- Pada tahun 2024, meskipun ada beberapa kemenangan kecil untuk lingkungan hidup dan hak asasi manusia di Indonesia, seperti revisi Undang-Undang Keanekaragaman Hayati dan peraturan perlindungan pulau-pulau kecil, tantangan besar tetap ada.
- Selain itu, peningkatan kekerasan terhadap pembela hak asasi manusia lingkungan menjadi peringatan bahwa perlindungan alam dan hak asasi manusia di Indonesia masih sangat rentan dan memerlukan perhatian yang lebih besar.
- Riset menunjukkan bahwa Indonesia telah melebihi kapasitas lahan untuk perkebunan sawit, dengan Sumatera dan Kalimantan mengalami ketimpangan antara luas perkebunan dan daya dukung lingkungan.
- Solusi yang sistemik, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, pengawasan independen, serta partisipasi masyarakat dan konsumen, adalah kunci untuk memastikan perlindungan hutan Indonesia dan kontribusinya terhadap pengurangan emisi global.
Hubungan antara hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup sering kali terabaikan demi kepentingan ekonomi. Padahal, untuk perekonomian yang sehat, perlindungan terhadap hak asasi manusia, lingkungan, satwa, dan biodiversitas harus tetap diperhatikan. Banyak negara di dunia sudah mulai beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan.
LSM Satya Bumi, yang berdiri sejak Agustus 2022, fokus pada kampanye lingkungan dan advokasi untuk melindungi hutan Indonesia serta ekosistem vital lainnya. Dalam misinya, mereka mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam program-program seperti perlindungan hutan, keanekaragaman hayati, krisis iklim, transisi energi berkelanjutan, serta perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia dan lingkungan hidup (Environmental Human Rights Defenders).
Organisasi ini juga menjalankan kampanye mengenai bisnis dan hak asasi manusia (Business and Human Rights Defenders), serta melakukan riset dan advokasi langsung di lapangan.
Dalam diskusi mengenai hubungan antara lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM), Mongabay mengundang Sayyidatiihayaa Afra yang merupakan peneliti dari Satya Bumi, pada program Bincang Alam yang ditayangkan pada 16 Januari 2025 lalu bertajuk “Antara Lingkungan Hidup dan HAM: Proyeksi 2025”
Berikut adalah rangkuman diskusi, yang tata bahasanya telah disesuaikan guna penulisan artikel ini.
Mongabay: Seperti apa gambaran isu lingkungan hidup dengan kondisi HAM di Indonesia selama 2024 lalu dari pantauan Satya Bumi?
Sayyidatiihayaa Afra: Dari pemantauan kami di tahun 2024, sebenarnya ada kemenangan-kemenangan kecil untuk lingkungan hidup Indonesia dan juga hak asasi manusia. Dimana misalnya tahun lalu undang-undang keanekaragaman hayati itu direvisi dan memperkenalkan satu ide terkait dengan area preservasi, dimana areal preservasi ini pada dasarnya adalah area-area dengan tingginya tingkat biodiversitas, tapi dia tidak masuk ke dalam kawasan hutan konservasi.
Kemudian tahun lalu juga Mahkamah Konstitusi memutuskan pulau-pulau kecil itu tidak bisa dibebani atau dilakukan eksploitasi. Ini juga salah satu kemenangan karena banyak sekali kalau kita bicara transisi energi energi ini seringkali dimaknai dengan adanya shifting penggunaan batubara ke dalam penggunaan baterai untuk transportasi salah satunya.
Bahan baku baterai ini salah satunya adalah nikel, dan ternyata ahli geologi di dunia melihat bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan deposit nikel tertinggi di dunia. Dan oleh karenanya, eksploitasi nikel ini meningkat sekali di Indonesia setidaknya sejak tahun 2014.
Ambisi untuk menambang nikel inilah akhirnya banyak sekali pulau-pulau kecil di timur Indonesia yang dikorbankan untuk dikeruk nikelnya. Kalau misalnya pulau-pulau kecil ini hilang, maka mungkin dunia akan kehilangan laboratorium marine terbaik yang ada di dunia.

