- Tunggu Tubang adalah sistem adat pada masyarakat Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sistem ini memberikan kuasa kepada perempuan untuk mengelola alat produksi keluarga berupa sawah, rumah, kebun, dan tebat [danau buatan].
- Perempuan ditunjuk sebagai Tunggu Tubang karena dinilai lebih mampu menjaga, merawat, dan bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan orangtua, termasuk mengurus keluarga.
- Tunggu Tubang adalah upaya masyarakat Semende Darat menjaga lanskap secara berkelanjutan. Terjaganya benang alam, terjamin pula ketersediaan pangan, papan, dan sandang.
- Penjagaan bentang alam melalui sistem adat Tunggu Tubang atau sistem adat lain yang memiliki tujuan sama, dapat dijadikan model Pemerintah Indonesia dalam menjalankan program ketahanan pangan.
Tunggu Tubang adalah sistem adat yang berlaku di masyarakat Semende Darat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sistem ini memberikan kuasa kepada perempuan untuk mengelola alat produksi (pusaka keluarga) berupa sawah, rumah, kebun, dan tebat (danau buatan). Apa tujuan ini?
Suku Semende terbagi dua (kaum) yakni Semende Darat dan Semende Lembak. Semende Darat berada di Kabupaten Muara Enim. Sementara Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Sebagian Suku Semende juga menyebar di Kabupaten Aur, Bengkulu.
Secara morfologi, orang Semende mengartikan kata Semende dari kata “se” yang berarti satu, “mah” berarti rumah, dan “nde” yang artinya milik.
“Jadi, Semende dapat berarti sebuah rumah dimiliki bersama atau menyatukan beberapa keluarga,” kata Muhammad Ihsan, seorang meraje (paman Tunggu Tubang) di Desa Muara Tenang, pertengahan Januari 2025.
Sistem adat Tunggu Tubang berlaku di Semende Darat yang luas wilayahnya sekitar 99.802 hektar, sebuah lembah yang dikelilingi perbukitan Gunung Patah. Diperkirakan, sistem adat Tunggu Tubang dipengaruhi sistem adat di Minangkabau (matrilineal), yang juga menyerahkan pusaka keluarga kepada perempuan.
Berdasarkan cerita rakyat (sastra tutur) “Asal Mula Berdirinya Semende”, dikutip dari Buku Struktur Sastra Lisan Semende [2000] yang ditulis Zainul Arifin Aliana, Latifah Ratnawaty, Muslim M. Soleh Rony, dan Ahmad Bastari Suan, puyang masyarakat Semende adalah enam orang dari Pagaruyung, Sumatera Barat, dan satu orang dari Besemah, Sumatera Selatan.
Dari cerita yang dituturkan Abdul Muis, tokoh masyarakat Desa Tanjung Raya, yang dikutip dalam buku tersebut, puyang/leluhur Semende dari Pagaruyung yakni Tuan Raja, Alim Raja, Legam Bumi, Raja Ngekop, Nakan Adin, dan Sarna Wali. Sementara dari Suku Besemah bernama Prabu Sahmat.
“Kami juga menerima kisah bahwa sebagian besar puyang kami dari Pagaruyung, Minangkabau. Mungkin saja Tunggu Tubang ini mengadopsi adat di Minangkabau. Tapi puyang kami di Semende banyak juga berasal dari Jawa dan Banten,” kata Mala Ibrahim [82], warga Desa Cahaya Alam, beberapa waktu lalu.
Seorang anak perempuan yang akan menjadi Tunggu Tubang sudah diajarkan keluarganya sejak kecil, sehingga saat dewasa siap mengemban tugas tersebut.
Baca: Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar

Mengapa anak perempuan?
“Lebih mampu menjaga, merawat, dan bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan orangtua, termasuk mengurus saudara-saudaranya. Meskipun anak perempuan itu anak bungsu, tapi bila dia satu-satunya anak perempuan, maka disebut anak pertama perempuan,” kata Mariyun, seorang Tunggu Tubang di Desa Muara Dua, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.
Yulion Zalpa, kandidat doctoral political ecology di Universitas Gadjah Mada [UGM] dan pengajar di FISIP UIN Raden Fatah Palembang, menilai sistem adat Tunggu Tubang dalam masyarakat Semende mencerminkan kompleksitas relasi kuasa yang unik. Otoritas pengelolaan aset keluarga, diberikan kepada anak perempuan tertua.
“Distribusi kekuasaan ini mendobrak paradigma umum pada masyarakat di Sumatera Selatan yang didominasi patriarki dalam sistem adat, karena menempatkan perempuan sebagai pemegang kendali atas aset-aset produktif seperti sawah, kebun, rumah, dan tebat. Pola ini menciptakan dinamika kuasa berbeda, yaitu legitimasi kepemimpinan ekonomi keluarga tidak didasarkan pada gender tetapi pada posisi kelahiran dan tanggung jawab sosial,” katanya, pertengahan Januari 2025.
Meski demikian, kuasa yang dimiliki penerima Tunggu Tubang bukanlah kuasa absolut, melainkan terikat norma-norma adat yang ketat dan pengawasan dari Meraje [paman dari pihak ibu] serta keluarga besar.
Relasi kuasa ini membentuk sistem check and balance, otoritas Tunggu Tubang dalam pengelolaan aset diimbangi kewajiban untuk menjamin kesejahteraan seluruh anggota keluarga besar. Hal ini menciptakan jaringan interdependensi kompleks, karena kekuasaan tidak hanya tentang kepemilikan dan kontrol atas sumber daya, tetapi juga tentang pemenuhan tanggung jawab sosial dan pelestarian nilai-nilai komunal (adat).
Baca: Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar

