- Konflik agraria antara petani Tebo, Jambi, dengan perusahaan kayu, PT Wirakarya Sakti (WKS), Sinar Mas Group, tak kunjung usai. Pada Mei lalu, tanah Kelompok Tani Sakato Jaya, di Desa Lubuk Mandrasah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, kena gusur. Warga protes.
- Fran Dody, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi menilai, perusahaan sengaja ingin laporkan petani, kemudian menjebloskan ke penjara—modus yang biasa PT WKS gunakan untuk menekan petani, seperti kasus di Batanghari. Tuduhannya perambahan hutan.
- Oscar Anugerah, Dirktur Eksekutif Walhi Jambi meminta, Forest Stewardship Council (FSC) menolak proses pelaksaan remedy framework yang Asia Pulp and Paper (APP), ajukan sebelum konflik antara PT WKS dengan masyarakat selesai. Perusahaan melanggar policy for association dalam FSC, yang melarang keras tindakan pelanggaran terhadap hak tradisional dan hak asasi manusia dalam sektor kehutanan.
- Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, lembaga jasa keuangan termasuk bank seharusnya patuh pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan internal. Bank-bank yang tercatat sebagai pembiaya Sinar Mas melakukan uji tuntas atas apa yang terjadi.
Matahari belum tegak benar ketika tanah Dusun Wonorejo, Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, pagi 7 Mei lalu. Tanah bergetar, bergemuruh. Delapan ekskavator PT Wirakarya Sakti (WKS) merayap ke kebun masyarakat, menggulung ribuan batang sawit tanpa sisa.
Seorasng petani perempuan terpaku di tepi kebun. Mata membelalak tak percaya. Kebun yang jadi satu-satunya harapan keluarganya hancur. Dia berlari ketakutan, napas terengah, ambruk tak sadarkan diri di antara debu dan batang sawit yang tercabik-cabik.
“Kami tidak tahu kenapa digusur…Kami tidak pernah dikasih tahu,” kata Santi, bukan nama sebenarnya. Suaranya terdengar berat.
Tanpa penjelasan, WKS menggusur seratusan hektar kebun petani di RT 13 Sabar Menanti, Dusun Wonorejo. Padahal lahan yang disepakati Perkumpulan Maju Jaya Tunggal Ika (MJTI) untuk bermitra dengan WKS berada di RT 14, Dusun Benteng Makmur.
Masalah ini bermula saat Riyanto, Ketua Kelompok Tani Maju Jaya—sekarang berubah nama menjadi MJTI—menyodorkan surat tawaran kemitraan kehutanan kepada WKS pada 25 Agustus 2021– setelah sehari sebelumnya ketemu perwakilan WKS Distrik VIII di Desa Muara Kilis.
Riyanto mengklaim ada 1.177,6 hektar lahan kelompok tani siap bermitra. Petani akan mendapat fee Rp20.000 per ton dari panen kayu akasia empat tahun sekali.
Tidak semua lahan yang Riyanto klaim bermitra dengan WKS. Hasil verifikasi objek lokasi kemitraan pada 2 Desember 2021, hanya 300 hektar lahan di RT 14, Dusun Benteng Makmur, Desa Muara Kilis akan bermitra dengan WKS dengan lokasi di Distrik VIII. Kebun warga di RT 13 tak masuk dalam kemitraan.
Namun, lahan yang MJTI klaim itu tumpang tindih dengan lahan Kelompok Tani Sakato Jaya, Desa Lubuk Mandrasah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo.
“Lokasi kita sebelahan. Tapi kita belum tahu berapa luasnya—yang tumpang tindih—, karena batas klaim mereka belum jelas,” kata Tami, Ketua Kelompok Tani Sekato Jaya.

Petani protes
Rabu siang, 7 Mei 2025, puluhan petani protes menolak lahan di RT13 tergusur anak usaha Sinar Mas Group ini. Mereka menghadang alat berat yang ingin mengubur kebunnya. Videonya pun viral.
“Ladang kami di sini pak,” kata seorang perempuan.
“Biar kita mati sama-sama, biarkan anak-anak di depan,” teriak perempuan yang lain.