Lalu juga Permen LHK tahun no. 10/2024 dimana Siti Nurbaya (Menteri LHK yang saat itu menjabat), mengeluarkan peraturan untuk semakin memperkuat perlindungan environmental human rights defender (EHRD).
Tapi juga kami mencatat ada kemunduran yang harus tetap diawasi. Salah satunya dimana pelanggaran HAM yang masih tinggi, kemudian politik perluasan perkebunan khususnya perkebunan sawit. Kita mendengar di dalam debatnya Gibran Rakabuming Raka (sebagai cawapres) pada Pilpres 2024 itu, bilang bahwa akan melakukan ekstensif untuk kebutuhan biodiesel Indonesia, padahal itu udah ketinggalan zaman.
Lalu kami juga menyoroti adanya dumping nikel atau pembuangan limbah nikel pertambangan yang tidak berkelanjutan, kemudian proyek strategis nasional yang tidak melibatkan masyarakat di Merauke, di Sorong, di pertambangan-pertambangan nikel dan kami juga melihat adanya konglomerasi di komoditas sawit dan tebu di Indonesia di tahun 2024.
Di laporan EHRD atau Environmental Human Right Defender, dimana kami melakukan pemantauan terhadap tren kekerasan yang dilakukan oleh berbagai macam pelaku dari berbagai lapisan pada 2024. Total kasusnya ada 31 dan ini meningkat dan korban individunya total ada 144 korban individu.
Pertanyaannya lalu siapa orang yang bisa melindungi alam Indonesia, kalau misalnya, environmental human rights defender ini terus-menerus dipersekusi? Ini jadi peringatan serius untuk lingkungan hidup di Indonesia.

Mongabay: Apa lagi isu lingkungan hidup yang berkaitan dengan HAM yang sedang berjalan?
Sayyidatiihayaa Afra: Lalu bicara mengenai biodiesel. Biodiesel adalah bahan bakar pengganti solar yang dibuat dengan mencampurkan minyak kelapa sawit. Tujuan utamanya adalah mengurangi impor solar di Indonesia.
Namun, masalah muncul karena minyak kelapa sawit juga digunakan untuk pangan, dan saat perusahaan biodiesel mendapat subsidi, mereka cenderung mengalihkan sawit untuk biodiesel.
Ini menciptakan persaingan antara kebutuhan pangan dan biodiesel, yang dikenal dengan istilah “food versus fuel“. Pada 2023, kelangkaan minyak goreng terjadi meskipun Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar, karena sebagian besar minyak sawit dialihkan untuk ekspor dan biodiesel. Sawit, yang sangat bergantung pada lahan, merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia.
Satya Bumi, bersama kelompok masyarakat sipil melakukan riset batas dan kapasitas lahan sawit di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia sudah melebihi kapasitas lahan untuk perkebunan sawit, dengan Sumatera dan Kalimantan mengalami ketimpangan besar antara luas perkebunan dan daya dukung lingkungan.
Oleh karena itu, pembukaan lahan baru untuk sawit harus dihentikan, dan pemerintah harus fokus pada tata kelola yang lebih baik, pengelolaan yang berkelanjutan, serta pemberdayaan masyarakat lokal.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sekitar 45% perkebunan sawit di Indonesia dilakukan dengan membuka hutan alam.
Mengapa saya selalu menyebutkan mengenai sawit? Karena sawit itu sangat lapar terhadap lahan, dia sangat membutuhkan lahan dan sawit itu menjadi ancaman hutan Indonesia yang paling besar itu ada di sawit.

Mongabay: Bagaimana proyeksi untuk tahun 2025 sendiri? Apa yang menjadi perhatian kelompok masyarakat sipil dan publik lainnya?
Sayyidatiihayaa Afra: Yang akan jadi sorotan ini tentu paradigma eksploitatif yang keluar dari tidak hanya statement-statement dari para menteri, tapi juga dari Presiden Republik Indonesia.
Nah, kalau dari ilmu hukum, pernyataan Presiden itu sebenarnya bisa dimaknai sebagai tindakan memerintahkan bawahan-bawahannya atau menteri-menterinya untuk mengambil kebijakan atau keputusan tertentu.
