- Sebelas warga Ogan Komering Ilir (OKI) dan Palembang, Sumatera Selatan, mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), 26 Februari lalu. Mereka minta dukungan amicus curiae (sahabat peradilan) untuk gugatan bencana asap yang mereka ajukan ke Pengadilan Negeri Palembang.
- Muhamad Arif, salah seorang penggugat, bilang, bencana asap telah mengacak-acak mobilitas dan produktivitasnya. Ketika terjadi kabut asap, pada Mei 2023, dia harus pulang untuk mengevakuasi istri dan anaknya. Ke rumah mertua di OKI Timur, sekitar 80 kilometer dari tempat tinggalnya.
- Pramono Ubaid Tanthowi, Wakil Ketua Komnas HAM, membenarkan ihwal audiensi tersebut. “Komnas HAM biasa menyampaikan amicus curiae di berbagai pengadilan, terutama biasanya kasus-kasus kriminalisasi atas para aktivis. Demikian juga kasus-kasus konflik antara warga dengan pemerintah daerah atau dengan korporasi.”
- Ipan Widodo, Kuasa Hukum Penggugat, menyatakan, sejumlah dampak kerugian yang dirasakan penggugat telah sesuai dengan ketentuan strict liability dalam UU PPLH. Pasal 88 regulasi ini menyatakan, setiap orang yang tindakannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Sebelas warga Ogan Komering Ilir (OKI) dan Palembang, Sumatera Selatan, mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), 26 Februari lalu. Mereka minta dukungan amicus curiae (sahabat peradilan) untuk gugatan bencana asap yang mereka ajukan ke Pengadilan Negeri Palembang.
Sebelumnya, mereka mengajukan gugatan terhadap tiga perusahaan penyuplai kayu akhir Agustus 2024. Perusahaan diduga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015, 2019, dan 2023. Ketiganya terafiliasi dengan Sinar Mas, yaitu, PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries.
Catatan Greenpeace Indonesia, luas kebakaran di konsesi perusahaan-perusahaan itu selama 2010-2020, mencapai 473.000 hektar, atau hampir empat kali luas Jakarta. Hampir setengahnya terjadi pada periode 2015-2020, dengan area kebakaran berulang seluas 175.000 hektar.
Para penggugat menyatakan, bencana asap menimbulkan berbagai dampak buruk. Muhamad Arif, salah satu penggugat bilang, bencana asap mengacak-acak mobilitas dan produktivitasnya.
Lelaki asal OKI ini pekerja lepas di Palembang. Ketika terjadi kabut asap, pada Mei 2023, dia harus pulang untuk mengevakuasi istri dan anaknya ke rumah mertua di OKI Timur, sekitar 80 kilometer dari tempat tinggalnya. Dia tak rela buah hati, yang baru berusia delapan bulan terpapar asap.
“Aku amankan di rumah mertua, karena di situ agak jauh dari titik api, titik asap,” katanya ketika ditemui di Jakarta.
“Setelah sedikit aman, baru aku ajak kembali ke rumah.”
Selama kabut asap, dia tidak bisa bekerja berhari-hari karena harus menjaga rumah serta mendesain instalasi khusus sebagai penangkal asap. Misal, dengan menutup seluruh sirkulasi udara dan membeli pendingin ruangan.
Menurut dia, tindakan itu akan terus dia lakukan sepanjang karhutla dan kabut asap terjadi karena perusahaan-perusahaan itu.
Para penggugat menyampaikan kerugian materiil dan imateriil di Pengadilan Negeri Palembang, 12 Desember 2024. Nilai kerugian materiil antara Rp200.000-Rp200 juta. Kerugian immateriil dari tiap pengguat nilainya mencapai Rp10 miliar.
Arif bilang, kerugian materiil berdasarkan kerugian ekonomi tiap penggugat, seperti dampak pada pekerjaan, harta benda dan lain-lain. Sedangkan, kerugian immateriil berdasarkan kehilangan momen bersama keluarga, hak lingkungan hidup yang baik dan sehat, hingga dampak psikologis.
