- Kementerian Kesehatan mencatat, selama 10 tahun (2012-2022) terakhir, kasus demam berdarah (DBD) naik setiap November, mencapai puncak pada Februari dan menurun mulai Maret-April.
- Penelitian menunjukkan, populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus meningkat saat curah hujan tinggi. Ini kebalikan dengan populasi Culex quinquefasciatus yang justru turun populasinya saat curah hujan tinggi.
- Nyamuk menjadi vektor penyakit lebih dari 345 juta kasus dengan 648 ribu kematian setiap tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka itu merupakan gabungan penyakit malaria yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles dan demam berdarah oleh Aedes.
- Ada lebih tiga ribu spesies nyamuk di dunia, dan di antara mereka boleh jadi hidup dalam habitat yang sama. Pola warna hitam putih pada spesies ini bisa menjadi penanda untuk mengenali sesama jenisnya.
Musim hujan tiba. Udara terasa lebih sejuk, tetumbuhan menghijau, sesekali tercium aroma tanah basah. Namun, di balik suasana segar tersebut ada bahaya mengintai, yaitu berkembangnya populasi nyamuk yang menjadi vektor penyakit.
Kementerian Kesehatan memiliki data, selama 10 tahun (2012-2022) terakhir, kasus demam berdarah (DBD) naik setiap November, mencapai puncak pada Februari dan menurun mulai Maret-April.
“Ini hubungannya dengan siklus musim hujan dan terjadi setiap tahun,” ungkap Imran Pambudi, pejabat Kementerian Kesehatan, dikutip dari situs Kemenkes. Demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan virus yang ditularkan nyamuk.
Penelitian yang dilakukan Iva Fitriani dan tim dari Laboratorium Entomologi, World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta dan Lembaga Pusat Kedokteran Tropis, FK KMK UGM menyimpulkan populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus meningkat saat curah hujan tinggi. Ini kebalikan dengan populasi Culex quinquefasciatus yang justru turun populasinya saat curah hujan tinggi.
“Kenaikan populasi Aedes aegypti dapat dipengaruhi tingginya temperatur dan curah hujan yang berhubungan dengan tempat perindukan,” tulis laporan itu.
Mereka mencatat, populasi Aedes aegypti mengalami kenaikan pada November hingga Januari, saat curah hujan mencapai kisaran tertinggi. Penelitian yang mengambil lokasi di Yogyakarta itu juga menemukan Aedes albopictus populasinya naik signifikan pada November dan Desember. Lalu turun signifikan pada Juni ke Juli, seiring turunnya temperatur dan curah hujan.
Selain demam berdarah, dua spesies nyamuk Aedes tersebut merupakan vektor sejumlah penyakit lainnya, yaitu chikungunya dan zika. Sementara C. quinquefasciatus menularkan penyakit kaki gajah.
Baca: Terungkap Cara Nyamuk Temukan dan Gigit Manusia: Sensor Inframerah

Lingkungan manusia
Nyamuk menjadi vektor penyakit lebih dari 345 juta kasus dengan 648 ribu kematian setiap tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka itu merupakan gabungan penyakit malaria yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles dan demam berdarah oleh Aedes.
Bagaimana kita mengenali nyamuk penyebab demam berdarah yang hidup tak jauh dari lingkungan manusia?
Jika dilihat secara fisik, kedua spesies nyaris sama. Keduanya memiliki pola warna hitam putih dari kepala, dada, perut, dan kaki. Namun dengan menggunakan mikroskop, Aedes aegypti memiliki dua garis lengkung dan dua garis lurus putih di punggung. Sementara Aedes albopictus, tidak memilikinya dan hanya memiliki satu garis putih.
Kaki Aedes aegypti memiliki garis putih memanjang, sementara Aedes albopictus tidak memilikinya.
Jika Aedes aegypti awalnya dari Afrika, Aedes albopictus dari Asia. Itu sebabnya, dia mendapat julukan nyamuk macan Asia. Namun kini, keduanya bisa ditemukan di seluruh dunia, kecuali Antarktika.
Dari perilaku, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Spesies Aedes aegypti, umumnya ditemukan di wilayah urban, berkembang biak dekat lingkungan perumahan. Terutama, menggigit manusia, baik di dalam maupun luar ruangan.
Sementara Aedes albopictus ditemukan di pedesaan, berkembang biak jauh dari lingkungan rumah, menggigit manusia di luar ruangan dan sejumlah hewan bertulang belakang.
Aedes aegypti dan Aedes albopictus membutuhkan air bersih sebagai tempat meletakkan telur. Ae. aegypti menyukai air yang tidak terkena sinar matahari langsung seperti bak mandi atau vas bunga di rumah. Nyamuk ini suka bersembunyi di tempat gelap dan lembab, seperti kolong tempat tidur.
Sementara Aedes albopictus, menyukai air bersih untuk menempatkan telur di luar ruang dan lebih banyak ditemukan di area kebun atau pinggir hutan.
Baca juga: Suhu Makin Panas, Gigitan Nyamuk ‘Aedes Aegypti’ Makin Sering

Visual dan akustik
Jika dilihat menggunakan mikroskop elektron, tubuh nyamuk hingga kaki dipenuhi sisik. Di antara sisik itu, terdapat udara yang membantu nyamuk mengapung di air. Fenomena superhidrofonik ini membuat tubuh nyamuk kedap air. Ia hanya akan melewati permukaan seperti tetesan air yang bergulir di atas daun talas atau teratai.
“Fungsi sisik sebagai adaptasi serangga akuatik terhadap kehidupan subaerial pada tahap dewasa,” tulis Gianandrea Salerno di Journal of Nanotechnology Beilstein. Bersama timnya, mereka meneliti pewarnaan hitam putih pada Aedes albopictus.
Warna tubuh dan sinyal cahaya berupa bioluminesinsi pada serangga, berguna untuk komunikasi visual pada spesies yang sama maupun antarspesies. Warna menjadi penting, terutama bagi serangga yang aktif siang hari seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus ini. Warna yang khas juga berguna untuk pengenalan sebelum perkawinan atau menghindari predator.
Menurut penelitian itu, nyamuk hitam putih yang bergerak cepat dapat memantulkan cahaya berubah, karena sudut kemiringan sisik nyamuk. Hal ini dapat menciptakan efek visual membingungkan dan memberi gangguan persepsi pada predator.
Ada lebih tiga ribu spesies nyamuk di dunia, dan di antara mereka boleh jadi hidup dalam habitat yang sama. Pola warna hitam putih pada spesies ini bisa menjadi penanda untuk mengenali sesama jenisnya. Namun bagaimana jika Aedes aegypti dan Aedes albopictus berada dalam habitat yang sama?
Selain warna, nyamuk juga berkomunikasi melalui sinyal akustik yang dihasilkan dari kepakan sayap. Meski sama-sama berwarna hitam putih, dan sayap bisa mengirim sinyal akustik, namun frekuensi suara yang dihasilkan berbeda. Sebuah penelitian mengungkapkan, suara dengung yang dihasilkan nyamuk Aedes albopictus memiliki frekuensi lebih tinggi dibanding Aedes aegypti.
Di masa depan, pengendalian nyamuk berbasis akustik perlu memperhitungkan variasi khusus spesies, terkait frekuensi yang dihasilkan ini.
Kenanga, Penebar Wangi Alami dan Pengusir Nyamuk Demam Berdarah