- Musim penghujan bisa jadi masa menabung air. Air hujan bisa jadi sumber air bersih. Memanfaatkan air hujan dapat mengatasi krisis air, bahkan kualitas lebih sehat dibanding air tanah. Pemahaman itu yang Sri Wahyuningsih, pendiri Sekolah Air Hujan (SAH) Banyu Bening, terus suarakan agar kesulitan atau krisis air bersih yang kerap terjadi di berbagai daerah bisa teratasi.
- Tak hanya menerima berbagai kelompok yang hendak belajar pengelolaan air hujan ke Banyu Bening, Sri Wahyuningsih juga sudah berkeliling Indonesia. Sembilan tahun terakhir dia menjelajahi berbagai wilayah terpencil, terutama yang mengalami krisis air. Dari Sumatera hingga Papua pernah dia singgahi untuk mempromosikan manfaat air hujan.
- Tak hanya mengelola sekolah, Banyu Bening juga mengelola dan membagikan air hujan siap konsumsi. Puluhan orang jadi langganan air secara gratis di sana. Lebih dari tiga toren besar penampung air hujan di Banyu Bening. Ada juga belasan piranti pengolahan air jadi siap minum di sana.
- Buku “Memanen Air Hujan” karya Agus Maryono, dosen Universitas Gadjah Mada, yang terbit 2016 menjelaskan air hujan aman buat konsumsi. Hujan yang turun pertama sampai dengan ketiga kali, masih mengandung debu dan polutan. Setelah ketiga itu, bisa konsumsi karena kualitas teruji aman.
Musim penghujan bisa jadi masa menabung air. Air hujan bisa jadi sumber air bersih. Memanfaatkan air hujan dapat mengatasi krisis air, bahkan kualitas lebih sehat dibanding air tanah. Pemahaman itu yang Sri Wahyuningsih, pendiri Sekolah Air Hujan (SAH) Banyu Bening, terus suarakan agar kesulitan atau krisis air bersih yang kerap terjadi di berbagai daerah bisa teratasi.
Banyu Bening pun jadi tempat belajar banyak orang. Seperti beberapa waktu lalu, rombongan mahasiswa dari Akademi Sekretaris dan Manajemen (ASM) Marsudirini Santa Maria datang ke sekolah air hujan di Kelurahan Sardonoharjo, Kapanewon Ngaglik, Sleman, Yogyakarta ini.
Pemahaman rombongan mahasiswa ini berubah drastis terkait air hujan. “Tidak menyangka manfaat dan kualitas air hujan sebagus itu,” kata Kharisma Nur Azizah, mahasiswa ASM Marsudirini.
Sebagai warga Gunungkidul, Kharisma tak asing dengan kesulitan air. Tiap musim kemarau, kekeringan terjadi. “Sangat inspiratif sekali, ternyata dengan hujan bisa mengatasi krisis air. Selama ini saya yang dari Panggang, Gunungkidul ini mengalaminya tapi tak menyangka ada solusi mudah dan murah lewat air hujan,” katanya.
Sri sejak 2012 mulai pengelolaan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Kemudian Sri bersama suaminya mendirikan sekolah itu pada 2015.
Tak hanya menerima berbagai kelompok yang hendak belajar pengelolaan air hujan ke Banyu Bening, Sri juga sudah berkeliling Indonesia. Sembilan tahun terakhir dia menjelajahi berbagai wilayah terpencil, terutama yang mengalami krisis air.
Dari Sumatera hingga Papua pernah dia singgahi untuk mempromosikan manfaat air hujan.
Suatu ketika saat musim penghujan pada 2022, Sri diminta mengajarkan pemanfaatan air hujan di salah satu pulau kecil di Kota Bontang, Kalimantan Timur. “Saat bicara air hujan kami langsung ditolak karena banyak mitos terkait hal itu,” katanya.
Di pulau itu, ada mitos air hujan menyebabkan bahaya, seperti membuat orang meninggal. Padahal, di pulau kecil itu tidak ada sumber air untuk konsumsi, kebutuhan sehari-hari warga dengan beli air dan tergolong mahal. Warga harus beli air sampai Rp300.000.
“Saya kaget, bagi saya itu terlalu mahal. Bagi warga juga mahal terutama yang ekonomi bawah, tapi tidak ada jalan lain karena tidak ada sumber air tanah disana.”
Langkah mengagetkan Sri tunjukkan. Dia memasukkan wadah air hujan dan meminumnya. “Saya minum disaksikan warga, mereka agak kaget. Saya buktikan air hujan bisa diminum dan saya tidak meninggal karena itu.”
Upaya menyebarluaskan manfaat dan cara pengelolaan air hujan yang SAH Banyu Bening lakukan ini membantu ribuan rumah tangga mengatasi krisis air. Dari kawasan perbukitan karst di Gunungkidul hingga pulau terpencil di pinggir Kalimantan.

