- Alih fungsi hutan mangrove di Batam, Kepulauan Riau untuk industri terus berlanjut. Seperti di pesisir Kabil, reklamasi hutan mangrove oleh PT Blue Steel Industrial (BSI) berlangsung tanpa tindakan tegas, meski kegiatan itu diduga tanpa izin memadai.
- DLHK Provinsi Kepulauan Riau kembali melakukan penyegelan aktivitas reklamasi tak berizin yang dilakukan PT Blue Steel Industrial (BSI) di pesisir Kampung Tua Panau, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam.Langkah serupa pernah dilakukan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, segel kembali dibuka setelah perusahaan membayar denda.
- Hendrik Hermawan, pendiri NGO Akar Bhumi meyanyangkan sikap DLHK yang hanya memberikan sanksi denda. Sebab, hukuman ini terbukti tidak membuat perusahan kapok hingga terus mengulangi kegiatannya. Ia menduga ada ‘beking kuat’ hingga perusahaan tetapi beroperasi.
- Parid Ridwanuddin, aktivis lingkungan sebut, langkah pemerintah yang hanya mengenakan sanksi administratif mencerminkan sikap yang hanya mengendepankan pendapatan negara, ketimbang perlindungan lingkungan. Ia mendorong kasus ini dibawa ke pidana.
Alih fungsi hutan mangrove di Batam, Kepulauan Riau untuk industri terus berlanjut. Seperti di pesisir Kabil, reklamasi hutan mangrove oleh PT Blue Steel Industrial (BSI) berlangsung tanpa tindakan tegas, meski kegiatan itu diduga tanpa izin memadai.
Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia (ABI) menyatakan, pemerintah harus mengambil tindakan lebih tegas ketimbang sekadar penyegelan dan pemberian sanksi administrasi. “Ini untuk memberi efek jera pada perusahaan yang melanggar,” katanya.
Pada 14 Februari, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kepulauan Riau menyegel reklamasi BSI di pesisir Desa Kabil. Perusahaan, sebut DLH, belum mengantongi izin lingkungan.
Ini bukan kali pertama pabrikan baja berurusan dengan otoritas. Sebelumnya, pada 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan hal serupa. Namun, segel kemudian dicabut setelah perusahaan membayar denda, menindaklanjuti sanksi.
“Penyegelan dilakukan karena perusahaan belum memiliki izin persetujuan lingkungan,” kata Hendri, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kepri kepada Mongabay, terkait penyegelan 14 Februari lalu.
Reklamasi BSI ini sudah menjadi perhatian sejak 2023. Bahkan, Mongabay sudah menulis seri liputan soal ini.
Hendri mengatakan, penyegelan itu baru sekarang, setelah sebelumnya perusahaan berjanji mengurus izin persetujuan lingkungan kepada DLHK Kepri, termasuk dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tetapi tak kunjung mereka lakukan.
Alih-alih melengkapi izin, BSI malah terus menimbun laut. “Ternyata mereka tidak melengkapi (izin persetujuan lingkungan) tetapi malah menimbun, melakukan reklamasi.”
Hendri tidak tahu apakah perusahaan mengantongi izin atau tidak terkait reklamasi. Bila pun ada, perusahaan harus tetap mendapat persetujuan lingkungan dari DLHK lantaran pembangunan berada di kawasan laut.
“Saya tidak tahu, kalau perusahaan mengurusnya (izin reklamasi) ke BP (Badan Pengusahaan Batam), kalau urus ke BP pun harus ada izin lingkungan, karena tidak ada izin, kami stop,” katanya saat dihubungi dari Batam.
Setiap pembangunan di kawasan laut dan hutan harus ada izin lingkungan ke DLHK Kepri. Izin keluar setelah menyesuaikan peruntukan tata ruang pembangunan, misal, untuk industri atau yang lain.
“Setelah peruntukan tata ruang sesuai, baru perusahaan mengajukan persetujuan lingkungan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu, DLHK sebagai termohon untuk mengeluarkan rekomendasi teknisnya untuk amdal.”