Ini akan jadi fokus yang paling penting dan paling genting karena banyak sekali cadangan hutan alam di Indonesia.
Data kami menjumpai ada 36 juta hektar hutan alam di Indonesia yang telah dibebani izin kelapa sawit, kemudian ada juga dua juta hutan yang ada di Merauke yang akan dibuka untuk perkebunan tebu dan juga beras.
Di sisi lain kami juga mencatat bahwa belasan juta hektar lahan yang rusak ini sebenarnya bisa dipulihkan dan juga ditanami tanaman perkebunan dan tanaman bioenergi.
Mongabay: Lalu bagaimana reaksi dari masyarakat sendiri selain mungkin LSM-LSM atau Lembaga-lembaga yang secara aktif menyoroti isu HAM dan lingkungan hidup?
Sayyidatiihayaa Afra: Kalau misalnya teman-teman kami, salah satunya di Kalimantan Barat, mereka sudah punya pemahaman yang sangat baik untuk melindungi hutan Masyarakat Adat di sana. Kelompok Masyarakat Dayak justru concern dengan dinamika pemilihan dinamika pengambilan keputusan untuk hutan mereka.
Jadi memang penting untuk kita menaikkan diskursus bagaimana sebenarnya pengambil policy maker dalam pengambilan kebijakan itu ternyata untuk ambil kebijakan ‘for the sake of the people, for the sake of the nation’.
Kebijakan diambil untuk kepentingan khalayak ramai untuk meningkatkan perekonomian nasional, ternyata tidak karena kalau dari perspektif masyarakat Kalimantan Barat, mereka justru mempertanyakan, “Mana? Katanya kami dapat manfaat ekonomi dari adanya kebun kayu ini, tapi kok kami tidak dapat” dan skeptisisme itu muncul.
Mongabay: Kemudian apa harapan dan solusi yang dapat dinantikan dari perkembangan kasus-kasus HAM dan lingkungan hidup yang ada di 2025?
Sayyidatiihayaa Afra: Semoga di tahun 2025 ini Komnas HAM bisa punya pedoman due diligence business yang mampu menjangkau pelaku bisnis dan ditaati oleh pelaku bisnis. Saya berharap Komnas HAM bisa punya daya enforcement yang besar kepada pelaku bisnis.
Dan semoga di 100 harinya Prabowo ini, Prabowo bisa mulai melakukan refleksi bahwa seluruh keputusan yang berdampak pada lingkungan hidup dan hak asasi manusia itu harus diambil atas keputusan dan pertimbangan yang sifatnya scientific dan obyektif, bahwa proyek yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup itu tidak dapat dipulihkan.
Jadi proyek bisnis hanya boleh dilakukan jika kerusakan lingkungan hidup itu diukur, bisa dikembalikan seperti semula kondisinya dan ada batas waktu atau time bound tertentu.
Penting pula dilakukan pengambilan keputusan yang melibatkan scientist yang independen dan juga masyarakat terdampak. Karena dampaknya itu sangat serius bagi iklim, hak asasi manusia dan tentunya hutan Indonesia.
Indonesia ini hutannya tidak cuma punya Indonesia tapi juga punya dunia. Jadi besar sekali kemampuan Indonesia untuk berkontribusi untuk menjaga emisi atau panas global. Dan juga penting semua informasi yang disampaikan ada tersedia dan bisa diakses oleh publik.
Adapun untuk solusi yang efektif itu satu, solusi yang sifatnya sistemik. Sistemik itu berarti melibatkan pengambil kebijakan itu sendiri, melibatkan pasar dan konsumen. Yang juga berarti melibatkan pengawasan yang bisa dilakukan oleh media, kelompok masyarakat, NGO seperti Satya Bumi, dan berbagai macam pihak independen. Individu pun jadi bagian dari sistem.
Ingat ketika pemilu kita berharap temukan orang-orang baik, di DPR ataupun pemerintahan yang memang kita yakini tidak melakukan tindakan koruptif termasuk politik uang dan juga memiliki sepak terjang yang jelas.
***
Foto utama: Tampak udara pembukaan lahan sawit. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay
Catatan Akhir Tahun: Kala Proyek Nasional Picu Pelanggaran HAM dan Rusak Lingkungan