- Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menuai banyak sorotan. Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, regulasi anyar ini kental Orde Baru karena membuka lebar ruang keterlibatan militer.
- Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, khawatir, perpres ini justru untuk menggusur pemukiman, kebun dan ladang masyarakat di dalam kawasan hutan. Apalagi, banyak proyek pemerintah yang haus lahan, mulai dari proyek strategis nasional (PSN), dan wacana hutan cadangan untuk pangan dan energi.
- Muhammad Isnur, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mendesak, perpres tidak memicu penggusuran terhadap masyarakat adat atau komunitas lokal yang telah lama tinggal di kawasan hutan.
- Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut, kebijakan ini mengandung corak militerisme yang kuat. Regulasi ini rawan membuka ‘kotak pandora’ pasca-reformasi, karena menempatkan kembali TNI dalam posisi strategis kebijakan publik. Pemerintah, harus bisa memanfaatkan hutan untuk kepentingan rakyat, sebagaimana amanat UUD 1945, bukan untuk korporasi yang terbukti merusak hutan. Perpres ini, baru bisa dianggap penting kalau dapat menindak perusakan hutan oleh korporasi besar.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menuai banyak sorotan. Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, regulasi anyar ini kental Orde Baru karena membuka lebar ruang keterlibatan militer.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyatakan, dominasi TNi dalam Satgas Pengarah dan Pelaksana bertentangan dengan tugas, fungsi, dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara.
Militerisasi terlihat jelas dalam struktur Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan. Satgas yang termaktub dalam perpres ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu, pengarah dan pelaksana. Ketua dan wakil ketua masing-masing satgas dominan TNI dan Polri.
“Apakah keterlibatan TNI dalam perpres ini sudah mendapat persetujuan dari DPR? Karena pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang memerlukan persetujuan DPR,” katanya dalam siaran pers yang diterima Mongabay.
Dia bilang, keterlibatan TNI dalam satgas dengan dalih perbantuan tidak bisa dibenarkan. Hal ini hanya bisa dilakukan jika ada masalah yang melampaui kapasitas otoritas sipil.
“Apakah Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup dan aparat penegak hukum tidak mampu menangani masalah ini hingga harus melibatkan TNI?” tanya Uli.
Dia khawatir, perpres ini justru untuk menggusur pemukiman, kebun dan ladang masyarakat di dalam kawasan hutan. Apalagi, banyak proyek pemerintah yang haus lahan, mulai dari proyek strategis nasional (PSN), dan wacana hutan cadangan untuk pangan dan energi.
Uli pun menilai, regulasi ini menyamakan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan oleh korporasi dengan masyarakat yang selama ini jadi korban konflik tenurial dan agraria. Negara, cenderung lebih mudah merampas lahan rakyat, ketimbang perusahaan.
Sayangnya, perpres ini akan melegalkan perampasan itu dengan melibatkan militer. Padahal, yang harus pemerintah lakukan adalah menindak aktivitas ilegal perusahaan.
“Jangan beraninya pada rakyat kecil yang selama ini menjadi korban klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan buruknya tata kelola perizinan.”
Dia desak, masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasan belum selesai dan menjadi subyek untuk penataan kawasan tidak boleh tersentuh aturan ini. Pun demikian dengan masyarakat yang kini masih mengalami konflik dengan perusahaan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan.