“Kami memperjuangkan ladang kami pak.”
“Tolong, tolong… jangan, jangan.”
Suara anak menangis.
Seorang mengejar petani tua sampai lari pontang-panting di tengah panas, mendaki tanah berbukit, bertelanjang kaki. Dia menerobos semak-semak, sembunyi di balik rerumputan liar.
Fran Dody, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi menilai, perusahaan sengaja ingin laporkan petani, kemudian menjebloskan ke penjara—modus yang biasa WKS gunakan untuk menekan petani, seperti kasus di Batanghari. Tuduhannya perambahan hutan.
“WKS sengaja ingin membuat petani takut,” kata Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) wilayah Jambi itu.
Berhari-hari alat berat WKS menggusur puluhan hektar kebun petani, dengan penjagaan sekitar 40 orang untuk pengamanan. Tenda petani ikut mereka rusak, perempuan dan anak-anak ketakutan. WKS meminta masyarakat membuat surat pernyataan apabila ingin setop penggusuran. Warga menolak.
Petani di Muara Kilis kemudian meminta bantuan Himpunan Kerukunan Petani Indonesia (HKTI) perwakilan cabang Tebo untuk menyelesaikan masalah dengan WKS.
Samsudin, bukan nama sebenarnya, petani Tebo, yang ikut menemui Pardamean Ritonga, Ketua DPC HKTI Tebo, di Simpang Niam.
“Balek-balek, kebunlah habis digusur. Entek kabeh. Sawit-sawit dikubur, roto karo tanah,” katanya getir.
Usaha selama tujuh tahun membuat kebun untuk keluarganya terenggut WKS.
“Kata orang laki-laki nggak boleh nangis, tapi nangis aku nggak kuat.”
Pada 24 Mei 2025, tiga anggota DPRD Tebo Komisi II mendatangi lokasi penggusuran. Mereka meminta perusahaan menghentikan penggusuran sampai ada kesepakatan. Tiga alat berat perusahaan tarik keluar lokasi. Esoknya, mereka kembali menggusur kebun masyarakat.
Dua hari setelah itu, puluhan petani Muara Kilis ikut rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II di Kantor DPRD Tebo. Hadir pula Pemerintah Tebo, WKS dan MJTI.
Suryadi, anggota Komisi II meminta setop penggurusan, sebelum semua data divefikasi dengan objektif. “Kami tidak ingin masyarakat dirugikan lebih jauh,” katanya.
Hasil RDP ada kesepakatan bikin tim verifikasi dengan pimpinan Camat Tengah Ilir. Ketua Komisi II Tibrani, berharap, ketegangan antara petani dengan WKS bisa redam, sembari menata pola kemitraan lebih adil.
“Hasil verifikasi, tidak ada anggota MJTI yang punya lahan di lokasi RT 13 yang WKS gusur,” kata Pardamean Ritonga.
Namun, MJTI mengeklaim lahan itu masuk areal yang bermitra dengan WKS.

Perwakilan WKS mengatakan, tidak melakukan penggusuran terhadap petani, yang ada penertiban karena itu areal hutan.
“Tidak ada penggusuran tapi penertiban, karena itu areal hutan,” kata Tri Fitria, manajemen WKS, kepada sejumlah wartawan usai RDP Komisi II DPRD Tebo, mengutip Jambiprima.com, 26 Mei lalu.
Ketika wartawan tanya soal luas lahan yang WKS tertibkan, Fitria malah bilang tanya ke MIJI. “Kalau luasan mungkin bisa tanya dengan maju jaya tunggal ika (MJTI).”
Saat Mongabay konfirmasi ke Ngadiono, Wakil Ketua MJTI sedang di Jakarta, pada 28 Juni lalu. Dia minta Mongabay menghubungi kembali sepulangnya dari Jakarta.
“Besok kalau saya sudah pulang saja ya mas, maaf ya mas,” jawabnya via pesan Whatsapp.
Saat kami hubungi kembali 30 Juni 2025, Ngadiono tak menjawab. Sebelumnya, Ngadiono mengatakan penertiban lahan yang WKS lakukan, sudah sosialisasi, pendataan dan imbauan kepada masyarakat yang menggarap lahan di konsesi perusahaan.