“Gugatan (immateriil) Rp10 miliar Itu untuk konsekuensi yang fatal. Momen berharga aku dengan anakku hilang karena kabut asap. Aku tunggu anak, (setelah menikah) tiga tahun baru dapat. Setelah punya anak, belum sampai setahun umurnya, ada lah bencana asap ini,” katanya.
Dia berharap, Komnas HAM mau menjadi amicus curiae, dan mendampingi dan menjamin perlindungan hak dan keamanan warga selama proses persidangan. Dia khawatir ancaman dan intimidasi.
Pramono Ubaid Tanthowi, Wakil Ketua Komnas HAM, benarkan kedatangan warga. Warga, katanya, menyampaikan kerugian akibat kabut asap berulang. Juga, permintaan untuk terlibat sebagai amicus curiae dalam sidang gugatan asap.
Komnas HAM, katanya, segera mendiskusikan dan mendalami aduan warga juga permintaan jadi sahabat peradilan.
“Nanti kami akan pelajari dulu, di internal Komnas HAM.”
Komnas HAM, katanya, akan berkomunikasi dengan kuasa hukum warga terkait dengan waktu dan sebagainya.
“Komnas HAM biasa menyampaikan amicus curiae di berbagai pengadilan, terutama biasanya kasus-kasus kriminalisasi atas para aktivis. Demikian juga kasus-kasus konflik antara warga dengan pemerintah daerah atau dengan korporasi,” katanya, selepas audiensi.
Dia tidak menampik ada dugaan pelanggaran HAM dalam kasus karhutla di Sumsel. Terutama terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, atas pekerjaan, hak pendidikan dan hak atas rasa aman.

Tuntut tanggung jawab
Gugatan perdata yang warga ajukan berdasarkan argumen pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dan pembagian tanggung jawab (market share liability). Keduanya merujuk ketentuan dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Ipan Widodo, Kuasa Hukum Penggugat, menyatakan, sejumlah dampak kerugian penggugat rasakan sesuai dengan ketentuan strict liability dalam UU PPLH. Pasal 88 regulasi ini menyatakan, setiap orang yang tindakannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
“Kami bisa buktikan ini ancaman serius, ada ISPA dan lain sebagainya.”
Selain itu, mereka telah mengajukan pembuktian lewat sejumlah sumber seturut ketentuan PerMA 1/2023, antara lain, dengan menunjukkan data luasan lahan karhutla lewat storymaps dan sistem pemantauan karhutla (SiPongi).
“Artinya, selama bisa membuktikan validasi lahan yang kami dalilkan, sesuai syarat-syarat pembuktian dalam PerMA 1 tahun 2023. Saya berkeyakinan ini berjalan sebagaimana semestinya.”
Sedang Market share liability, katanya, bisa jadi jawaban kompleksitas dan ketidakpastian penegakan hukum lingkungan. Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, kerumitan-kerumitan itu banyak ditemukan dalam persoalan-persoalan lingkungan hidup, termasuk karhutla.
Masyarakat, katanya, kerap sulit membuktikan lokasi yang jadi sumber asap, juga pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana tersebut. PerMA 1/ 2023 memberi solusi.
“Peraturan itu membolehkan masyarakat gugat satu badan usaha, walaupun pencemaran dan atau kerusakan lingkungan diduga diakibatkan oleh banyak badan usaha.”
PerMA 1/2023, katanya, menegaskan tergugat hanya dapat lepas dari pertanggungjawaban kalau mampu membuktikan bahwa pencemaran dan atau kerusakan lingkungan tidak disebabkan kegiatan atau limbah yang dilepaskannya.
Difa berharap, gugatan warga Sumatera Selatan melawan kabut asap dapat jadi preseden baik menguji keadilan dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Juga, mendorong pembaruan dan perbaikan hukum lingkungan di masa mendatang.

*****
Lingkungan Rusak, Warga Sumatera Selatan Gugat Korporasi Penyebab Karhutla