- Rani Jambak, musisi perempuan keturunan Minangkabau menarik perhatian warga Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), kala manggung di Festival Maumerelogia 5, Mei lalu. Pasalnya, dia tampil dengan instrumen musik ciptaannya, Kincia Aia, alat musik elektro-akustik, berbentuk kincir air yang dia kembangkan dari teknologi tradisional Minangkabau.
- Karya Rani juga sampai di dunia internasional. Tentu saja tetap mengedepankan isu lingkungan. Akhir Mei lalu, Perempuan yang sekarang tinggal Lasi, Sumatera Barat, ini hadir dalam Spinning Ground, proyek kolaborasi antara seniman di Galeri 5 Busan Museum of Contemporary Art (MoCA). Proyek yang merupakan bagian dari pameran Green Shivering ini merupakan salah satu program performatif unggulan Busan MoCA.
- Peraih The Oram Awards pada tahun 2022 atas kontribusinya yang inovatif dalam bidang suara, musik, dan teknologi ini, mendalami proses soundscape atau merekam suara-suara yang ada di sekitarnya. Baginya, praktik ini membuatnya lebih memahami konteks dari suara lebih dalam.
- Daniel De Fretes, penulis jurnal ilmiah Promusika Volume 4 tentang Soundscape: Musik dan Lingkungan Hidup, menyebut soundscape sebagai suatu wacana meningkatkan kesadaran manusia terhadap suara di lingkungan, sebagai proses evaluatif untuk mencapai tatanan masyarakat berkelanjutan.
Rani Jambak, musisi perempuan keturunan Minangkabau menarik perhatian warga Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), kala manggung di Festival Maumerelogia 5, Mei lalu. Dia tampil dengan instrumen musik ciptaannya, Kincia Aia, alat musik elektro-akustik, berbentuk kincir air yang dia kembangkan dari teknologi tradisional Minangkabau.
Alat musik ini menghasilkan suara air mengalir, menemaninya membawa lagu Malenong (M)aso tentang krisis air dan perubahan iklim global serta Luhur Menghilang tentang air sebagai sumber kehidupan.
Menurut Rani, Kincia Aia merupakan instrumen musik yang lahir dari upaya pencarian identitas kebudayaan yang dia kaitkan dengan simbol kerja alam dan manusia, yakni memutar, menggiling, mengolah, dan melestarikan.
Alat ini lahir akhir 2022 dalam proyek riset jangka panjang #FutureAncestor, upaya artistik untuk menelusuri akar budaya Minangkabau melalui rekaman suara alam, desain instrumen, dan spiritualitas leluhur.
Bagi masyarakat Minangkabau, kincir merupakan teknologi leluhur yang penggunaannya sejak dulu untuk mengairi sawah atau menumbuk padi. Namun, katanya, penggunannya kini jarang terlihat. Bukan hanya karena perkembangan teknologi, tapi matai air mulai hilang, dan sungai mengering. Kincir jadi tidak bisa berputar.
“Pada akhirnya Kincia Aia ini juga menyuarakan tentang krisis iklim, krisis air, enggak bisa berputar kalau enggak ada air,” katanya saat Mongabay hubungi, Kamis (12/6/25).
Seniman dan Komposer kelahiran Medan ini mengaku tertarik pada isu lingkungan ketika menempuh pendidikan tingkat lanjut di Australia tahun 2018. Saat itu, dia sempat membaca berita tentang ikan paus yang mati dengan tubuh penuh enam kilogram sampah plastik. Membuatnya sadar kalau sampah yang manusia hasilkan tidak hanya berdampak buruk bagi manusia saja.
Dari situ, dia dedikasikan proyek akhir studinya dalam bentuk kampanye lingkungan melalui musik bertajuk #ForMyNature. Tujuannya, membangun komitmen dan kesadaran untuk mencintai lingkungan, yang jadi modal untuk melindungi dan merawat alam.