Parda, panggilan akrab Pardamean mengatakan, akan memperjuangkan keadilan untuk petani di Muara Kilis, meski Ngadiono yang menjabat Wakil Ketua MJTI, juga anggota HKTI Tebo.
“Itu sudah perintah pimpinan, jadi kami harus memperjuangkannya,” katanya dalam panggilan video call usai mengikuti Musyawarah Nasional HKTI di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, 25 Juni lalu.
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono terpilih sebagai Ketua HKTI meminta semua pengurus cabang di daerah untuk menyelesaikan konflik lahan di wilayah masing-masing.
WKS melanggar perjanjian.pada 2021. WKS, katanya, bersama Pemerintah Desa Muara Kilis sepakat tak akan menggusur kebun produktif masyarakat. “Perjanjian itu ditandatangani WKS dan desa.”
Dalam UU Cipta Kerja, katanya, tanah yang masyarakat kelola lebih dari lima tahun tak bisa sembarangan gusur.
Sampai pertengahan Juni 2025, luas kebun petani di Muara Kilis WKS gusur sekitar seratusan hektar. “Penggusuran ini membuat masyarakat tersingkirkan.”

Negara lepas tangan?
Petani di Sekato Jaya, Lubuk Mandrasah terus berjaga-jaga. Mereka tahu giliran mereka tergusur bisa tiba kapan saja. Tanah mereka berdampingan dengan lokasi penggusuran. Dari kejahuan, mereka terus memandangi ke mana ekskavator WKS bergerak.
“Kami tidak bisa tidur nyenyak. Kalau alat berat itu nggak diawasi, habislah kebun kami,” kata petani.
Konflik WKS dengan petani pecah sejak 2006, saat anak usaha APP itu mulai menggusur kebun, ladang dan padi petani. Penangkapan petani membuat warga Lubuk Mandarsah marah, mereka merusak tanaman akasia perusahaan.
Pada 2013, Kelompok Tani Sekato Jaya yang terlibat sengketa lahan 1.500 hektar dengan WKS, melakukan perlawanan. WKS tak tinggal diam. Berbagai intimidasi mereka lakukan untuk mencegah petani kembali menggarap lahan yang mereka klaim masuk konsesi.
Puncaknya, pada 27 Februari 2015, Indra Pelani terbunuh oleh enam sekuriti WKS.
Tak setop itu saja. Sepanjang Februari-Mei 2020, perusahaan mulai melibatkan TNI. Pada 31 Maret 2020, WKS melaporkan Ahmad ke Polres Tebo dengan tuduhan perambahan hutan.
Ada 134 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, Batanghari dan Tebo yang bersinggungan langsung dengan konsesi WKS. Walhi Jambi mencatat, setidaknya ada 33 konflik yang terbuka ke publik, tetapi hanya 10 yang mendapat perhatian dan intervensi dari pemerintah.
“Itu pun masalahnya tidak tuntas. Sampai sekarang konflik itu masih bergejolak,” kata Oscar Anugerah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi.

Dia menyakini masih banyak konflik tidak terbuka ke publik. Walhi Jambi bersama koalisi 90 NGO pernah mengirimkan surat pada investor dan mitra dagang di pasar global agar memboikot produk Sinarmas Grup.
KPA menyebut, perampasan dan monopoli tanah yang Sinar Mas Group, lakukan adalah contoh nyata pelanggaran Undang undang Pokok Agraria.
Sampai pertengahan 2025, KPA mencatat setidaknya terjadi lima kali konflik agraria di Jambi, dua melibatkan WKS. “Di Batanghari dan Tebo, masalahnya sama berawal kemitraan.”
Konflik antara petani dan WKS adalah dampak penetapan konsesi yang tidak pernah melihat kondisi riil lapangan hanya sebatas penunjukkan, tanpa tata batas.
“WKS itu baru mau melakukan tata batas di wilayah Sungai Paur dan sebagian Lubuk Mandarsah itu 2017. Sementara sudah banyak kebun masyarakat di sana.”