Menjaga lanskap berkelanjutan
Yulion Zalpa berpendapat, Tunggu Tubang adalah upaya masyarakat Semende menjaga lanskap berkelanjutan. Sebab penjagaan sawah, rumah, kebun, dan tebat [danau buatan], dengan aturan tidak boleh diperdijualbelikan atau dialihfungsikan, juga berarti mempertahankan lanskap Semende Darat.
“Terjaganya bentang alam Semende Darat, maka terjamin pula ketersediaan pangan, papan, dan sandang bagi masyarakatnya. Setahu saya, selama ini masyarakat di Semende Darat tidak pernah mengalami krisis pangan, meskipun pada saat yang sama di wilayah lain di Sumatera Selatan mengalami kesulitan pangan akibat gagal panen, disebabkan kemarau atau musim hujan panjang.”
Rob Krier dalam bukunya Urban Space (1979), menjelaskan lanskap adalah suatu sistem menyeluruh yang di dalamnya ada hubungan antara komponen biotik dan abiotik, termasuk komponen pengaruh manusia. Di dalamnya, bukan hanya tentang penataan tanaman, satwa, pengaturan tata ruang, serta pemeliharaan infrastruktur, juga merupakan hubungan manusia dengan alam atau kebudayaannya.
Masyarakat Semende menyatakan ruang hidupnya sebagai “Tumutan Tujuh” yang artinya mata air tujuh sungai di dataran tinggi. Yakni, mata air Sungai Padang Guci, Sungai Air Kinal, Sungai Air Bengkenang, Sungai Air Kendurang, Sungai Air Endikat, Sungai Air Lematang, dan Sungai Air Enim. Tujuh sungai ini mengalir di wilayah Sumatera Selatan dan Bengkulu.
Pengaturan tata ruang oleh masyarakat Semende di wilayah mata air sungai dengan komponen biotik dan abiotik sekitarnya, menandakan hubungan harmonis manusia dengan alam. Sebab, hubungan ini menjaga keberadaan mata air.
“Hutan di bukit kami jaga, karena sebagai sumber mata air dan rumah bagi sejumlah tanaman dan hewan. Sungai dan danau dipertahankan sebagai aliran dan penampungan air. Ini bukan hanya tugas Tunggu Tubang, tapi seluruh masyarakat di desa,” kata Nursiah, seorang Tunggu Tubang di Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut, beberapa waktu lalu.
Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan hidup dari UIN Raden Fatah Palembang, yang pernah melakukan penelitian di Semende Darat, kepada Mongabay Indonesia pernah menyatakan, Tunggu Tubang yang membuat bentang alam di Semende Darat terjaga hingga saat ini.
Baca juga: Suku Semende: Sawah Itu Seperti Manusia, Butuh Waktu Istirahat Tanam

Perempuan penjaga pangan
Berdasarkan laporan Global tentang Krisis Pangan [GRFC] 2024, masyarakat dunia akan menghadapi tantangan besar untuk mengakhiri kelaparan pada 2030. Penyebab krisis pangan tersebut, antara lain anomali cuaca seperti hujan dan kekeringan ekstrem (perubahaan iklim) yang membuat gagal panen, konflik geopolitik dan ketidakstabilan politik, serta peningkatan populasi manusia. Diperkirakan pada 2050, populasi manusia di dunia akan mencapai 10 miliar jiwa, sehingga membutuhkan peningkatan produksi pangan sebesar 60%.
Guna menghadapi ancaman tersebut, dibutuhkan berbagai strategi, yang bukan hanya sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, juga dapat langsung memenuhi kebutuhan pangan berkelanjutan.
“Model penjagaan lanskap melalui Tunggu Tubang terbukti mampu menjamin pangan secara berkelanjutan. Sistem adat ini harus dijaga negara, jangan dirusak dengan skema lain, termasuk kehadiran aktivitas ekonomi ekstraktif di Semende Darat. Bahkan, perlindungan juga harus dilakukan terhadap sistem adat lain di Indonesia, yang memiliki tujuan sama,” kata Yulion.
Bahkan, pemerintah dapat mengadopsi sistem adat seperti Tunggu Tubang dalam menjalankan proyek ketahanan pangan berbasis masyarakat.
“Kata kunci dalam menjaga lanskap adalah perempuan. Tunggu Tubang membuktikan perempuan memang memiliki kemampuan merawat alam. Tentunya, perempuan yang memiliki berbagai pengetahuan dan memahami nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pemerintah seharusnya memberikan kepercayaan khusus kepada perempuan dalam menata ketahanan pangan nasional,” kata Dian Maulina, penulis buku “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi”.
Keberhasilan masyarakat Semende Darat menjaga keseimbangan alam dengan memerankan perempuan (Tunggu Tubang) pernah dinyatakan Dr. Edwin Martin, peneliti senior lingkungan dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), kepada Mongabay Indonesia,
“Warisan yang diterima berupa rumah dan sawah, menunjukan sebagai masyarakat agraris perempuan dinilai mampu menjaga sumber air pada sebuah lingkungan. Sehingga, mereka berkecukupan dan berkelanjutan memenuhi pangan,” tandasnya.