kepri, mulai dari Proyek Strategis Nasional (PSN), tambang pasir laut, hingga pulau-pulau yang dikelola untuk dijadikan kebutuhan pariwisata.
“Akarnya harus diselesaikan oleh pemerintah, dengan cara menghentikan proyek yang mendorong penghancuran tangkapan nelayan, ada krisis ekologis yang menghancurkan tangkapan nelayan,” katanya.
Hal itu senada dengan yang disampaikan, Ahad, seorang nelayan dari Pulau Dare, Batam. Mereka melaut ke perbatasan belakangan ini karena laut di pesisir Batam sudah mulai rusak. “Itu kan dulu mangrove semua, sekarang sudah jadi kawasan industri galangan. Mana ada lagi ikan disini,” tambahnya. (***)
10 Tahun Jokowi : Kondisi Nelayan Tradisional Perbatasan yang Kian Tersudutkan