- Local Conference of Youth (LCOY) menjadi salah satu konstituen resmi dari anak-anak dan orang muda di bawah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Ini menjadi ruang bagi orang muda dalam keadilan iklim.
- Forum ini hadir sebagai respon orang muda terhadap kebijakan iklim yang tidak ambisius. Orang muda menolak hanya sebagai pelengkap dan menuntut partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan iklim.
- Ini menjadi momentum membentuk gerakan kolektif yang inklusif dan representatif dari seluruh Indonesia. Orang muda dari berbagai provinsi diberi ruang untuk menyuarakan keresahan dan gagasan solutif dari wilayahnya masing-masing.
- Tak berhenti pada persiapan menuju COP 30 di Brazil, gerakan ini diharapkan akan terus terjaga semangat antusiasmenya dalam memahami isu iklim. Bahkan, bisa memunculkan gelombang baru orang muda lainnya.
“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita.”
Ungkapan ini kerap muncul dan semakin relevan di tengah krisis iklim yang sudah ada di depan mata. Mulai dari pencemaran udara, air, cuaca yang tak menentu, kekeringan, hingga ketimpangan akses energi bersih. Ironinya generasi muda menjadi kelompok paling terdampak krisis iklim yang seringkali tak pernah dilibatkan secara aktif. Baik dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim, transisi energi, maupun investasi hijau.
Meski begitu, kelompok muda tak lantas diam. Mereka yang tergabung dalam Youth Organization UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) biasa disebut YOUNGO memilih untuk bersuara. YOUNGO merupakan konstituen resmi dari anak-anak dan pemuda di bawah UNFCCC.

Melalui Local Conference of Youth (LCOY), mereka menggelar forum iklim tingkat nasional untuk memberi ruang untuk orang muda bersuara dalam perjuangan menuju keadilan iklim. Forum ini menjadi titik temu antara gagasan, aksi, dan keberanian orang muda dalam menghadapi tantangan energi dan iklim secara kolektif. LCOY 2025 bukan sekadar forum, melainkan gerakan yang membawa semangat “our voice, our power.”
1. Tokenisme dan kebijakan iklim kurang ambisius

LCOY 2025 lahir karena kebijakan iklim kurang ambisius dan hanya sebatas tokenisme. Riset climaterangers Jakarta menyebutkan 59,8% orang muda menilai kebijakan iklim di Indonesia belum cukup ambisius. Bahkan, 62,4% responden meyakini partisipasi mereka dalam aksi iklim masih terjebak dalam konsultasi simbolis atau tidak adanya partisipasi yang bermakna.
“LCOY 2025 hadir untuk mengadakan partisipasi bermakna orang muda yang tidak hanya ingin didengar saja, tetapi suara anak muda juga dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang ada di Indonesia,” ujar Pinkan Astina Hermawan, Project Officer LCOY 2025 pada Jumat, 11 Juli 2025. Khususnya, orang muda yang berasal dari wilayah yang kurang terwakili dan termarjinalkan.
LCOY 2025, kata Pingkan, berupaya untuk menampung berbagai aspirasi, pandangan, maupun rekomendasi kebijakan iklim yang berasal dari orang muda di 38 provinsi. Selanjutnya, hasilnya akan menjadi rekomendasi kebijakan COP 30 yang akan diselenggarakan di Brazil.
Baca juga: Cara Orang Muda di Pekalongan Jaga Hutan
2. Partisipasi orang muda jadi kunci masa depan iklim Indonesia
Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebutkan satu prinsip utama dari keadilan iklim adalah keadilan antar generasi. “Anak muda menjadi kelompok yang sangat penting dalam hal ini,” jelas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
LCOY 2025 menempatkan orang muda sebagai aktor kunci dalam perjuangan iklim. Ini bukan tanpa alasan, suara dan keterlibatan mereka dalam kebijakan iklim sangat penting untuk keberlanjutan hidup generasi kini dan mendatang.

“Merekalah yang nantinya akan merawat dan menjaga bumi ke depannya. Kalau mereka tidak dilibatkan dan suaranya tidak didengar sejak sekarang, dikhawatirkan semua upaya yang kita lakukan hari ini bisa jadi sia-sia,” ujar Sekar.
Tanpa pelibatan mereka secara bermakna, maka berbagai kebijakan dan terobosan transisi energi berisiko menjadi solusi yang semu.
3. Strategi LCOY 2025: Bangun gerakan kolektif orang muda yang inklusif dan representatif
Tak hanya memberikan usulan rekomendasi, LCOY 2025 juga membangun gerakan kolektif dengan mengusung pendekatan yang menyeluruh dan memastikan keterwakilan orang muda di seluruh Indonesia. Mulai dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Harapannya, ini menjadi kesempatan orang muda bisa berdialog dan menggali keresahan yang ada di daerah masing-masing. Hingga kini, sudah ada 18-20 provinsi yang terwakili.
4. Momentum kolektif LCOY 2025 untuk membangun aksi iklim yang berkelanjutan

Agar suara orang muda tak berhenti dalam LCOY 2025, mereka memiliki strategi untuk tetap berkelanjutan. “Ini menjadi sebuah momentum kolektif. Setelah ini, akan ada banyak ruang aksi lanjutan yang bisa diikuti—mulai dari aksi simbolik seperti Draw the Line, konferensi besar lainnya, hingga partisipasi dalam forum global seperti COP 30,” sambung Wanda Rahmalestari, Head of Program LCOY Indonesia 2025.
Menuju COP 30 di Brazil, LCOY 2025 akan terus bersuara dalam aksi damai, diskusi publik hingga workshop ke pelosok daerah. Harapannya, aktivitas ini akan memunculkan gelombang baru orang muda yang semakin paham isu dan berani untuk menyuarakan aspirasinya soal transisi energi maupun climate finance.
Wanda bilang ajang ini akan terus menjaga semangat antusiasme orang muda untuk memahami isu iklim. “Misalnya, dari LCOY ini ada peserta yang kemudian merasa, ‘Oh, ternyata aku jadi paham soal isu iklim, aku jadi tahu tentang transisi energi, tentang climate finance,’ lalu mereka sadar bahwa ada wadah untuk menyuarakan aspirasi,” tutup Wanda.
(****)
*Daffa Ulhaq merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah di Universita Indonesia. Daffa aktif sebagai jurnalis dan aktivis muda di Generasi Setara yang memiliki minat pada isu pendidikan, gender, dan lingkungan.
Generasi Muda Kalsel Tolak Hutan Meratus jadi Taman Nasional