Rasa orba
Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), sudah membaca keterlibatan militer sejak penetapan PSN melalui Perpres Nomor 3/2016 tentang Percepatan PSN. Dalam pelaksanaannya, mengerahkan aparat dan lembaga penegak hukum.
Lahir pula UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang membuka peluang lebih besar bagi militer dalam pengamanan proyek, khususnya PSN yang masuk objek vital nasional.
Perpres ini makin melegitimasi peran TNI dalam pendekatan keamanan untuk proyek-proyek pemerintah.
“Di Indonesia, TNI satu-satunya lembaga yang kebal dari kasus korupsi. Bahkan, ketika KPK mencoba mengusut kasus TNI, KPK justru meminta maaf karena merasa terancam. Gaya militer ini yang diduga akan dimanfaatkan memuluskan proyek pemerintah saat ini,” kata Julius kepada Mongabay.
Menurut dia, akan ada risiko pelanggaran HAM di masa depan karena keterlibatan TNI.
Muhammad Isnur, Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mendesak, aturan ini jangan sampai menyebabkan penggusuran terhadap masyarakat adat atau komunitas lokal yang lama tinggal di kawasan hutan.
Militer lakukan ‘penertiban’ kawasan hutan ini, katanya, rawan melabeli masyarakat dalam kawasan hutan sebagai pengganggu pertahanan. Padangan itu, katanya, jelas keliru dan bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan TNI sebagai alat pertahanan untuk menjaga kedaulatan, bukan menertibkan hutan.
“Sudah ada polisi kehutanan untuk menertibkan hutan. Kita khawatir keterlibatan TNI dalam penertiban justru berujung ke penggunaan kekerasan,” kata Isnur pada Mongabay.
Apalagi, pemerintah kini gencar merencanakan proyek skala besar, seperti 20 juta hektar hutan untuk pangan, energi, dan air. Rencana ini, kata Isnur, berisiko menggerus masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Perpres 5/2025 akan melegitimasi penggusuran itu.
“Keterlibatan militer dalam berbagai proyek ini berisiko membahayakan negara dan memundurkan kemajuan reformasi TNI.”
Pemerintah, justru harus mendata penguasaan kawasan hutan oleh korporasi besar, kemudian mengambil alih wilayah dan menyerahkan kepada masyarakat.
Senada dengan Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dia menyebut, kebijakan ini mengandung corak militerisme yang kuat. Regulasi ini rawan membuka ‘kotak pandora’ pasca-reformasi, karena menempatkan kembali TNI dalam posisi strategis kebijakan publik.
Pemerintah, katanya, harus bisa memanfaatkan hutan untuk kepentingan rakyat, sebagaimana amanat UUD 1945, bukan untuk korporasi yang terbukti merusak hutan. Perpres ini, baru bisa dianggap penting kalau dapat menindak perusakan hutan oleh korporasi besar.
Dia skeptis dan menduga aturan ini untuk memuluskan proyek skala besar pemerintah.
Dimas tidak melihat urgensi keterlibatan militer dalam berbagai proyek itu. Lantaran sudah ada lembaga yang berwenang menangananinya, seperti Polisi Kehutanan yang punya tugas lewat UU untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan.
Militer menertibkan kawasan hutan justru bisa menambah catatan buruk dan memperpanjang cerita konflik agraria di Indonesia.
“Saat ini, banyak warga atau masyarakat adat tinggal di kawasan hutan, banyak dari mereka belum mendapatkan perlindungan negara melalui pengakuan hutan adat. Jika perpres ini disalahgunakan, masyarakat adat bisa terancam dari ruang hidup mereka.”

Harus transparan
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menilai, implementasi regulasi anyar ini akan efektif kalau dibarengi perbaikan tata kelola sawit. Seperti membuka data hak guna usaha (HGU).
Catatan FWI, luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga 2023 mencapai 6,1 juta hektar, hanya 5,8 juta hektar punya izin HGU. FWI mencatat, luas HGU pada 2024 mencapai 9,26 juta hektar, dengan 795.000 hektar berada dalam kawasan hutan. Praktik buruk ini tidak hanya merusak hutan alam, juga berisiko memperburuk korupsi di sektor sumber daya alam.
Di pertambangan, hanya 400.000 hektar dari 4,99 juta hektar konsesi tambang di dalam kawasan hutan yang memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) atau persetujuan penggunaan kawasan hutan. Sebanyak 1.899 IUP ilegal dan merugikan negara.
“Penertiban kawasan hutan bertujuan mengoptimalkan penerimaan negara melalui denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset di kawasan hutan. Namun, tujuan ini akan sulit tercapai tanpa prinsip keterbukaan informasi,” katanya.
Keterbukaan informasi HGU, seperti lokasi spesifik, pemegang HGU, dan jenis komoditas, katanya, dapat meminimalisasi praktik ilegal perambahan kawasan hutan dan korupsi dalam proses perizinan serta penertiban kawasan hutan.
FWI pernah mengajukan permohonan keterbukaan informasi HGU pada 6 Agustus 2013. Sayangnya, kata Anggi, Kementerian ATR/BPN terus menolak membuka informasi HGU ke publik, walaupun sudah ada berbagai putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dia sebutkan, putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 22 Juli 2016 menyebut HGU sebagai informasi terbuka untuk publik. Bahkan, Mahkamah Agung pun menolak kasasi yang KATR/BPN pada 6 Maret 2017.
Menurut Anggi, ketidakpatuhan KATR/BPN terhadap putusan hukum merupakan pembangkangan. Padahal, penertiban kawasan hutan sangat rentan terhadap praktik korupsi dan transaksional di sektor sumber daya alam.
“Dibutuhkan integritas tinggi untuk menjalankan tugas ini.”
Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, keterbukaan informasi perusahaan di kawasan hutan krusial guna memastikan penggunaan Perpres 5/2025 untuk menertibkan izin konsesi “nakal” di kawasan hutan.
Arman melihat, ada kaitan antara aturan ini dengan proses penetapan kawasan hutan yang tengah Kementerian Kehutanan genjot. Banyak penolakan masyarakat adat terhadap upaya Kemenhut ini karena penetapan dengan tidak partisipatif, alih-alih mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC).
Jangan sampai, katanya, aturan ini jadi alat legitimasi pemindakan masyarakat adat yang sudah mendiami kawasan hutan secara turun-temurun berdasarkan hukum adat.
“Mereka tersingkir karena klaim sepihak negara.”

*****