Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam forum Musrembangnas di Jakarta beberapa waktu lalu perihal sawit menjadi kontroversi. Paparan bahwa kelapa sawit adalah pohon dan menyerap karbondioksida sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran deforestasi mengundang berbagai respon.
Pendapat ini disampaikan Presiden tanpa disertai dengan argumentasi ilmiah yang cukup bahwa faktanya kelapa sawit memiliki dampak yang besar dalam menciptakan tren deforestasi. Menurut data Treemap sepanjang tahun 2023 telah terjadi deforestasi hingga 30.000 hektar. Bahkan, kontribusi emisi GRK nya mencapai 200 juta metrik ton per tahun.
Data juga membuktikan bahwa fenomena ini terjadi setiap tahun dan sempat mencapai deforestasi hingga 227.000 hektar di tahun 2012. Kondisi ini terjadi di tengah ambang batas/cap lahan sawit Indonesia 18,15 juta hektar yang hampir terlampui apabila mempertimbangan kebutuhan manusia dibandingkan dengan kapasitas lingkungan hidup.

Dampak Ekstensifikasi Sawit
Dampak ekonomi akibat ekstensifikasi (perluasan) lahan sawit cenderung negatif hampir di sebagian besar indikator. Koalisi Moratorium Sawit dimana Celios terlibat menghitung dampak ekstensifikasi lahan sawit dengan menghitung sekaligus biaya sosial, biaya lingkungan, dan aspek replanting yang sering diabaikan dalam perkebunan kelapa sawit yang ekspansif.
Kajian dampak ekonomi yang diuraikan memakai tiga simulasi yakni simulasi moratorium sawit, simulasi moratorium dengan replanting, dan simulasi non-moratorium atau perluasan lahan sawit.
Simulasi non-moratorium yang diartikan sebagai tidak adanya pembatasan perluasan lahan sawit akan menyebabkan risiko ekonomi dalam proyeksi selama 20 tahun ke depan.
Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai total nilai produksi barang dan jasa yang sering menjadi indikator pembangunan ekonomi akan berkurang hingga Rp30,4 triliun dengan simulasi perluasan lahan.
Output ekonomi yang dihasilkan dari pilihan kebijakan lahan yang ekspansif juga berakibat penurunan sebesar Rp28 triliun. Hal ini perlu menjadi catatan penting apabila pemerintah ingin mengupayakan kinerja ekonomi yang berkualitas, yaitu disertai perhitungan eksternalitas negatif.
Tidak hanya dari sisi PDB dan output ekonomi, dampaknya pada sektor pendapatan masyarakat dan dunia usaha juga negatif. Adanya potensi konflik sosial dan kerugian akibat kerusakan lingkungan dapat menurunkan pendapatan masyarakat hingga turun Rp29,9 triliun dan surplus usaha terdampak turun hingga Rp25,7 triliun.
Hasil simulasi dampak pilihan pengembangan sawit juga mempertimbangkan risiko konflik lahan. Sepanjang tahun 2023 akibat perkebunan sawit tercatat sejumlah 99 kasus konflik agraria menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mendominasi total kasus yang mencapai 108. Bahkan, angkanya mencapai 1.131 kasus apabila dilihat data dari tahun 2015-2023.
Sementara itu, potensi kerugian lingkungan diungkap Madani Berkelanjutan dari besarnya ekosistem gambut yang terletak di wilayah izin sawit, yakni 6,2 juta hektar dan 3,8 juta hektar adalah tutupan lahan gambut yang perlu diselamatkan.
Padahal telah diketahui jika ekosistem gambut memiliki peran yang sangat penting dalam menyimpan karbon dan mencegah lepasan emisi karbon CO2.
Ekspor produk sawit ikut terpengaruh terutama pada tujuan negara yang memiliki standarisasi lingkungan yang ketat, seperti Uni Eropa dengan Europa Union Deforestation Regulation (EUDR), mengingat masih kecilnya pemenuhan standarisasi sawit berkelanjutan di Indonesia, seperti ISPO dan RSPO.
