- Inland taipan adalah ular paling berbisa di dunia dengan racun yang jauh lebih mematikan dibandingkan kobra atau mamba. Namun, ular ini sangat pemalu dan hampir tidak pernah menggigit manusia di alam liar.
- Racunnya berevolusi untuk melumpuhkan mangsa kecil dengan sangat cepat di lingkungan gurun yang keras. Inland taipan juga memainkan peran ekologis penting sebagai pengendali populasi tikus liar di pedalaman Australia.
- Ancaman terbesar bagi spesies ini bukan manusia, melainkan perubahan iklim dan kerusakan habitat. Meskipun sangat mematikan, ular ini justru menjadi simbol harmoni dan kekuatan yang terkendali dalam sistem alam.
Di antara ribuan spesies ular yang menghuni bumi, hanya sedikit yang mampu menyaingi reputasi mengerikan dari satu spesies yang hidup tersembunyi di jantung benua Australia: Inland taipan atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai taipan pedalaman (Oxyuranus microlepidotus), atau yang sering disebut sebagai fierce snake. Ular ini tidak hanya dianggap sebagai spesies paling berbisa di dunia, tetapi juga merupakan salah satu contoh terbaik dari spesialisasi evolusioner dalam dunia hewan. Anehnya, meskipun kemampuannya untuk membunuh sangat mengerikan, hewan ini hampir tidak pernah terlibat dalam insiden mematikan. Sebaliknya, ia menjalani hidup yang tenang, tersembunyi jauh dari aktivitas manusia, seolah menjadi metafora biologis tentang kekuatan yang terkendali.
Penelitian oleh Australian Venom Research Unit (AVRU) menunjukkan bahwa racun inland taipan memiliki LD50 (lethal dose 50) yang sangat rendah—hanya sekitar 0,025 mg/kg dalam pengujian pada tikus. LD50 merupakan ukuran ilmiah yang digunakan untuk menentukan seberapa mematikan suatu zat; semakin rendah angkanya, semakin mematikan zat tersebut. Dalam konteks ini, inland taipan berdiri di puncak daftar, mengalahkan mamba hitam dan kobra India dalam hal toksisitas. Racunnya tidak hanya bekerja cepat, tetapi juga menyerang berbagai sistem tubuh secara bersamaan, mulai dari sistem saraf, otot, hingga pembuluh darah. Hanya satu tetes kecil bisa menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan, gagal jantung, dan kematian dalam waktu kurang dari satu jam jika tidak segera ditangani.

Meski memiliki reputasi sebagai hewan paling mematikan di dunia, inland taipan sebenarnya adalah makhluk yang sangat pemalu dan cenderung menghindari manusia. Ia hidup di lingkungan yang terpencil dan tandus, tepatnya di wilayah Channel Country di Australia bagian tengah, sebuah daerah yang nyaris tak tersentuh oleh peradaban modern. Ketika merasa terancam, ia cenderung memilih melarikan diri ke dalam liang atau retakan tanah dibandingkan menghadapi konfrontasi. Fakta menarik lainnya adalah bahwa hingga kini belum pernah tercatat satu pun kasus kematian manusia di alam liar akibat gigitan inland taipan. Inland taipan adalah ular soliter yang aktif di siang hari, terutama pada pagi hari untuk berjemur dan berburu mangsa. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di liang atau tempat perlindungan, tetapi pada hari-hari yang lebih sejuk, ular ini juga bisa terlihat aktif di sore hari. Insiden gigitan yang pernah terjadi umumnya terjadi di fasilitas penangkaran atau laboratorium, dan semua korban berhasil diselamatkan berkat ketersediaan antibisa yang efektif.
Inland taipan juga menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan musim dengan mengubah warna kulitnya. Mereka cenderung menjadi lebih terang saat musim panas dan lebih gelap saat musim dingin, sebuah mekanisme termoregulasi yang membantu mereka menyerap panas secara efisien pada suhu yang lebih rendah. Meskipun sangat berbisa dan mampu menyerang dengan presisi tinggi, inland taipan lebih memilih menghindari bahaya. Namun jika diprovokasi, dipegang paksa, atau dicegah melarikan diri, ular ini dapat bertindak defensif dan menggigit. Karena hidup di lokasi yang sangat terpencil, ular ini sangat jarang berinteraksi dengan manusia.
Baca juga: Dari Welang hingga Viper, Inilah Ular-Ular Paling Berbahaya di Tiap Benua di Dunia
Adaptasi Biologis dan Peran Ekologis
Kekuatan racun inland taipan bukanlah hasil kebetulan, melainkan buah dari proses evolusi yang berlangsung selama jutaan tahun. Ular ini merupakan pemburu spesialis yang memangsa mamalia kecil seperti tikus gurun dan marsupial. Dalam lingkungan kering dan tandus seperti Channel Country, makanan tidak selalu tersedia dengan mudah, sehingga efektivitas dalam berburu menjadi sangat penting. Racun inland taipan bekerja secara cepat dan efisien, melumpuhkan mangsanya sebelum sempat melarikan diri ke liang atau celah batu. Penelitian oleh Fry et al. (2005) mengungkapkan bahwa komponen utama racunnya, yaitu taipoxin, dapat menghambat sinapsis saraf secara permanen hanya dalam hitungan menit. Ini menjadikan racunnya sebagai salah satu senjata biologis paling presisi yang pernah diciptakan alam.
Berdasarkan uji LD50 pada tikus dan juga kultur sel jantung manusia, racun inland taipan dinyatakan sebagai yang paling mematikan di antara semua spesies reptil. Bahkan, racunnya terbukti lebih toksik daripada bisa ular laut yang selama ini dikenal sangat mematikan di ekosistem laut tropis.

