Hanya dalam hitungan hari setelah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengenakan pajak impor 25% untuk produk-produk dari Meksiko dan Kanada serta pungutan 20% pada semua barang dari Tiongkok.
Pada 12 Maret 2025, Trump juga memberlakukan tarif 25% buat impor baja dan aluminium dari semua negara. Kebijakan ini memicu tindakan balasan dari Kanada dan Uni Eropa, yang mengumumkan tarif pada barang-barang Amerika Serikat.
Produk asal Indonesia kena tarif 32%. Namun, menurut Menteri Airlangga–yang memimpin delegasi Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat—, ternyata bisa terkena tarif super tinggi hingga 47% karena masih ada tarif-tarif lain yang mereka terapkan untuk produk Indonesia. Ini kebijakan baru yang Trump sebut sebagai tarif proteksionis dan resiprokal.
Ancaman Trump memberlakukan tarif ketat ini datang bertubi-tubi dengan kecepatan yang memusingkan masyarakat dunia. Perang dagang global memanas, dengan dampak signifikan bagi perekonomian. Baru-baru ini, Inggris dan negara-negara produsen mobil besar lain khawatir tentang tarif masuk yang tinggi pada mobil dan baja.
Menurut studi terkini, tarif Trump justru akan memukul ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara yang menjadi targetnya. Para peneliti dari London School of Economics and Political Sciences memperkirakan, pungutan itu bisa mengakibatkan penurunan produk domestik bruto (PDB) 0,64% di Amerika Serikat, 0,68% di Tiongkok, dan 0,11% di Uni Eropa.

Dampak bagi perubahan iklim
Perang tarif nyata-nyata mengganggu perdagangan global. Ada satu efek samping yang belum banyak dibahas adalah dampak terhadap emisi global.
Pengurangan permintaan barang konsumsi akan mengurangi pengiriman dan transportasi internasional secara besar-besaran, merupakan kontributor utama emisi global.
Meskipun Trump banyak kena kritik karena mencabut peraturan lingkungan, termasuk menarik Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris dan mendukung industri bahan bakar fosil, Trump mungkin secara tidak sengaja menerapkan kebijakan tarif yang menguntungkan lingkungan secara signifikan.
Menurut para ilmuan, transportasi lintas negara menyumbang sekitar 3% dari emisi global, yaitu, sekitar 1.000 juta metrik ton CO2 per tahun dari transportasi laut.
Selanjutnya, menurut International Maritime Organization, emisi transportasi lintas negara akan meningkat hingga 50% pada 2050, hingga akan menjadi kontributor emisi CO2 signifikan.
Selain itu, kebisingan bawah laut dan bencana polusi seperti tumpahan minyak dapat menimbulkan dampak luar biasa karena menyebabkan stres dan mendorong perubahan perilaku biota laut.
Kebijakan tarif Trump dapat memperpendek rantai pasokan dan mengurangi jejak karbon besar-besaran yang terkait jaringan manufaktur dan distribusi yang sangat mengglobal.
Sementara banyak pabrik di Tiongkok masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga batubara, jaringan energi Amerika Serikat makin beralih ke energi terbarukan seperti angin, matahari, dan gas alam dengan jejak karbon lebih rendah.
Dalam beberapa tahun terakhir, AS menginvestasikan lebih US$126 miliar dalam produksi industri bersih, dengan menerapkan teknologi dan metode manufaktur ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Menurut Badan Informasi Energi AS, pembangkit tenaga surya negeri Paman Sam itu akan mengalami peningkatan 75% antara 2023 dan 2025. Dari 163 miliar kilowatt-jam (kWh) pada 2023 jadi 286 miliar kWh pada 2025.
Dari data yang tersedia, pembangkit listrik tenaga angin di AS akan tumbuh 11% dari 430 miliar kWh pada 2023 jadi 476 miliar kWh pada 2025.Kebijakan proteksionis Trump juga akan berdampak pada rantai pasok ekspor pakaian jadi dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Kebijakan tarif Trump akan membuat harga busana lebih mahal di AS, namun akan mengurangi pendapatan negara berkembang dari ekspor pakaian jadi ke AS.

Potensi pendanaan iklim global
Tarif impor yang Trump terapkan akan membuat negara-negara maju mulai mengalihkan sumber dana yang tadinya untuk pembiayaan iklim teralokasi ke kegiatan lain.
Padahal, pada KTT Iklim COP-29 November tahun lalu di Azerbaijan negara-negara maju berjanji menambah bantuan menjadi US$3 miliar per tahun untuk mengakselerasi aksi iklim negara berkembang.
Komitmen ini terancam batal karena ada turbulensi ini.Brasil yang akan menjadi tuan rumah COP-30 tahun ini bersama-sama beberapa negara berkembang menargetkan mobilisasi dana US$1,3 triliun per tahun untuk mengurangi dampak bencana iklim di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini.
Indonesia akan menyampaikan rencana kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca melalui natioanal determined contributions (NDC).
Dalam draf NDC kedua yang akan berlaku sampai 2035, Indonesia menyampaikan komitmen dengan menerapkan prinsip ‘no back sliding’. Artinya, dinamika apapun yang terjadi secara geo-politik tidak akan mempengaruhi target penurunan emisi nasional sampai 2030.
Namun, kebijakan tarif Trump sedikit banyak akan berpengaruh pada pilihan aksi mitigasi iklim yang akan masuk dalam katagori 2, yaitu aksi-aksi iklim yang akan didukung dengan pendanaan internasional.
******

*Penulis: Doddy S Sukadri adalah Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Bagaimana Nasib Program Konservasi Kelautan di Indonesia Setelah Dana USAID Dibekukan?