Kinerja ekspor sawit secara akumulatif mengalami kerugian hingga Rp993 miliar pada tahun 2045 akibat perluasan tanpa moratorium ini.
Penerimaan negara dari sektor sawit mencakup pajak ekspor, PPN, PPh, dan pungutan lainnya. Meskipun moratorium sawit membatasi ekspansi produksi, hal ini dapat memberikan penerimaan pajak yang lebih stabil dalam jangka panjang, terutama jika disertai dengan program penanaman ulang atau replanting.
Simulasi penerimaan pajak bersih tanpa moratorium mengalami defisit sebesar Rp499 miliar, sedangkan skema moratorium sawit menghasilkan pajak bersih sebesar Rp165 miliar.
Dengan tambahan replanting pada moratorium, pajak bersih meningkat hingga Rp178 miliar hingga tahun 2045.
Selain itu, simulasi sektor ketenagakerjaan akan mengalami kontribusi lebih positif ketika kebijakan moratorium yang fokus dengan intensifikasi. Pendapatan tenaga kerja akan meningkat hingga Rp14,6 triliun dan terserap hingga 827 ribu orang apabila menerapkan moratorium disertai replanting.

Mitigasi Kerusakan dan Ekonomi Restoratif
Besarnya kerusakan yang ditimbulkan ektensifikasi lahan sawit terkhusus di kawasan hutan sudah mencapai titik yang kritis. Langkah pertama yang bisa diimplementasikan adalah moratorium izin usaha perkebunan sawit dan penghentian pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.
Kebijakan ini harus sinergis di semua level kebijakan hingga kementerian teknis seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan BKPM. Selain itu, kebijakan ini harus diikuti dengan penegakan hukum yang kuat dalam rangka menekan deforestasi ilegal sektor sawit dan pengemplangan pajak senilai Rp300 triliun usaha sawit.
Kedua, diperlukan kebijakan restorasi lahan bekas sawit, terutama kawasan hutan dan lahan gambut. Studi Cambridge Econometrics mengungkapkan setiap upaya restorasi lahan gambut bermodal Rp16 ribu akan mendapatkan manfaat kembali secara ekonomi dan sosial Rp92,4 ribu atau kembali ke kita lebih dari 5 kali lipat.
Ketiga, pendekatan ekonomi restoratif. Ekonomi restoratif selain bertumpu pada upaya pemulihan ekonomi melalui restorasi lahan ekstraktif, tetapi juga fokus pada pengembangan ekonomi yang mendiversifikasi produk pertanian dan perkebunan yang lebih berkelanjutan.
Upaya ini dilakukan dengan fokus komoditas pertanian dan perkebunan yang berbasis organik, polikultur/tumpang sari, dan tidak mengubah lanskap ekosistem.
Komoditas seperti kopi, kakao, tengkawang, buah-buahan, madu, kelapa dan lain sebagianya akan lebih didorong untuk menggantikan komoditas yang monokultur dan rakus lahan, serta air seperti kelapa sawit. Pendekatan ini bisa diinisiasi melalui program pemerintah yakni hilirisasi komoditas.
Ekonomi restoratif diproyeksi akan menghasilkan output ekonomi hingga Rp2.208 triliun dan mengurangi ketimpangan hingga 15% dalam 25 tahun implementasinya. Selain itu, agenda ekonomi restoratif disertai dengan kebijakan fiskal progresif untuk menahan laju sektor ekstraktif dengan kebijakan pajak, seperti pajak karbon dan pajak kekayaan.
Pajak windfall profit komoditas dan pajak produksi tambahan diluar pungutan untuk komoditas ekstraktif juga bisa diterapkan pada kelapa sawit untuk mengurangi dampak ekspansif yang ditimbulkan. Langkah ini tentunya bisa menjadi alternatif dan bisa diterapkan bersama dengan pembenahan alokasi dana pungutan ekspor kelapa sawit.
*Jaya Darmawan, penulis adalah peneliti Ekonomi pada Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Tulisan ini adalah opini penulis.
Dirambah untuk Kebun Sawit, Ancaman Serius Suaka Margasatwa Rawa Singkil