Dalam penelitiannya yang dipublikasikan di Nature , Bryan G. Fry dari University of Queensland menyebutkan bahwa: “Kompleksitas taipoxin pada inland taipan merupakan contoh paling ekstrem dari spesialisasi molekuler dalam racun ular. Efeknya yang cepat dan menyebar secara sistemik membuktikan bahwa evolusi racun bisa mencapai tingkat presisi luar biasa dalam mekanisme berburu.”
Selain sebagai predator yang efisien, inland taipan juga memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Setelah musim hujan, populasi tikus di pedalaman Australia dapat melonjak drastis, menimbulkan risiko kerusakan pada vegetasi dan rantai makanan lainnya. Di sinilah inland taipan berperan sebagai pengendali alami populasi hama, memastikan bahwa ekosistem tetap berada dalam keseimbangan. Tanpa kehadiran predator seperti inland taipan, siklus ekologi di daerah-daerah kering tersebut bisa terganggu, memicu ledakan populasi mangsa dan berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati lokal. Dengan kata lain, meskipun kehadirannya sering tak terlihat, dampaknya sangat nyata.
Baca juga: Mengapa Begitu Banyak Hewan Berbisa di Australia?
Konservasi dan Relevansi Ekologis Spesies Berbisa
Seperti banyak spesies endemik lainnya, inland taipan tidak kebal terhadap ancaman perubahan iklim dan kerusakan habitat. Daerah Channel Country, habitat utama ular ini, semakin sering mengalami pola cuaca ekstrem akibat fenomena El Niño dan La Niña yang tak terduga. Perubahan ini dapat memengaruhi ketersediaan mangsa, kelembaban tanah, dan siklus berkembang biak ular. Selain itu, perluasan aktivitas pertanian dan peternakan juga mengancam kelestarian habitat tanah liat retak yang menjadi tempat tinggal alami inland taipan. Studi oleh Wilson & Swan (2017) menunjukkan bahwa retakan tanah tersebut sangat penting bagi ular ini sebagai tempat bersembunyi dari panas ekstrem dan predator. Hilangnya habitat ini bisa berdampak serius terhadap kelangsungan populasinya di masa depan.

Meskipun tergolong sebagai spesies yang jarang dijumpai, inland taipan saat ini diklasifikasikan sebagai “Least Concern (LC)” dalam daftar merah IUCN. Namun demikian, jumlah populasi pastinya belum diketahui karena sulitnya akses ke habitat alaminya dan sifatnya yang soliter serta sangat tertutup terhadap gangguan.
Ancaman utama terhadap kelangsungan hidup inland taipan termasuk hilangnya habitat akibat aktivitas manusia dan penurunan jumlah mangsa utama mereka, yaitu tikus liar. Penurunan populasi tikus ini sebagian besar disebabkan oleh predasi dari spesies predator invasif seperti kucing liar dan rubah merah yang diperkenalkan ke Australia. Dampak tidak langsung dari pergeseran rantai makanan ini dapat merugikan populasi inland taipan dalam jangka panjang.
Ancaman terhadap Inland Taipan
Saat ini, inland taipan dikategorikan sebagai spesies Least Concern (LC) menurut IUCN Red List. Meskipun demikian, data populasi global masih belum tersedia secara akurat karena sulitnya akses ke habitat alaminya dan karena sifat ular ini yang soliter serta sangat tertutup terhadap keberadaan manusia.
Ancaman utama yang dihadapi inland taipan mencakup hilangnya habitat akibat ekspansi pertanian dan degradasi lahan yang terus meluas di wilayah pedalaman Australia. Selain itu, keberadaan predator invasif seperti kucing liar dan rubah merah telah menurunkan populasi mangsa utama ular ini, yaitu tikus liar. Perubahan iklim yang ekstrem, termasuk peningkatan suhu dan pola curah hujan yang tidak menentu, juga memengaruhi ketersediaan makanan serta siklus berkembang biak ular ini.
Kombinasi dari berbagai faktor ini berpotensi mengganggu keseimbangan rantai makanan di habitat alaminya dan memberikan tekanan ekologis jangka panjang terhadap kelangsungan hidup inland taipan. Walau belum diklasifikasikan sebagai spesies yang terancam punah, kecenderungan ini menunjukkan pentingnya pemantauan populasi secara berkelanjutan dan perlindungan habitat alami mereka dari dampak perubahan lingkungan.Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kita tidak menemukan inland taipan, tetapi kawasan ini juga merupakan rumah bagi sejumlah spesies ular yang tak kalah berbisa. Salah satunya adalah Hydrophis belcheri, ular laut yang terkenal karena tingkat toksisitasnya yang tinggi dan kadang disebut-sebut sebagai ular laut paling berbisa di dunia.
Meski begitu, spesies ini sangat jarang menggigit manusia karena habitatnya di perairan lepas dan sifatnya yang tidak agresif. Selain itu, Indonesia juga memiliki berbagai spesies ular tanah seperti ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dan ular pohon berbisa dari genus Trimeresurus. Tak ketinggalan pula kobra lokal dari genus Naja, yang sering ditemukan di Jawa dan Sumatra. Meskipun toksisitas racunnya masih berada jauh di bawah inland taipan.