Dalam catatan KPA, setidaknya 14.286 hektar lahan 3.446 petani di 15 desa masuk klaim WKS. Banyak petani jadi korban kriminalisasi karena mempertahankan tanahnya.
Pada 2007 setidaknya sembilan petani kena tangkap polisi atas laporan perusahaan. Mereka kena hukum 15 bulan penjara. Tiga tahun setelahnya, katanya, Karyono Setio kena kriminalisasi perusahaan.
Pada 2010, Ahmad Adam warga Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat tewas kena tembak Brimob saat masyarakat memblokir Sungai Pengabuan, menuntut lahan 7.224 hektar yang bersengketa dengan WKS.
Dody menilai, pemerintah tak pernah serius menyelesaikan konflik petani dengan WKS, hingga intimidasi dan penggusuran kebun petani terus terjadi. Janji reforma agraria dari klaim kawasan hutan negara, mangkrak.
Sikap diam pemerintah terhadap rentetan kasus yang melibatkan WKS, jelas bertolakbelakang dengan janji reforma agraria. Alih-alih menyelesaikan konflik dan mendistribusikan tanah untuk rakyat,di lapangan justru dengan leluasa menggusur tanah petani.
“Perampasan dan penggusuran yang dilakukan WKS menunjukkan negara kalah dengan korporasi,” kata Dody.
Situasi ini menandakan krisis agraria di Jambi makin akut. KPA mendesak, presiden, kapolri dan Menteri Kehutanan menindak tegas dan mengusut tuntas pelanggaran WKS.
KPA juga menuntut evaluasi bahkan cabut izin anak usaha APP itu setelah itu distribusikan tanah pada petani dan akui hak tanah mereka melaui reforma agraria.
Sinarmas di Jambi
Sinar Mas sukses membangun kerajaan bisnis di Jambi. Hampir sepersepuluh Provinsi Jambi mereka kuasai. Areal izin konsesi mereka lebih 479.000 hektar, setara enam kali luas Singapura.
Ada sembilan perusahaan diketahui terafiliasi dengan Sinar Mas Group, lima pemegang izin PBPH, yakni, PT Wira Karya Sakti, PT Rimba Hutani Mas dan PT Tebo Multi Agro, PT Pesona Belantara Persada dan PT Putra Duta Indah Wood. Belakangan, PT Agronusa
Di sektor perkebunan sawit, Sinar Mas melaui anak usahanya SMART memiliki perkebunan sawit seluas 78.096 hektar di bawah PT Satya Kisma Usaha, PT Bahana Karya Semesta, PT Kresna Duta Agroindo dan PT Primatama Kreasi Mas.
Hampir semua anak perusahaan Sinar Mas Group di Jambi terlibat konflik dengan masyarakat termasuk Suku Anak Dalam. Tetapi konflik paling mencolok terjadi di konsesi WKS.
Perebutan lahan antara WKS dengan petani di desa sekitar terjadi hampir setiap tahun sejak perusahaan mengantongi izin dari Menteri Kehutanan pada 1996 melalui SK Menteri Nomor: 744/Kpts-II/1996. Area tumpang tindih merupakan tanah yang petani garap puluhan tahun, bahkan sebelum WKS mendapatkan izin konsesi.
Catatan Tanahkita menyebut, izin konsesi WKS merupakan peralihan dari izin Inhutani V yang tak tergarap. Pada 1998, Menteri Kehutanan memberikan izin hak pengelolaan hutan tanaman industri kepada WKS. Anak usaha APP itu mendapatkan izin dari gubernur melalui SK Gubernur Jambi tahun 2004 perihal penetapan pengelolaan ex. PT Inhutani V. Sedangkan izin resmi dari Bupati Tebo terbit pada 15 April 2004 melalui Surat Keputusan Bupati No. 522/247/Dishut/2004.
Dalam ringkasan publik WKS 2018, luas wilayah kerja mereka 290.378 hektar, berkurang dari izin pada 2004 seluas 293.812 hektar.
Oscar Anugerah, Dirktur Eksekutif Walhi Jambi meminta, Forest Stewardship Council (FSC) menolak proses pelaksaan remedy framework yang APP, ajukan sebelum konflik antara WKS dengan masyarakat selesai.