Kampanye itu pun berkembang dengan hadirnya musik bertema lingkungan darinya setiap tahun. Antara lain musik bertema sampah plastik 2018 dan kebakaran hutan tahun 2019.
Prosesnya tidak mudah. Berbagai emosi meliputi Rani. Misal, saat pembuatan karya kolaborasi dengan Orangutan Haben untuk mengangkat isu orangutan yang membuatnya sedih. Karena, menurutnya, primata besar ini berjasa menjaga hutan, namun tidak aman buruan dan pembunuhan.
Kisah orangutan bernama Hope, yang berjuang hidup sambil menggondong anaknya meski kena berondong puluhan peluru, secara khusus menginspirasi lagunya yang bertajuk The Eyes. Karya ini mengungkap bagaimana mata manusia jadi senjata paling berbahaya, mata yang telah kehilangan empati, mata yang bertanggungjawab atas penyiksaan hewan-hewan.
“Di sosial media kita banyak sekali melihat hewan-hewan yang disiksa tapi kita tidak bisa bereaksi apa-apa ataupun kita tidak peduli, kita tutup (mata) saja, sebenarnya mata kitalah yang menjadi senjata paling berbahaya terhadap hewan-hewan itu, saya menganalogikannya seperti itu.”

Kolaborasi internasional
Karya Rani juga sampai di dunia internasional. Tentu saja tetap mengedepankan isu lingkungan.
Akhir Mei lalu, Perempuan yang sekarang tinggal Lasi, Sumatera Barat, ini hadir dalam Spinning Ground, proyek kolaborasi antara seniman di Galeri 5 Busan Museum of Contemporary Art (MoCA). Proyek yang merupakan bagian dari pameran Green Shivering ini merupakan salah satu program performatif unggulan Busan MoCA.
Tahun ini secara khusus menggarap tema ekologi, ketubuhan, dan lanskap pasca industri melalui seni suara, media dan penampilan kontemporer.
Dia bilang, Spinning Ground merupakan kelanjutan dari proyeknya bersama Sojin Kwak, seniman Korea Selatan. Proyek ini terhubung dengan riset jangka panjang #FutureAncestor miliknya.
Dalam keterangan tertulis yang Mongabay terima, Sojin menyebut, proyeknya dengan Rani berbicara tentang masa depan dengan nilai yang sama, keberlanjutan, penghargaan terhadap hidup, dan kesadaran terhadap bumi.
Dia membayangkan hubungan imajinatif antara Pulau Eulsukdo di negaranya dan lubang bekas galian tambang di Sukabumi. Menurutnya. Tanah dan batu dari kerukan gunung-gunung di Indonesia, meski berpindah tempat, tetap berada di bumi.
“Secara imajinatif, Pulau Eulsukdo itu seperti sedotan yang menyembul, di mana tanah dan batuannya berasal dari lubang tambang di Sukabumi. Batuan dan tanah yang hilang di satu tempat, muncul di tempat lain. Itu cara bumi bekerja, atau mungkin, cara manusia mengubah bumi,” ucapnya.
Spinning Ground terbagi dalam dua komposisi utama, Loss dan Recovery. Loss merupakan ledakan kemarahan dan ketakutan atas eksploitasi alam. Untuk menciptakan suara benturan dan gesekan kasar, mentah, dan penuh intensitas, Rani menggunakan batu asli yang dia kumpulkan dari sekitar museum.
“Komposisi ini menggambarkan alam yang dilukai, dan ketakutan manusia yang ditinggalkan oleh tanah yang hancur,” tutur Rani.
Di bagian Recovery, suara berubah menjadi lebih lembut dan reflektif. Kali ini, dia menggunakan lempeng batu besar yang terhubung ke sistem musik elektronik, memungkinkan bunyi tercipta hanya dengan sentuhan. Dia usap batu itu seperti merawat luka ataupun membelai anaknya.