Kalau surat persetujuan Amdal keluar, perusahaan baru bisa bekerja. Untuk sanksi ada tahapan, pertama administrasi. “Denda seluas yang ditimbun, cuma hitungan dendanya belum diatur,” kata Hendri.

Masih operasi
Sejauh ini, katanya, sanksi baru sebatas denda. Kalau memang ada bukti kerusakan dan pencemaran, dia akan memproses secara pidana. Bahkan, tidak menutup kemungkinan menutup perusahaan itu.
Saat ini, mereka masih fokus pada persoalan perizinan hingga belum mengetahui kerusakan lingkungan dari reklamasi yang belum memiliki izin itu. “Ya itu (kami) belum sampai ke kerusakan. Cuma kalau mau menimbun, mereka harus punya dokumen lingkungan,” katanya.
Mereka sudah memasang plang larangan aktivitas di lokasi tetapi papan itu seolah tak berguna. Pasalnya, sampai Rabu (19/2/25), perusahaan masih beraktivitas seperti biasa.
Pantauan Mongabay di lokasi, dump truck yang mengangkut material hilir mudik melakukan penimbunan di lokasi. Begitu juga dengan para pekerja, mereka tetap beraktivitas. Area timbunan juga makin luas dari beberapa tahun lalu. Perairan yang sebelumnya jernih, terlihat keruh.
Hendrik Hermawan, mengatakan, aktivitas BSI menimbulkan kerusakan lahan mangrove pesisir. Pemandangan bisa terlihat kasat mata itu tidak hanya terjadi di kawasan mangrove yang tertimbun, juga di Kampung Panau, Nongsa.
Dia sudah melaporkan kasus ini ke Komisi XII DPR Bidang Lingkungan Hidup. Dia melihat perusahaan ngotot melakukan reklamasi kendati tak memiliki izin. Dia meyakini, ada sosok ‘kuat’ di balik aktivitas itu.
Dia perkirakan, hutan mangrove tertimbun sekitar delapan hektar. “Sekitar 70% nelayan di kampung ini terdampak akibat reklamasi, meskipun perusahaan sudah memberikan kompensasi.”

Pidana lingkungan
Mongabay mencoba konfirmasi perihal penyegelan ini ke Kantor BSI tak jauh dari lokasi reklamasi. Namun, petugas keamanan perusahaan di pintu gerbang tidak mengizinkan masuk.
Salah seorang sekuriti perusahaan mengatakan, tidak ada penyegelan di BSI. Hanya saja beberapa waktu lalu salah seorang perangkat RW datang mengeluhkan debu dampak dari aktivitas perusahaan.
“Kalau penyegelan nggak ada, yang ada kemarin itu RW komplain karena jalan berdebu, itu sudah kita atasi dengan cara menyiram,” kata petugas sekuriti yang menolak menyebutkan namanya itu.
Dia meminta kontak Mongabay untuk menyampaikan ke manajemen perusahaan. Mereka berjanji memberikan pernyataan resmi perihal penyegelan reklamasi itu. Hingga berita ini rilis, BSI belum memberikan pernyataan mereka.
Parid Ridwanuddin, aktivis lingkungan mengkritik sikap pemerintah yang terlalu lembek karena hanya memberikan sanksi administratif atas dugaan tindak pidana lingkungan BSI. Faktanya, sanksi tidak cukup membuat pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Dia pun mendorong pemerintah membawa kasus ini ke ranah pidana. Apa yang perusahaan lakukan termasuk tindak pidana lingkungan. “Aktivitas itu terang-terangan mengakibatkan ekosistem mangrove rusak.”
Menurut dia, pemberian sanksi administratif mengindikasikan pemerintah hanya mengedepankan pemasukan negara, bukan untuk melindungi lingkungan. Padahal, sebagai pulau kecil, hutan mangrove berperan penting sebagai benteng pulau.
******
Reklamasi Bermasalah di Batam: Nelayan Kehilangan Ruang Laut, Beralih Kerja Serabutan