- Militerisasi dalam proyek-proyek pemerintah berisiko merugikan petani kecil. Pasalnya, petani harus berhadapan langsung dengan aparat bersenjata kalau terjadi konflik.
- Made Supriatma, peneliti ISEAS-Yusuf Ishak Institute, menyebut pelibatan milter ini sama dengan dwifungsi ABRI orde baru. Kebijakan ini membuat petani tidak berdaya jika harus berhadapan dengan militer.
- Muhammad Isnur, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan, pihaknya mendampingi 36 kasus akibat proyek pemerintah di seluruh Indonesia. Mayoritas melibatkan militer.
- Suraya A Afiff, Antropolog dari Universitas Indonesia, menyebut, terminologi kedaulatan dan ketahanan pangan memiliki pendekatan berbeda dalam pemenuhan pangan.
Militerisasi dalam proyek-proyek pemerintah berisiko merugikan petani kecil. Apalagi, petani harus berhadapan langsung dengan aparat bersenjata kalau terjadi konflik.
Proyek-proyek yang akan melibatkan militer antara lain food estate, energi dan air bersih. Gayung bersambut, TNI berencana membentuk 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) untuk mendukung program swasembada pangan dan energi.
“Batalyon baru ini selain memiliki fungsi tetap sebagai satuan infanteri, juga punya fungsi khusus dalam mendukung pencapaian program pemerintah mengatasi masyarakat,” kata Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, dalam kutipan Kompas.com.
Made Supriatma, peneliti ISEAS-Yusuf Ishak Institute, menyebut, pelibatan milter ini sama dengan dwifungsi ABRI orde baru. Kebijakan ini membuat petani tidak berdaya kalau harus berhadapan dengan militer.
“Kalau seandainya terjadi konflik … dengan petani soal air … apakah para petani bisa berani melawan bapak-bapak Kodim yang buka sawah ini?” tanyanya dalam diskusi awal Februari lalu.
Pelibatan militer dalam proyek pemerintah sudah terjadi sejak rezim Joko Widodo. Ia berlanjut di pemerintahan Prabowo Subianto.
Pada era Jokowi, kata Made, Kementerian Pertahanan melakukan program penyediaan air bersih, jauh dari inti konservasi air. Mereka mencari sumber air seperti menambang.
“Gali, ambil airnya, terus kemudian pergunakan. Itu satgas air.”
Untuk pangan, TNI juga terlibat dalam food estate di Kalimantan Tengah. Saat ini, katanya, lima batalyon ada di seluruh Papua untuk menangani hal serupa, tiga berangkat pada Desember lalu, termasuk satgas air.
Perhitungan terakhir Made, sekitar 60.000-an pasukan di Papua. Sedangkan penduduk Papua keseluruhan, sekitar 5,5 juta jiwa.
“Jadi kita bisa bayangkan 10% dari penduduk itu adalah militer.”
Prabowo, katanya, miliki konsepsi Indonesia seperti orde baru, memandang militerisasi sebagai cara menyatukan dan memajukan negeri. Dia duga, kecenderungan korupsi politikus membuat Prabowo lebih percaya pada militer.
“Dia tidak tahu bahwa tentaranya juga sebenarnya korup. Kita tidak tahu bahwa tentara korup karena mereka punya sistem peradilan sendiri. Dan tidak ada kasus korupsi di dalam tubuh tentara yang terungkap.”
Made bilang, keterlibatan militer dalam food estate bisa merampas yang sudah rakyat kerjakan. Kebijakan ini, katanya, hanya berpihak pada pengusaha.
“Kalau nanti ada konflik… di pedesaan itu konflik luar biasa besar ya, konflik air, konflik sumber pangan, konflik pupuk dan lain sebagainya. Apakah itu sudah dipikirkan oleh kabinet?”
Muhammad Isnur, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan, mereka mendampingi 36 kasus dampak proyek pemerintah di Indonesia, mayoritas melibatkan militer.
Menurut dia, melibatkan militer menghadapi konflik agraria berpotensi melanggar HAM. ”Ketika militer di tengah lapangan yang dibawa senjata, yang dihadapi masyarakat. Masyarakat dianggap sebagai musuh gitu, dianggap sebagai orang yang harus ditundukkan dengan operasi-operasi mereka.”
Dia contohkan, warga Rempang yang terusir secara sistematis dan meluas. Dalam Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa merupakan kejahatan terhadap kemanusian dan pelanggaran HAM berat.
Isnur bilang, pelibatan militer dalam posisi strategis di luar tercantum dalam Undang-undang, melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi.