Keliling Jawa
Tindakan Sri yang langsung meminum air hujan tanpa olah bukan aksi nekat. Suaminya, Kamaludin telah lakukan percobaan keliling sejumlah titik dari pantai selatan seperti Wonogiri hingga Trenggalek maupun pantai utara seperti Demak sampai Kendal menguji kandungan air hujan. “Termasuk di perkotaan seperti di Jogja dan Semarang, hasilnya kualitas diatas air tanah,” katanya.
Kamaludin melakukan pengujian keliling Pulau Jawa pada 2011. “Kami sebelumnya banyak berkegiatan terkait konservasi, terutama di Lereng Gunung Merapi bagian Magelang. Saat 2010 itu mulai bertanya-tanya apa air hujan ini punya manfaat lain,” katanya.
Pertanyaan itu terus menghantui Sri dan Kamaludin, lebih-lebih ratusan pohon yang mereka konservasi kerap rusak karena air sungai yang meluap. Berbekal TDS Meter dan peralatan sederhana lain Kamaludin keliling lintas kabupaten saat hujan mengguyur.
TDS Meter Kamaludin gunakan untuk mengukur jumlah padatan dalam larutan. Dia juga mengukur kandungan asam pada air hujan juga. “Seluruh titik yang saya ukur itu hasilnya baik semua, ada selisih antara satu wilayah dengan lainnya tapi tidak banyak. Kualitasnya, ternyata lebih baik dari air tanah yang sehari-hari untuk konsumsi.”
Berbekal itu, Kamaludin dan Sri memantapkan diri mengelola air hujan lebih maksimal lagi. Pasangan ini juga mengkaji berbagai literatur untuk menguatkan pemahamannya.
“Dalam sejarahnya di Jawa, penggunaan air hujan untuk konsumsi ini bukan hal baru. Simbah nenek moyang kami juga melakukannya setelah kami ingat-ingat dan kami pelajari lagi.”
Prinsipnya, tiap hujan pertama di tiap musim, jelas Kamaludin, biarkan air membersihkan atap rumah atau udara yang mungkin terkontaminasi. “Setelahnya air hujan yang turun tidak ada kontaminasi karena yang pertama sudah membersihkannya,” katanya.
Untuk memastikan tidak ada kontaminasi kandungan tak sehat, katanya, bisa dilakukan elektrokoagulasi. Proses ini menggunakan arus listrik searah untuk menjernihkan air dari kandungannya. “Secara umum, air hujan yang turun ke sekian kali sudah bersih. Bisa ditampung untuk dimasak buat konsumsi.”

Sehat bersama air hujan
Tak hanya mengelola sekolah, Banyu Bening juga mengelola dan membagikan air hujan siap konsumsi. Puluhan orang jadi langganan air secara gratis di sana.
Lebih dari tiga toren besar penampung air hujan di kediaman Sri. Ada juga belasan piranti pengolahan air jadi siap minum di sana. Minarni, ibu rumah tangga dari Jombor, Kapanewon Mlati, Sleman, bisa tiga kali mengisi ulang lebih tiga galon seminggu dengan air olahan SAH Banyu Bening.
Minarni pertama kali mengonsumsi air hujan pada 2016. Karena alami asam lambung, dia mulai meninggalkan air tanah. “Setelah mulai minum air hujan ini, gerd saya hilang sampai sekarang,” katanya.
Marni juga merasa air hujan lebih segar dibanding air tanah. “Anak-anak juga lebih suka, lebih segar juga kata mereka.”
Meskipun perlu sekitar setengah jam dari rumahnya ke SAH Banyu Bening untuk mengambil air tak membuat Minarni lelah. “Enggak masalah juga karena lebih sehat dan segar, gratis juga.”
Buku “Memanen Air Hujan” karya Agus Maryono, dosen Universitas Gadjah Mada, yang terbit 2016 menjelaskan air hujan aman buat konsumsi. Hujan yang turun pertama sampai dengan ketiga kali, masih mengandung debu dan polutan. Setelah ketiga itu, bisa konsumsi karena kualitas teruji aman.
Agus yang juga menginisiasi Gerakan Memanen Air Hujan ini menyebut, kualitas air hujan bahkan lebih baik dari air permukaan tanah. Potensi ini dapat jadi solusi jitu kekeringan, terutama di beberapa wilayah di Yogya.
Dalam bukunya itu Agus menyebut pada 2015 kualitas air hujan di Yogya tergolong amat baik dari hasil penelitiannya. Analisanya bahkan menyebut kualitas hujan memiliki 20-50 kali lebih baik dari baku mutu standar air Kementerian Kesehatan.
Air permukaan tanah seperti dari sumur, sungai, apalagi di kawasan perkotaan, kata Agus, kualitas lebih buruk karena sudah banyak tercemar.
“Air hujan jauh lebih bersih, bahkan bisa langsung minum tapi lebih baik diolah dulu.”
Dosen teknik sipil UGM ini punya teknologi untuk pengolahan air hujan yaitu Gama Rain Filter. Alat yang sudah dipatenkan pada 2020 ini berwujud tabung berukuran 1.000-1.500 liter dilengkapi penyangga berlapis tiga, agar air hujan yang mengalir dari atap atau talang air bisa siap konsumsi.
Berbekal pengetahuan itu, Sri sudah menyebarluaskan dari Sabang hingga Merauke. Dalam banyak kunjungan keliling Indonesia dia kerap menemui mitos masyarakat terkait air hujan.
Sebenarnya, Indonesia sudah punya regulasi pengelolaan air hujan sejak 2009. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.12/2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan. Sayangnya, kata Sri, aturan itu minim pelaksanaan.

*******