Suara vokalnya pun muncul dominan, menyerukan harapan. Dia memungut batu-batu kecil, menggenggamnya, lalu meletakkannya dengan hati-hati, seolah berkata batu bukan benda mati, tapi simbol kehidupan yang harus dirawat.
Sementara instrumen Kincia Aia yang dia mainkan dalam kedua komposisi tersebut, hadir sebagai simbol keterkaitan antara batu dan air. Putaran Kincia melambangkan perputaran dan pergerakan bentuk bumi dengan beragam denyut kehidupan makhluk hidup yang tinggal di atasnya.
Rani sepenuhnya menyusun komposisi musikal ini, sekaligus jadi penampil tunggal dalam pertunjukan sekitar 40 menit itu. Seluruh lapisan bunyi dia susun dari rekaman lapangan suara alam dan aktivitas manusia yang dia dan Sojin Kwak kumpulkan dari berbagai lokasi di Indonesia dan Korea. Mulai dari suara hutan, ombak, sungai, hingga aktivitas pelabuhan Busan dan lingkungan Pulau Eulsukdo.
Selain kolaborasi di Korea, dia juga pernah berkolaborasi dengan Yenting Hsu, seniman Taiwan, tahun 2023. Karya mereka berkisah tentang oksigen, merujuk pada hasil penelitian ahli biologi asal Prancis, Louis Damas yang berbicara tentang pentingnya kelestarian langsung dan sumbangsih oksigen dari laut bagi atmosfer.
Semua karyanya tidak lepas dari pemahamannya akan konsep dalam falsafah Minangkabau Alam Takambang Jadi Guru, yang berbarti alam sebagai guru.
“Jadi alam itu menjadi guru utama dalam kehidupan manusia Minangkabau. Nah, otomatis kalau misalnya alam itu rusak artinya kita tidak akan bisa hidup dengan punya nilai lagi.”.

Memahami alam lewat suara
Peraih The Oram Awards pada tahun 2022 atas kontribusinya yang inovatif dalam bidang suara, musik, dan teknologi ini, mendalami proses soundscape atau merekam suara-suara yang ada di sekitarnya. Baginya, praktik ini membuatnya lebih memahami konteks dari suara lebih dalam.
Contoh, suara anak-anak yang bermain di Sungai Deli yang dia rekam. Dalam prosesnya, dia terciprat air sungai, badannya langsung gatal-gatal.
Dari proses itu, dia sadar banyak hal. Sungai yang dulu terkenal sebagai pusat perdagangan itu kini sudah tercemar dengan sampah dan polutan kimia.
Kondisi ekonomi membuat warga yang tinggal di daerah sekitar sungai tidak memiliki pilihan. Mereka tinggal di rumah yang tidak memiliki sanitasi baik.
Kala itu, ada banyak ketimpangan dia dapatkan dari proses merekam suara di satu titik. Akhirnya, dia memahami kondisi yang terjadi di masyarakat saat ini.
“Pada akhirnya saya punya ide untuk bagaimana caranya untuk kita bisa belajar mencari identitas kebudayaan itu melalui suara.”

Daniel De Fretes, penulis jurnal ilmiah Promusika Volume 4 tentang Soundscape: Musik dan Lingkungan Hidup, menyebut soundscape sebagai suatu wacana meningkatkan kesadaran manusia terhadap suara di lingkungan, sebagai proses evaluatif untuk mencapai tatanan masyarakat berkelanjutan.
Jurnal itu mengatakan komponis Kanada R. Murray Schafer pertama kali mengenalkan soundscape. Dia memperkenalkan terminologi tersebut untuk mendeskripsikan apa yang manusia dengar dalam kehidupan sehari-hari.
De Fretes mengatakan kesadaran ekologi yang pemikir masa kini kedepankan berupaya membawa manusia pada kenyataan bahwa manusia tidak hidup sendiri di alam. Bukan pula penakluk yang bebas mengeksploitasi lingkungan hidupnya.

*****