“TNI, Polri, dalam proyek-proyek seperti ini itu jelas menyebabkan demokrasi itu hancur.”

Dorong kedaulatan pangan
Satyawan Sunito, akademisi agraria IPB University, mengatakan, sejak zaman kolonial, orde baru, sampai reformasi, tata kelola perhutanan di Indonesia tidak banyak berubah secara fundamental.
Dia memakai istilah hutan politik. Kondisi saat negara mengambil alih hutan dan perkebunan dari rakyat yang tidak bisa membuktikan kepemilikannya. Ini merupakan cara kolonial dalam merebut sumber daya alam.
Sementara, masih sedikit penentuan batas-batas hutan negara yang melibatkan masyarakat lokal. Sampai saat ini, masih banyak batas hutan yang belum ada penetapan.
Negara pun menggunakan istilah perambah hutan pada masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan sejak dulu. Ini merupakan bentuk marginalisasi, hutan diakui, tetapi tidak dengan masyarakat. Hal ini, katanya, legal tetapi tidak legitimate. Itu sebabnya pemerintah Indonesia bisa mengklaim sekitar 67% daratan sebagai kawasan hutan.
“Untuk waktu yang panjang sekali, kawasan ini kemudian dikonsesikan pada perusahaan-perusahaan besar itu, HTI dan HGU. Ya, walaupun batas-batas sebetulnya sama sekali belum jelas.”
Sejak 150 tahun lalu, tata kelola sumber daya alam di Indonesia selalu diwarnai proses pengambilan lahan dari penduduk lokal ke korporasi besar. Indonesia pun menjadi negara dengan ketimpangan sumber daya.
”Yang dikorbankan adalah desa-desa sekitar kawasan hutan negara itu, yang kemudian tidak bisa berkembang dengan normal.”
Padahal, katanya, kawasan hutan yang penduduk lokal manfaatkan menghasilkan sistem pertanian beragam dan mereka kembangkan tanpa batas dengan teknologi yang ada. Ia akan jadi dasar ekonomi sangat kuat, di daerah maupun nasional. Produk pertanian jadi basis industri dan desa jadi lebih sejahtera.
Sementara, penguasaan sumber daya alam dengan dominasi negara dan korporasi besar hanya mengejar ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan.
Pemerintah, katanya, juga tak membangun infrastruktur serius untuk mendukung pengembangan pertanian kecil di daerah-daerah. Balai-balai pertanian di daerah, katanya, tak memiliki sumber daya manusia dan keuangan yang mumpuni untuk berinovasi dan mengembangkan sistem pertanian berbasis ekosistem lokal.
“Seandainya itu dibangun, ribuan sarjana-sarjana muda pertanian, kehutanan, itu mempunyai tempat di situ,” kata dosen purnabakti IPB University ini.
Senada dengan Suraya A Afiff, Antropolog dari Universitas Indonesia. Menurut dia, terminologi kedaulatan dan ketahanan pangan memiliki pendekatan berbeda dalam pemenuhan pangan.
Ketahanan pangan, katanya, fokus pada penyediaan pangan tanpa peduli sumber. Sedangkan kedaulatan pangan, mengutamakan kebebasan menentukan kebutuhan pangan, pemenuhan sesuai potensi dan sistem pangan masing-masing daerah.
“RPJMN, saya lihat, sejak 2014 konsisten menggunakan ketahanan bukan kedaulatan.”
Suraya bilang, pemerintah penuh kontradiksi kebijakan. Food estate yang menjadi prioritas dalam pemenuhan pangan nasional, misal, belum pernah terbukti jadi solusi swasembada pangan. Apalagi dengan melakukan penebangan hutan.
Menurut dia, kebijakan pangan pemerintah merupakan gastro kolonialisme. Pemaksaan pangan tertentu untuk semua lapisan masyarakat, berasisasi. Padahal, masyarakat di Papua, antara lain, punya sagu sebagai makanan pokok.
“Kita menginternalisasi kolonial ke daerah-daerah yang bukan penghasil beras dan bukan makanan pokoknya beras.”
Program berasisasi menghancurkan keberagaman dan kedaulatan pangan masyarakat yang selama ini terjalin secara mandiri di beberapa daerah. Seharusnya, pemerintah justru melindungi kedaulatan pangan.
Sistem pertanian monokultur yang pemerintah dorong, akan menghancurkan sistem pangan lokal, keberagaman benih, dan akses petani kecil terhadap lahan. Sementara, banyak lahan diserobot program-program besar.
“Ini bisa memicu tuna kisma (landless).”

*****
Perkebunan Tebu Jutaan Hektar, Bagaimana Nasib Hutan Papua?