Menurut dia, WKS telah melanggar policy for association dalam FSC, yang melarang keras tindakan pelanggaran terhadap hak tradisional dan hak asasi manusia dalam sektor kehutanan.
“Tindakan WKS telah mencederai prinsip utama kebijakan sosial dan sumber daya manusia, yang mengharuskan perusahan menghormati hak-hak masyarakat dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan,” katanya.
Sinar Mas Group menerima jutaan dolar dari berbagai lembaga jasa keuangan dunia. Data TUK Indonesia menunjukkan, sepanjang 2016-2024, Sinar Mas menerima pinjaman dan penjaminan US$36,34 miliar atau Rp525,57 triliun dari Bank of China, China Development Bank, Mitsubishi UFJ Financial, Mizuho Financial, Malayan Banking, Bangkok Bank sampai dengan Korea Investment Holdings.
Bank-bank di Indonesia seperti BCA, Bank Panin, termasuk BRI, BNI, BTN, Mandiri, juga menggelontorkan jutaan dolar untuk sawit dan pulp and paper Sinar Mas.
Per Juni 2024, investor menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham untuk Sinar Mas sebesar US$0,88 miliar atau setara Rp14,48 triliun.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, lembaga jasa keuangan termasuk bank seharusnya patuh pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan internal.
“Jika perusahaan melakukan perampasan tanah masyarakat, tentu ini bertentangan dengan peraturan yang berlaku.”
Dia mendesak, bank yang tercatat sebagai pembiaya Sinar Mas melakukan uji tuntas atas apa yang terjadi.
“Jika terbukti perusahaan itu benar melakukan pelanggaran hukum, sudah selayaknya pembiayaan terhadap Sinar Mas dihentikan,” katanya.

Ada komitmen tetapi…
WKS punya mimpi menjadi perusahaan kelas dunia, yang mempraktikkan pengelolaan hutan lestari, dengan mengembangkan hubungan sosial harmonis, layak secara ekonomi dan ramah lingkungan.
Dalam Ringkasan Publik PT. WKS-2021, APP berkomitmen menyelesaikan konflik dengan tanggung jawab, dialog terbuka dan konstruktif dengan para pemangku kepentingan lokal, nasional dan internasional. Juga, penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Perusahaan juga memastikan pengelolaan sumberdaya hutan di semua konsesi bisa memberikan dampak positif berkelanjutan pada penghidupan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Dody mematahkan itu. Dia bilang, kemitraan yang perusahaan klaim berhasil menyelesaikan konflik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar konsesi WKS hanyalah omong kosong.
“Justru pola kemitraan itu dijadikan alat perusahaan untuk ekspansi lahan. Masyarakat sekarang terjebak dalam kemiskinan, karena lahan mereka dirampas perusahaan.”
Dia menunjukkan, sebagian hutan Langkup di Dusun Kelapa Kembar, Desa Lubuk Mandarsah, sudah WKS buka, alasannya sudah bermitra dengan kelompok tani. Padahal, katanya, hutan itu bagian dari penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang menjadi habitat gajah.
“Jadi, jangan salah kalau sekarang gajah masuk kebun masyarakat, karena rumahnya sudah digusur, jadi akasia.”
Sampai berita ini rilis, Taufik Qurochman, Humas WKS tidak merespons pertanyaan-pertanyaan yang Mongabay kirim via Whatsapp pada 30 Juni 2025.
***
Puluhan petani di Muara Kilis hanya bisa menatap kebun mereka yang jadi hamparan tanah kosong. Tanah yang jadi tumpuan hidup Samsudin, dan Santi hilang.
Bagi mereka, tanah bukan sekadar warisan, tetapi napas untuk hidup keluarga. Ketika alat berat itu meratakan seluruh kebun, WKS tidak hanya menggusur sawit atau karet, juga harapan dan martabat mereka.
Kini, Samsudin hanya bisa menangis di balik bilik rumahnya, meratapi nasib di usia senja.
“Kalau bukan di kebun itu, kami harus hidup dari mana lagi?”
*****